Author note:
Nganu. Bonus chapter. Agak-agak berbau filsuf baca dengan senyuman dan jangan terlalu serius.
=====
Keteraturan itulah yang membuat mereka lebih tenang. Jauh lebih tenang dan kalem daripada saat mereka pertama kali datang ke tempat ini. April, Angga dan Dian merasakan sendiri manfaat dari kehidupan yang mereka jalani di tempat ini setelah beberapa minggu. Tapi masih ada satu hal yang tak diinginkan, emosi Dian yang sering lepas kendali.
“Dian, duduk!” perintah Munding pendek.
Dengan bersusah payah Dian pun mencoba untuk duduk dan bergabung bersama dua orang rekannya. Munding menarik napas dalam dan memejamkan matanya.
“Kalian tinggal disini selama beberapa minggu. Menjalani kehidupan anak kampung selama itu juga. Apa yang selama ini sudah kalian rasakan?” tanya Munding.
Ketiga remaja itu terdiam, mereka menundukkan kepalanya dan juga ikut memejamkan mata di tengah rindangnya kebun yang ada di belakang mushola dan dijadikan tempat latihan mereka ini.
Sekarang sore hari, waktu setelah Ashar dan sebelum Maghrib, memang sudah jadwal mereka melakukan sparring di saat seperti ini, nanti selepas ini, mereka bisa membersihkan diri dan mulai mengaji.
“Ini Pakdhe, kalau aku, aku merasa jauh lebih tenang. Teratur. Tidak ada yang mengejar ataupun harus dikejar. Semuanya mengalir begitu saja,” kata April memecahkan suasana diam.
“Angga dan Dian, kalian juga merasakan hal yang sama seperti April?” tanya Munding.
“Iya,” jawab kedua orang itu hampir bersamaan sambil menganggukkan kepalanya.
“Lalu kenapa Dian bisa seperti tadi saat menyerang Angga tanpa ampun?” tanya Munding dengan suara datar.
Mereka bertiga lalu kembali terdiam dan berpikir keras. Sebenarnya, Angga, April dan bahkan Dian sendiri juga tak tahu alasannya kenapa Dian bisa sangat emosional dan kalap seperti tadi dan juga sebelum-sebelumnya.
“Kalian bertiga selama disini, mau tidak mau harus mengikuti ritme gaya hidup disini. Yang awalnya selama ini kalian terbiasa dengan ritme cepat di kota besar dengan hiruk pikuknya, pelan-pelan melambat untuk mengikuti ritme kehidupan ala kampung,” kata Munding pelan.
“Seperti semuanya, selalu ada kekurangan dan kelebihan dalam sesuatu hal, sama seperti gaya hidup disini. Gaya hidupnya lambat, teratur, tenang, tapi di lain pihak monoton, tak ada tantangan, membosankan. Iya kan?” lanjut Munding.
“Tapi untuk proses pembelajaran, gaya hidup seperti ini sangatlah sesuai. Lupakan semuanya yang ada diluar, pikiran-pikiran menganggu yang terasa sangat penting tapi sebenarnya tidak relevan. Hiruk pikuk dunia yang tidak ada habisnya. Melambat, pelan, ritmik, teratur. Seperti itulah pola yang paling tepat untuk petarung yang sedang mengasah taringnya.”
“Karena itu, sejak dulu, di berbagai belahan dunia, seperti di China, perguruan yang besar selalu didirikan di atas pegunungan yang sepi. Contohnya Shaolin, Kunlun, Emei."
"Di Jepang, pendiri Kyokushin, Mas Oyama, juga berlatih dan menempa dirinya di gunung seorang diri."
"Di Nusantara juga, kenapa dalam tiap legenda para pendekar selalu berguru ke seorang pertapa di gunung?"
"Itu semua untuk mendapatkan ritmik gaya hidup yang sesuai untuk proses pembelajaran.”
“Dengan berkurangnya gangguan atau distraksi yang masuk ke kepala kita. Kita bisa lebih fokus. Bisa lebih terkonsentrasi untuk memikirkan apa sebenarnya yang kita mau, apa sebenarnya yang kita tuju, dan semua pertanyaan-pertanyaan lain tentang langkah kita. Tentang jalan kita,” lanjut Munding.
"Bahkan sampai sekarang, para praktisi kebatinan, mereka masih sering bertapa, menyepi, tirakat di gunung, gua atau tempat sepi lainnya. Kenapa mereka tak melakukannya di kota? Di tengah pasar? Di mall?"
"Selain karena mereka bakalan dianggap orang gila dan akan diciduk oleh Dinas Sosial atau Satpol PP, mereka ingin mencari ritme yang lambat. Ketenangan. Keteraturan."
"Dan semua itu akan bermuara pada satu tujuan."
