“Humph. Vatikan, Nepal. Mereka berdua terlambat bergerak. Di saat mereka sedang mengumpulkan kekuatan, kita sudah selangkah lebih maju,” gumam seorang kakek tua dengan jenggot yang panjang menjuntai dan menggunakan baju tradisional china.
“Kakek Cui, semua rencana sudah siap. Kita bisa mengadakan gathering untuk perwakilan serigala petarung di Asia seperti rencana,” kata seorang wanita cantik yang memakai busana resmi dan terkesan professional.
Si Kakek yang dipanggil dengan nama Cui dan memiliki nama lengkap Cui Lan Seng ini hanya menganggukkan kepala saja dengan muka serius.
“Sebelum kita menjadi tuan rumah bagi semua petarung di Asia. Kita sendiri harus berkonsolidasi dengan kuat. Ada banyak sekali aliran di negeri kita sendiri. Shaolin jelas berafiliasi dengan Nepal. Tapi aku ingin tahu seperti apa gunung-gunung lainnya mengambil sikap dalam hal ini,” kata Kakek Cui dengan suara lantang di dalam ruangan itu.
=====
Jauh di pelosok pegunungan tanah Jawa.
Seorang laki-laki yang masih berusia muda duduk di pematang sawah dengan sebuah senyuman di bibirnya. Dua orang remaja yang hampir sebaya sedang berpeluh keringat di tengah hamparan sawah yang ada di depan laki-laki itu.
Sesekali, laki-laki itu akan memberikan arahannya kepada kedua remaja yang sedang bekerja dengan tekun itu.
Burung-burung berkicau dengan suaranya yang merdu.
Angin semilir bertiup lembut dan membuat keringat yang membasahi tubuh para petani terasa sejuk saat uapnya meninggalkan tubuh.
Mentari yang hangat dan panasnya tak begitu menyengat membuat kulit para petani yang berwarna sawo matang berseri-seri di bawah siraman sinarnya.
Gemericik air dari aliran irigasi yang ada di tepian sawah menambah suasana pedesaan pagi ini terasa lebih damai dan menenangkan.
Hanya satu yang kurang saat ini, suara seruling dan nyanyian langgam dari bibir si penggembala kerbau yang membuat semuanya menjadi lebih sempurna.
Tapi, suasana tenang dan damai itu tiba-tiba dipecahkan oleh sebuah suara teriakan yang mengagetkan Munding.
“Pakdhe!!”
Munding menolehkan kepalanya dan melihat April melesat kearahnya sekuat tenaga. Muka gadis itu pucat pasi dan kepanikan jelas terlihat di wajahnya. Saat Munding melihat ke raut muka April yang seperti itu, firasat buruk menyerangnya.
“Nurul?” gumam Munding dengan suara terbata-bata.
Bahkan sebelum April mengucapkan apapun untuk memberitahu Munding tentang Nurul, Munding sudah melesat pergi dari tempat ini. Angga dan Dian yang menyaksikan dari jauh dengan cepat meletakkan alat kerjanya dan berlari kearah April yang berdiri di pinggiran sawah.
Mereka bertanya kepada April dan April menjelaskan semuanya. Nurul, Budhe mereka, tiba-tiba tak sadarkan diri saat memasak di dapur bersama April. April sudah memberikan pertolongan pertama kepada Nurul tapi tak membuahkan hasil, April lalu meninggalkan Nurul yang tak sadarkan diri dan Alit yang masih belum sadar dengan apa yang terjadi pada ibunya untuk kesini.
=====
“Mas. Sekali ini saja, tolong turuti keinginanku,” gumam Nurul pelan.
Munding terdiam.
Mereka berdua ada di sebuah taman yang ada di komplek rawat inap sebuah Rumah Sakit. Nurul tak sadarkan diri selama hampir 24 jam. Munding panik bukan kepalang. Dia mencoba melakukan apa saja yang bisa dia lakukan, tapi tanpa hasil.
Saat itulah Munding kembali merasa lemah. Bahwa dia bukan apa-apa. Bahwa di depan garis takdirNya, dia bagaikan sebuah kayu yang terapung di tengah lautan. Tak bisa melawan, hanya bisa mengikuti kemana arus membawa.
Kini, untuk kesekian kalinya, Nurul meminta Munding menikahi Amel. Dan kali ini, Nurul punya alasan yang kuat untuk memaksa Munding.
