Chapter 103 - Ayah dan Anak

3.5K 218 17
                                    

“Tommy menggunakan dua kali aplikasi konsep gravitasi yang berbeda untuk satu teknik yang dia gunakan. Dia seorang jenius, kita semua harus akui itu,” puji Aisah mengakhiri penjelasannya.

Munding dan semua orang lainnya terdiam ketika mendengar penjelasan Aisah. Mereka baru menyadari bahwa konsep manifestasi sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

“Selama ini, arah kita sudah benar. Untuk mencapai ke tahapan manifestasi, pemahaman konsep dan aplikasinya lebih penting dibandingkan latihan fisik si petarung,” kata Pak Yai memecah keheningan karena mereka semua terdiam.

Munding juga ingat Pak Yai pernah mengatakan itu. Tapi, justru karena dia menuruti kata-kata Pak Yai, dia sempat mengalami kejadian memalukan di kafe remang-remang Aditya beberapa tahun lalu.

“Karena alasan itu, aku sudah menyerah untuk melangkah ke tahapan kalian,” lanjut Pak Yai lagi tiba-tiba.

Munding hanya melihat ke arah Bapak Mertuanya dengan rasa simpati. Mereka semua tahu alasan terkuat Pak Yai selama ini terjebak dalam tahapan half-step, konsep Pak Yai terlalu absurd dan sulit untuk dikuasai hanya bermodalkan pemahaman.

Slaughter bukanlah sebuah konsep fisik tapi lebih menyerupai konsep yang bersifat psikis dimana konsep ini akan mempengaruhi kondisi kejiwaan si petarung. Dia tak seperti gravitasi, api, udara, angin, kekerasan, kecepatan, kelincahan, atau konsep lainnya.

Satu-satunya cara adalah dengan melakukan ‘slaughter’ secara aktual, yang tentu saja tak akan mungkin bisa dilakukan oleh Pak Yai saat ini.

“Munding, kamu bisa meniru Tommy dalam hal ini. Coba pelajari lagi konsepmu lebih mendalam. Coba kenali lagi. Coba gali lagi aplikasinya dalam sebuah pertarungan. Mungkin dengan begitu, kamu akan bisa berkembang lebih jauh lagi,” kata Pak Yai memberi wejangan kepada muridnya.

“Iya Pak,” jawab Munding sambil menganggukkan kepalanya.

Tak lama kemudian, mereka berempat lalu terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing.

Malam pun beranjak makin larut, Munding beranjak berdiri dan pamit kepada para seniornya setelah Nurul memanggilnya untuk masuk ke dalam. Mereka semua beristirahat tak lama kemudian.

=====

Nurul tersenyum dan tertawa-tawa kecil saat melihat suami dan anaknya sedang bermain di pematang sawah mereka. Bukan bermain sebenarnya, lebih tepatnya Munding bekerja di sawah sedangkan Alit mengganggu Ayahnya.

Amel menemani Nurul dan duduk beralaskan tikar yang mereka gelar di bawah rimbunnya pepohonan tak jauh dari Munding dan Alit. Kedua ibu-ibu muda itu sesekali akan menikmati rujak buah yang mereka buat sebelum kesini tadi.

Mereka berempat sedang menikmati masa santai yang mungkin jarang mereka miliki.

Amel dan Nurul sendiri tak pernah tahu kapan akan ada panggilan datang untuk suaminya dan membuat mereka kembali berpisah lagi untuk sementara.

Mungkin apa yang dikatakan oleh Stan Lee sang pencipta komik Spider-Man benar adanya, ‘with great power comes great responsibility’.

Nurul dan Munding sudah menyerah untuk memimpikan hidup sederhana mereka sebagai petani. Kini mereka hanya mencoba untuk membiarkan saja hidup mereka mengalir seperti air.

Beberapa orang petani lain terlihat juga ikut menggarap sawah milik keluarga Munding. Munding sendiri hanya sekedarnya bekerja di sawah. Dia ingin Alit tahu kalau anaknya itu terlahir dari keluarga petani.

Munding juga ingin agar anaknya mempunyai kenangan indah yang akan membuatnya tersenyum saat dewasa nanti. Sebuah kenangan indah yang lengkap dan tanpa noktah yang akan memberikan noda dalam ingatan anaknya.

“Yah, kenapa Alit dipanggil Alit? Kata Mbah Kung, Alit itu artinya kecil. Alit nggak mau kecil terus. Alit juga ingin tumbuh besar,” tanya Alit kepada ayahnya yang sedang menyiangi rumput di dekatnya.

“Hahahahahaha,” Munding tertawa ketika mendengar protes dari si kecil yang mulai terlihat kritis itu.

“Alit kan namanya Khalid, bukan alit yang artinya kecil,” jawab Munding.

“Alit tahu. Memang apa artinya sih Yah?” tanya si Kecil.

“Artinya abadi, kuat dan gagah berani. Tapi Ayah kasih nama Khalid biar nanti Alit bisa jadi seperti sahabat Nabi, Khalid bin Walid, Sang Pedang Agama. Saat nanti Ayah tidak ada disisi kalian, Alit yang harus menjaga Ibu dan Mama, ya?” kata Munding sambil melihat ke arah anaknya.

“Jaga adek juga!” jawab Alit sambil berdiri dan mengangkat kepalanya, seperti layaknya orang dewasa.

“Hahahahahahaha,” Munding tertawa melihat tingkah putranya, “Iya, jaga adek juga.”

“Kata Mbah Eman, Ayah itu kuat. Nanti kalau Alit sudah besar, Ayah harus ajari Alit biar jadi kuat seperti Ayah ya?” pinta si kecil dengan mata berbinar-binar.

Munding hanya tertawa kecil dan tak menjawab permintaan anaknya. Dalam hati kecilnya, dia tak pernah menginginkan Alit mengikuti jejaknya. Dia ingin Alit hidup normal layaknya manusia biasa.

“Kalau nama Ayah artinya apa?” tanya Alit tiba-tiba.

Senyuman berangsur-angsur menghilang dari bibir Munding. Dia meletakkan sabit yang dipegangnya lalu mencuci tangannya dengan air yang ada di dekat pematang sawah tempat mereka berada.

Setelah mengeringkan kedua tangannya dengan mengusapkannya ke celana yang dia pakai, Munding mendekati anaknya lalu mengelus rambut Alit dan duduk di sebelahnya.

“Nama Ayah, Munding. Mbah Kung yang kasih,” kata Munding.

“Mbah Kung yang galak?” tanya Alit, yang dia maksud adalah Pak Yai.

“Bukan, itu Mbah Kung Ibu,” jawab Munding.

“Mbah Kung yang suka ketawa?” tanya Alit lagi, yang dia maksud adalah Pak Broto, karena dia juga mau Alit memanggilnya sama seperti Alit memanggil Pak Yai.

“Bukan, itu Mbah Kung Mama,” jawab Munding, dia hanya bisa meringis kecut, mungkin Mbah Kung sama Mbah Uti-nya Alit terlalu banyak.

“Terus?” tanya Alit kebingungan.

“Ayah juga punya Mbah Kung. Tapi Mbah Kung Ayah sudah meninggal,” jawab Munding.

“Mbah Kung Ayah?” tanya Alit.

“Iya,” jawab Munding, “Mbah Kung Ayah yang dulu kasih nama. Munding artinya Kerbau,” lanjutnya.

“Kerbau? Kenapa Mbah Kung Ayah ngasih nama seperti itu?” tanya Alit lagi penasaran.

“Mbah Kung bilang, dia mau Ayah jadi kuat dan bisa membantu dia di sawah,” jawab Munding.

Alit terlihat berpikir keras. Munding hanya tersenyum melihat anaknya mencoba untuk berpikir itu.

“Ayah sekarang kan sudah kuat. Tapi, kenapa Ayah ndak pernah lagi kerja ke sawah? Sering pergi-pergi juga,” tanya Alit dengan muka polosnya.

Ughhhhhhh.

Munding hanya bisa merintih tanpa suara. Mau jawab apa dia?

“Sudah, kita ke tempat Ibu sama Mama ya? Alit haus kan?” tanya Munding mencoba mengalihkan pertanyaan anaknya.

Alit terlihat berpikir sebentar lalu menganggukkan kepalanya dan Munding pun dengan sigap menggendong putranya itu, daripada makin susah nanti pertanyaan yang keluar dari mulut mungil jagoannya.

Munding menurunkan Alit saat mereka hampir sampai di dekat Nurul dan Amel. Si kecil yang sebentar lagi akan menjadi seorang kakak itu langsung berlari menuju Ibunya begitu kedua kaki kecilnya menjejak ke tanah.

Munding hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat tingkah Alit.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang