Chapter 81 - Gathering

3.3K 196 60
                                    

“Dia hanya anjing gila yang mengejar tulang. Dia tak punya kesetiaan. Kita tak perlu orang seperti dia, Thomas!!” teriak Knife kearah Tommy.

Tommy terdiam tanpa memberikan komentar apa-apa. Lee juga hanya duduk dan diam di depan mereka berdua.

“Johnny, justru karena dia itu anjing gila yang hanya mengejar tulang, kita tak perlu kuatir. Kita bisa menjaganya tetap melayani kita, selama kita memberinya tulang,” jawab Tommy.

“Aku tak bisa mempercayainya. Apapun alasannya. Dia bisa saja tiba-tiba menggigit tangan kita. Dia anjing gila,” balas Knife.

Untuk sesaat tadi, Knife memang merasakan krisis hidup dan mati yang luar biasa. Terutama saat Titis menodongkan pistol ke kepalanya. Dia yakin dan tahu kalau tadi, Titis memang sama sekali tak ragu untuk menarik pelatuk pistol itu untuk menghabisinya.

Karena itu Knife sangat membenci Titis saat ini. Rekan seperti apa yang tanpa ragu dan gugup tega membunuh kawannya sendiri?

Bagaimana mungkin Knife bisa merasa tenang berada di dekat seorang rekan seperti Titis? Apakah kedepannya Knife berani mempercayakan keselamatannya di tangan Titis?

“Tenang saja Knife. Aku akan selalu memastikan kalau si Gila ini benar-benar kita kuasai sepenuhnya. Itulah kenapa Kelly dan Clown tidak ada disini. Di saat kita memanggil Gunman kesini, aku meminta Clown dan Kelly untuk mencari keluarganya di Indonesia,” gumam Tommy.

Mata Knife terlihat bersinar saat mendengar kata-kata Tommy barusan. Cara terbaik untuk memastikan kesetiaan orang-orang di bawah mereka adalah dengan menyandera atau melakukan ancaman melalui keluarga terdekat sasaran mereka.

“Kalau kau atau Lee yang melaksanakan tugas itu. Titis pasti curiga. Tapi jika hanya seorang Clairvoyant dan seorang petarung inisiasi yang tidak ada di sini, dia tak akan berpikiran apa-apa,” lanjut Tommy.

“Lagipula, Titis hanya akan menjadi decoy untuk kita, sebatas pengalih perhatian saja. Aku akan turun tangan sendiri. Akan kutunjukkan kepada dunia, bahwa Utopia bukanlah organisasi sembarangan yang bisa mereka pandang sebelah mata,” gumam Tommy sambil menangkap koin yang tiba-tiba jatuh ke telapak tangannya lalu mengenggamnya erat.

=====

“Utopia sudah mulai memperlihatkan gerakan yang mengancam kestabilitasan yang sudah beratus-ratus tahun kita ciptakan,” kata Cui kepada ratusan orang yang terlihat duduk di sebuah ruang aula yang berukuran besar.

“Beberapa narasumberku juga sudah memberitahukan modus operandi mereka. Mereka menggunakan serum chemical untuk mengendalikan keluarga orang-orang yang mereka incar. Kepada orang-orang yang mereka paksa untuk menjadi budak mereka,” lanjut Cui.

“Gerakan mereka massives. Dengan metode brutal mereka, mereka bisa memperoleh dana yang luar biasa besar dan dukungan politik yang sangat luar biasa. Bahkan beberapa pemimpin negara berhasil mereka kuasai, sukarela atau dengan paksaan.”

Di sebuah layar berukuran besar yang ada di sebelah Cui, wajah dan identitas beberapa orang silih berganti mengisi layar. Mereka adalah orang-orang berpengaruh yang telah diketahui menjadi kaki tangan Utopia.

“Utopia sekarang menjadi sebuah virus, sebuah wabah, yang jika tidak akan segera dibasmi akan menjadi terlalu besar dan mengancam stabilitas hegemoni kita yang sudah tercipta,” teriak Cui berapi-api.

Munding sama sekali tak mengerti apa yang Cui katakan, tapi gadis penerjemah di sebelahnya dengan tekun mengatakan semua maksud kata-kata Cui ke dalam Bahasa Indonesia dengan logat yang sedikit aneh di telinga Munding.

Munding justru lebih asyik menikmati hidangan yang ada di depan mejanya.