"Mengenali diri sendiri."
"Sebelum kita bermimpi untuk mendominasi dan mengalahkan orang lain. Kita harus bisa mengenali diri kita sendiri. Menaklukkannya. Mengendalikannya."
"Apa yang terjadi pada Dian adalah bukti nyata bahwa dia belum sampai ke tahap itu."
"Dia masih sering lepas kendali."
"Emosinya menguasai diri. Mengambil alih nalar dan pikirannya. Mendominasi pengambilan keputusan dalam dirinya."
"Angga, April, memang kalian tak pernah mengalami apa yang Dian alami. Tapi bukan berarti kalian tak mengalami masalah yang sama."
"Dian adalah sebuah kebetulan saja. Terlahir dengan naluri yang kuat melebihi logikanya. Ditambah dengan pengalaman hidupnya, inilah yang terjadi sekarang."
"Kalian berdua, mungkin akan mengalami hal yang sama jika kondisi pemicunya sesuai."
"Dan jujur saja, aku sendiri pun masih terus belajar ke arah sana."
"Kembali ke tujuan awal dari semua ini."
"Saat kita belajar mengenali diri kita, sebagai petarung atau bahkan sebagai manusia biasa, kita memiliki tiga entitas terpisah dalam diri kita."
"Dengarkan baik-baik dan pahami ini," gumam Munding sambil membuka matanya dan melihat ke arah mereka bertiga satu persatu.
April, Angga, dan Dian memperhatikan dengan seksama karena ini kali pertama Pakdhe seserius ini.
"Ada tiga entitas dalam diri kita dan semua manusia lainnya."
"Yang pertama adalah logika, akal, pikiran, nalar, atau apapun istilahnya," kata Munding sambil menunjuk ke kepalanya.
"Yang kedua adalah naluri, nurani, rasa, emosi, atau apapun istilah lainnya," kata Munding sambil menunjuk dadanya.
"Yang ketiga adalah jatidiri, kesadaran diri, self awareness, keakuan, ego atau apapun namanya," kata Munding tanpa menunjuk ke arah manapun dan membuka kedua tangannya.
"Sepanjang waktu, manusia mengandalkan logika dalam mengambil keputusan."
"Logika yang selama ini telah dicemari dan dipengaruhi oleh norma, apapun itu. Baik dan benar. Apa yang sebaiknya dilakukan. Dosa dan pahala. Semua aksi kita dan kebanyakan manusia rata-rata mengandalkan logika."
"Naluri dan kesadaran diri umumnya akan sejalan dengan logika, karena kita tanpa sadar menganggap bahwa semua yang diputuskan dengan logika adalah kebenaran."
"Padahal sebagian besar norma adalah ciptaan manusia dan kemungkinan besar akan saling bertentangan."
"Sebagai contoh, sesuai norma agama, poligami dibolehkan, tapi menurut norma sosial, itu hal yang menjijikkan. Pelakunya digunjing dan dianggap sebagai sesuatu yang salah," kata Munding yang sebenarnya adalah curhatan author.
"Contoh lain, menurut norma agama, perbuatan syirik adalah suatu kesalahan yang luar biasa besar, tapi pelakunya justru diagungkan, masuk ke televisi sebagai orang sakti dengan predikat paranormal dan menjadi pujaan, sedangkan pelaku pencurian ayam, justru dihajar dan dibakar oleh massa, dan mereka tak merasa bersalah saat melakukannya."
"Ini bukti bahwa logika memiliki cacat yang nyata. Karena semua orang memiliki persepsi salah dan benar yang berbeda. Sangat tergantung dengan pengalaman hidup dan norma yang diyakininya."
"Di lain pihak, ada sebagian kecil manusia yang mengesampingkan logika dan bertindak menuruti nalurinya. Mengikuti emosi dan rasa yang dia miliki. Tak peduli dengan salah dan benar. Bertindak sesuka hati."
"Dalam kasus ini, Dian adalah salah satu contohnya. Tapi dia melakukan hal itu di saat pemicu yang dibutuhkan terpenuhi."
"Tugas pertamaku untuk kalian."
"Apa yang akan kalian lakukan dengan tiga entitas yang ada pada diri kalian masing-masing?" tanya Munding dan membuat ketiga anak didiknya tertegun.
Ini adalah tugas pertama dari Pakdhe, mentor mereka, dan kepala merasa langsung terasa meledak saat menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
munding:utopia
Action(Action) Utopia merupakan sebuah negeri khayalan yang diciptakan oleh Sir Thomas Moore dalam bukunya yang berjudul Utopia. Negeri ini berupa sebuah pulau di tengah-tengah Samudera Atlantik yang memiliki tatanan kehidupan yang ideal, dari semua segi...