“Mas ingat dulu saat kita bertemu dalam dunia penuh kegelapan tempat Mas Munding dulu terjebak seorang diri?” bisik Nurul sambil menyenderkan kepalanya ke Munding yang duduk bersimpuh di depan kursi roda Nurul.
“Hmmm,” Munding hanya menjawabnya dengan sebuah deheman.
“Waktu itu, Nurul berpikir kalau Nurul sudah mati. Nurul bisa melihat semua orang menangis sedih mengelilingi tubuh Nurul. Nurul juga melihat ke arah Alit yang baru saja lahir. Nurul takut Mas. Takut sekali, karena Nurul merasa kalau Nurul tak akan pernah bisa bertemu kalian lagi. Mas Munding juga Alit,” lanjut Nurul yang mulai terisak-isak.
“Sekarang sudah dua tahun Mas sejak kejadian itu. Ini adalah masa dua tahun terindah dalam hidup Nurul. Nurul punya Mas dan Alit.”
“Tapi, mungkin ini semua seharusnya bukan milik Nurul, karena Nurul sadar, saat itu Nurul seharusnya sudah dipanggil olehNya ketika melahirkan Alit. Jadi, Nurul selalu menganggap kalau dua tahun ini adalah bonus, tambahan yang Nurul terima dan Nurul tidak pernah berhenti bersyukur karenanya.”
Munding hanya terdiam dan menikmati napas harum istrinya yang berhembus ke bagian tengkuk dan telinganya. Dia belum bisa menangkap kearah mana maksud perkataan Nurul.
“Mas…”
“Kemarin aku merasakannya lagi. Panggilan yang sama dan dulu pernah kuterima 2 tahun lalu,” bisik Nurul sambil menangis, akhirnya dia tak dapat lagi membendung air mata yang kini turun membanjiri wajahnya.
“Nurul… Nurul rela Mas. Toh juga Nurul sudah dapat ekstra 2 tahun kan?” canda Nurul sembari berusaha tersenyum dan menghapus air mata dari wajahnya.
Munding yang sudah duduk dan membalikkan badannya menghadap ke sang istri, memegang lembut tangan Nurul dan menyeka air mata di wajah istrinya. Sampai detik ini, Munding tak tahu apa yang harus dia katakan untuk menghibur istrinya.
“Mas sayang Nurul,” bisik Munding pelan sambil mencium kening istrinya.
Hanya itu kata-kata yang bisa dia keluarkan dan menggambarkan isi hatinya sekarang. Di dunia ini, istri dan anaknya adalah prioritas utamanya, mengalahkan yang lain. Ketika Nurul mengatakan kalau seolah ada panggilan yang mengajaknya pergi, tentu saja Munding merasakan rasa sakit luar biasa dalam dadanya.
Karena sekalipun dia seorang serigala petarung, Munding tetaplah manusia, dan dia juga punya rasa.
“Mas… Karena itu, sebelum Nurul pergi, Nurul ingin Mas nikah sama Mbak Amel. Bukan untuk Mas, tapi pikirkan Alit,” bisik Nurul mengulangi kata-katanya di awal diskusi tadi.
“Kalau aku melakukan itu, Nurul janji nggak akan pergi?” tanya Munding dengan nada penuh harap.
Pukkk.
Nurul menepuk kepala Munding pelan dan mesra, “Ngaco!!”
“Hanya Gusti Allah yang bisa menentukan takdir dan maut seseorang, Nurul bisa apa? Kalau kedengeran sama Bapak, tadi Mas bilang gitu, dihajar pake rotan lagi nanti, mau?” Nurul mendelik kearah Munding dengan matanya yang indah.
“Huft,” Munding hanya bisa membuang napas.
Lalu, di tengah siraman mentari pagi, sepasang sejoli itu saling berciuman mesra. Si wanita duduk di atas kursi rodanya. Sang pria duduk bersimpuh di rerumputan yang ada di depannya. Bayangan si wanita yang sedang menunduk dan memegangi wajah si pria sambil menciumnya penuh rasa terlihat sangat indah dengan latar belakang bunga yang bermekaran di pagi hari dan kabut tipis yang terlihat dan entah dari mana datangnya.
=====
Author note:
Nggak ada. Ngantuk banget. Mana malem jumat lagi, musti nungguin demit-demit nanti malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
munding:utopia
Action(Action) Utopia merupakan sebuah negeri khayalan yang diciptakan oleh Sir Thomas Moore dalam bukunya yang berjudul Utopia. Negeri ini berupa sebuah pulau di tengah-tengah Samudera Atlantik yang memiliki tatanan kehidupan yang ideal, dari semua segi...