Di aula ini terdapat ratusan meja berbentuk bulat dan terpisah-pisah dengan beberapa buah kursi yang mengelilinginya. Di atas masing-masing meja, terdapat berbagai hidangan dan minuman yang bisa mereka nikmati kapan saja. Para pelayan wanita dengan setia menemani setiap meja untuk menyiapkan apapun keperluan yang dibutuhkan.

Podium tempat Cui sekarang sedang berpidato terletak di bagian depan aula. Terdapat 9 buah kursi di sana yang digunakan untuk para Tetua. Kursi itu tidak diletakkan di atas podium tetapi berada di lantai yang berada di belakang podium kecil tempat Cui berdiri.

Banyak petarung manifestasi yang datang ke acara ini. Kongzi tak akan seberani itu meletakkan para Tetua di atas podium sebagai penghormatan kepada para tamu mereka.

“Cui!! Hentikan semua omong kosong ini. Kami tahu kalau kita harus mengambil tindakan. Itu saja. Sekarang apa rencana kalian?” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dengan suara yang menggelegar dan mengisi hampir seluruh aula.

Cui terdiam dan menghentikan monolognya. Dia melirik ke arah sumber suara dan melihat sebuah meja yang berisi dua orang biksu berkepala botak yang terlihat berpakaian lusuh.

Cui membungkukkan badannya dan memberikan salam dengan mengepalkan tangan kanan lalu membungkusnya dengan tangan kiri di depan dada, “Terima kasih atas usulan yang diberikan oleh Biksu Ombak Laut dan Biksu Batu Karang dari Tibet,” kata Cui dengan hormat.

Mereka memang hanya berdua, tapi Cui harus tetap memberikan respectnya karena mereka adalah representasi dari faksi Buddhist. Selain faksi agamis, Kongzi memang mengundang perwakilan dari keluarga-keluarga berpengaruh yang memiliki peranan penting di belakang layar.

Tapi, Cui tahu kalau untuk urusan Utopia ini, dukungan terbesar yang harus mereka dapatkan adalah dari faksi agamis, bukan dari faksi tradisionalis atau klan. Faksi agamis lah yang paling merasakan dampak dari berkembang pesatnya Utopia. Faksi tradisional seperti beladiri, keluarga dan aliansi dagang/kejahatan tak akan merasakan pengaruh dari berkembang pesatnya Utopia.

Sebagian besar agama mayoritas memang berasal dari Asia. Yahudi, Kristen, Islam dari Asia Barat. Hindu dan Buddha dari Asia Selatan. Konghucu dan Taoisme dari Asia Tengah. Karena itulah Kongzi mencoba berinisiatif untuk mengadakan gathering ini.

“Tetua Cui, kami dari Klan Takeda mempunyai beberapa informasi yang kami rasa berharga untuk tujuan gathering ini. Tapi kami tidak dapat memberikan informasi ini secara terbuka disini. Kami ingin mengadakan rapat tertutup untuk pihak yang berkepentingan saja,” Takeda Nobuyuki, pemimpin rombongan Klan Takeda tiba-tiba saja membuka suara ketika Cui dan Biksu dari Tibet selesai bertukar salam tadi.

Semua tamu undangan yang ada di ruangan aula ini terdiam.

Klan Takeda memang sebuah faksi tradisional yang sangat opportunis sekali. Mereka bahkan berani menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan dengan memperjual belikan informasi. Sebagian besar tamu undangan hanya bisa melirik pasrah ke arah salah satu Klan terkuat di Jepang itu.

Cui melirik ke arah para Tetua yang berada di samping podium dan terlihat meminta kesepakatan dari mereka. Tak lama kemudian, Cui menganggukkan kepalanya dan kembali menghadap ke arah semua tamu undangan.

“Kami, sebagai tuan rumah, sangat menghormati atas kedatangan para tamu undangan. Kita akan mengadakan sedikit jeda untuk acara hiburan. Mohon maaf jika hidangan yang ada di depan rekan-rekan dirasa kurang memuaskan,” kata Cui mengakhiri monolognya dengan memberikan salamnya lalu turun dari podium.

Tak lama kemudian, Cui dan para Tetua meninggalakan aula itu. Beberapa detik setelah para Tetua Kongzi menghilang, belasan gadis cantik keluar dari balik tirai dan mulai memperlihatkan keahlian mereka menari di depan para tamu undangan. Membuat suasana yang berubah secara tiba-tiba tadi sedikit demi sedikit terasa lebih rileks.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang