Chapter 111 - Ujian

3.1K 202 13
                                    

“Apakah Shakur memberikan informasi yang penting bagi Biro?” tanya Munding kepada Arya saat mereka berdua berjalan meninggalkan pantai dan kampung tempat Blackhand tinggal.

“Iya. Sangat penting malah. Terutama soal modus operasi Utopia,” jawab Arya.

“Aku ingin semua informasi yang berkaitan dengan Clown dan Kelly, bisa kan?” tanya Munding.

Arya berhenti berjalan dan melihat ke arah Munding, “Kamu jangan berpikiran macam-macam untuk saat ini. Biarkan Biro menganalisa terlebih dahulu informasi yang kami dapat barusan.”

“Arya, kamu harusnya tahu, keluarga adalah yang terpenting bagiku. Aku tak punya masalah pribadi dengan Utopia, tapi mereka mengusik keluargaku terlebih dahulu. Kamu lihat kan apa yang terjadi dengan Nurul selama tiga tahun ini?” tanya Munding.

Arya tak bisa membalas kata-kata Munding dan terdiam.

“Oke, aku akan memberikan informasi yang kamu inginkan setelah kami selesai menganalisa diskusi tadi,” kata Arya, “Jangan gegabah! Kamu tak ingin Alit menjadi yatim kan?” tegur Arya.

Munding terdiam dan berjalan lagi menuju ke mobil yang tadi mengantar mereka berdua ke tempat ini.

=====

“Mas? Mau kemana?” tanya Nurul sambil memanggil Munding yang berjalan meninggalkan dia.

Munding hanya diam. Dia sama sekali tak menolehkan kepalanya ke belakang. Nurul yang masih duduk di kursi rodanya mulai panik dan ketakutan. Tak pernah sekalipun, suaminya mengacuhkan dirinya, sejak dulu, sejak mereka pertama kali bertemu.

“Mas? Ini aku Mas!! Nurul,” teriak Nurul dengan suara mulai terengah-engah, campuran antara rasa takut, bingung, dan sedih.

Munding seolah-olah tak mendengar kata-kata Nurul yang memanggilnya. Dia terus saja melangkah perlahan dan menjauh dari Nurul.

Nurul ketakutan. Dia berteriak sekeras tenaga. Dia menjerit sekencang-kencangnya. Tapi seolah-olah Munding berada pada sebuah dunia lain yang terpisah dari Nurul. Sekalipun mereka terasa dekat, Nurul merasa kalau ada sebuah dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.

Semua teriakan Nurul, semua jeritan Nurul, sama sekali tak terdengar oleh Munding.

Nurul pun menangis. Seumur hidupnya, ini kali pertama Nurul merasakan ketakutan luar biasa seperti ini. Ketakutan yang datang karena sesuatu seolah-olah memisahkan dirinya dengan Munding, suami tercintanya.

“Mas Munding,” Nurul hanya bisa terisak-isak lirih sambil melihat ke arah punggung suaminya yang semakin jauh dan terlihat pelan-pelan akan menghilang.

“Jangan tinggalin Nurul, Mas,” rintih Nurul sendirian, di tempat sunyi tanpa suara apa pun itu.

=====

“Dek!!”

“Bangun, Dek!!”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar keras sekali di telinga Nurul dan membuat dia terperanjat lalu membuka mata. Saat dia membuka mata, seraut wajah cantik milik orang yang sangat dikenalnya terlihat sedang menatap dirinya dengan raut wajah kuatir.

“Dek Nurul mimpi apa? Sampe nangis-nangis gitu?” tanya Amel.

Nurul langsung memeluk Amel dan menangi sejadi-jadinya dalam pelukan Amel. Amel hanya diam saja dan membiarkan Nurul menumpahkan semua rasa yang ada dalam dadanya.

Beberapa menit kemudian, tangisan Nurul mereda. Dia mengusap air matanya sambil berusaha menekan isak tangisnya. Amel tersenyum sambil mengelus-elus rambut Nurul dan duduk di sebelahnya.

“Mimpi apa sih?” tanya Amel lembut.

“Mimpi buruk Mbak, tapi Nurul lupa,” jawab Nurul, pura-pura.

“Ya udah, cuma mimpi kok itu. Mbak bikinin teh anget dulu ya? Biar mendingan,” kata Amel, tanpa menunggu jawaban Nurul, Amel beranjak berdiri menuju ke dapur.

Tak lama kemudian, Amel datang dengan segelas teh hangat untuk Nurul. Nurul meminumnya lalu merasakan kalau mood-nya sedikit membaik. Amel menerima gelas dari tangan Nurul dan meletakkannya ke meja.

Mereka berdua memang tidur dalam satu kamar, bertiga dengan si kecil Alit. Suami mereka sedang melakukan sesuatu bersama Arya sejak tadi siang. Hanya ada si kecil Alit yang menemani mereka berdua. Alit sendiri masih tertidur pulas di tempatnya, sama sekali tak terbangun oleh kedua ibunya.

“Dah tenang kan?” tanya Amel.

“Iya Mbak,” jawab Nurul sambil merebahkan badan lagi ke atas ranjang. Amel pun berbaring di sebelah Nurul.

“Padahal baru tadi sore ditinggal, dah kebawa mimpi aja,” goda Amel tiba-tiba.

“Apaan sih Mbak?” sungut Nurul sebelum akhirnya mereka berdua kembali terlelap.

=====

“Pakdhe!!” panggil April saat melihat Munding berjalan di dalam sebuah koridor yang ada di markas besar Biro.

Munding menoleh dan tersenyum. Ketiga anak didiknya memang tinggal bersamanya, tapi dia memberikan kebebasan kepada mereka untuk pergi sewaktu-waktu jika ada misi yang bisa mereka lakukan, dengan syarat, mereka bertiga harus melakukan misi itu bersama-sama.

Dian dan kawan-kawan memang minta ijin untuk melakukan sebuah misi sederhana. Beberapa hari lalu, dan Munding mengijinkannya. Wajar jika mereka bertemu di markas besar Biro saat ini.

“Gimana misinya?” tanya Munding.

“Sukses, misi ecek-ecek,” jawab April sambil berkacak pinggang.

Munding hanya tertawa kecil melihat tingkat kekanak-kanakan si April.

“Apaan, kan kamu cuma kebagian jatah mengawasi saja, kami berdua yang turun tangan ke lapangan,” sungut Angga yang tiba-tiba berdiri di sebelah April.

Dian berdiri di sebelah Angga dan langsung menyalami Munding saat melihatnya. Munding tersenyum dan menarik napas panjang. Dari segi kemampuan, Dian adalah yang terkuat di antara mereka bertiga, mungkin juga yang terkuat di antara rekan-rekan seangkatan mereka. Tapi Munding belum bisa menghapus rasa benci dan apathi yang ada pada diri Dian.

Tapi sesaat kemudian, Munding juga sadar. Bagaimana mungkin dia melakukan itu untuk Dian? Sedangkan dirinya sendiri saja masih menyimpan rasa benci yang luar biasa kepada, Kelly, Clown dan Utopia. Atau mungkin suatu saat nanti, ketika ada yang berniat mencelakai keluarganya lagi, apakah Munding sanggup berjanji untuk tak membenci orang itu?

“Pakdhe,” panggil Dian membuat Munding kembali tersadar dari lamunannya.

“Dian, kamu yang paling kuat. Jaga kedua rekanmu,” kata Munding sambil tersenyum.

“Siap Pakdhe,” jawab Dian.

Mereka berempat lalu asyik mengobrol tentang apa saja. Angga dan April sesekali akan mengadu kepada Munding, kenapa sampai saat ini, mereka belum juga bisa melangkah ke tahap inisiasi. Padahal sebagian besar rekan mereka sudah berhasil melakukannya.

“Aku pernah bertanya kepada kalian dan itu menjadi tugas pertama kalian. Apakah kalian masih ingat perintahku?” tanya Munding ke arah ketiga anak didiknya.

Angga dan Dian terdiam, tapi April dengan cepat menjawab pertanyaan Munding, “Aku masih ingat Pakdhe. Dulu Pakdhe bilang gini ‘dalam diri kita ada tiga entitas yang terpisah, naluri, logika dan kesadaran diri, tugas pertama dari Pakdhe waktu itu adalah, apa yang akan kami lakukan dengan ketiganya,” jawab April.

Munding tersenyum, April yang memang jenius, masih mengingat dengan jelas apa yang dia katakan hampir setahun silam.

“Lalu, apakah kalian sudah menemukan jawabannya?” tanya Munding.

Ketiga anak didik Munding langsung terdiam ketika mendengar pertanyaan Munding. Mereka bukan orang bodoh. Setelah beberapa bulan mereka berlatih di bawah bimbingan Munding dan membandingkan apa yang mereka terima dengan latihan rekan-rekan lain di bawah Afza, mereka mengetahui apa sesungguhnya tujuan Biro meminta Munding melatih mereka bertiga.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang