Chapter 18 - Gaje part 2

3.7K 254 219
                                    

Rombongan anak gaul itu makin berisik dan berteriak-teriak heboh. Apalagi ada beberapa gadis cantik di antara mereka, tentu saja para cowok-cowok berlomba untuk menarik perhatian para gadis dengan bertingkah lucu, aneh bahkan gila.

Munding tidak lagi memperhatikan tingkah gerombolan anak alay tersebut dan kembali menunggu Cynthia sembari menikmati kacang mete di tangan kanannya. Dia sengaja menjauh beberapa meter agak tidak terganggu dengan mereka.

Tapi.

Kita hanya bisa berusaha, tapi kebodohan selalu berusaha menemukan jalannya.

Sama seperti sekarang, entah siapa yang memulai, tapi gerombolan alay itu justru merangsek bergerak ke arah Munding yang sudah sengaja menjauh. Beberapa orang yang sama-sama menunggu jemputan mereka di terminal kedatangan ini juga melihat tak suka ke arah tingkah beberapa anak muda yang berlebihan itu, tapi tak ada yang berani maju untuk menegur mereka.

Hanya dalam hitungan detik, mereka sudah berada di dekat Munding lagi.

“Heii Kampungan!!” panggil si Keren yang tadi mengejek Munding.

Munding hanya menolehkan kepalanya tanpa menjawab dan tanpa tersenyum. Ini kali kedua si Alay ini datang menganggunya. Untuk yang pertama tadi, dia mengalah dan memaafkan si Alay, tapi untuk yang kedua ini, mau menghindar kemana lagi Munding?

“Lo nungguin siapa? Emang ada yang jemput Lo? Ini Jakarta Bung, bukan kampung Lo!!” sambung si Keren yang disambut gelak tawa oleh rekan-rekannya.

Munding hanya diam saja dan mencoba untuk tersenyum. Wajarkah jika seorang manusia marah ketika seekor semut menghinanya? Seperti itulah Munding memandang si Alay.

“Nggak usah sok cool Lo!!” teriak rekan si Keren yang tiba-tiba saja menepis tangan Munding yang akan kembali memasukkan kacang mete ke mulutnya.

Tapi tepisan tangan si Alay no 2 itu tak mengenai sasaran dan justru membuat dirinya tersungkur ke depan. Kontan saja kejadian lucu ini menjadi bahan ketawaan rekan-rekannya. Muka si Alay no 2 jelas merah padam. Dia ingin terlihat keren, tapi justru jadi bahan ketawaan, mau ditaruh dimana mukanya.

“Lo berasa jago ya? Sok-sokan ya? Lo jual gua beli!! Sini! Kalau gua jiper, percuma dari kecil gua latihan Wushu,” tantang si Alay no 2 yang berbadan lebih kekar dari Alay no 1 sambil melepas jaket dan kacamatanya.

Sorakan langsung terdengar dari rekan-rekan si Alay no 2. Keliatannya dia memang terkenal jago berkelahi di antara rekan-rekannya.

Munding menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. ‘Lo jual gua beli!’, siapa yang jual siapa yang beli coba? Dibela-belain menjauh, masih dikejar juga, dia yang nepis duluan, dikirain nantang. Sempak kan?

“Ayo!! Lu cowok kan? Kalau kagak berani, pake daster aja Lo!” teriak si Alay no 2 yang kembali disambut sorakan oleh rekan-rekannya.

Munding melirik sekilas kearah Alay no 2, dan Munding tahu kalau cowok itu memang punya basic beladiri di atas rata-rata. Dia memasang kuda-kuda wushu yang terlihat kokoh dan bertenaga. Tapi sayang, bukannya fokus untuk meningkatkan kemampuan beladirinya, justru bergabung dengan gerombolan alay yang suka membuat keributan kesana kemari ini.

Si Alay no 2 lalu mulai menggeser kuda-kudanya dan dia terlihat lebih fokus ke arah Munding, sedangkan Munding sendiri masih memasukkan tangan kiri ke saku celana dan tangan kanan yang tak berhenti mengumpan kacang mete ke mulutnya.

Brrooomm Brrrroommm Brrrroommmm.

Tiba-tiba saja suara knalpot mobil yang menggelegar dan memekakkan telinga terdengar di terminal kedatangan ini dan menarik perhatian semua orang yang ada disini. Gerombolan Alay yang sedang mengelilingi Munding juga menolehkan kepalanya kearah suara itu berasal.

Sebuah mobil sport mewah type Lamborghini Huracan berwarna merah terlihat memasuki area terminal kedatangan sambil menggeber-geber gasnya. Beberapa petugas keamanan bandara bersikap seolah-olah tak tahu dengan tingkah si pengemudi mobil sport itu ketika melihat plat nomor mobil merah ini.

B 14 NG.

Mereka hapal dengan pemilik Huracan Merah dan berplat nomor ‘biang’, siapa lagi kalau bukan calon pewaris tahta kerajaan bisnis keluarga Hong, Cynthia Hong.

Jadi buat apa juga mereka menegur si Biang onar? Lebih baik, mereka pura-pura tak tahu, biarkan dia menjemput siapa yang dia mau dan segera berhembus dari sini sejauh-jauhnya.

Gerombolan Alay yang tadinya mengelilingi Munding juga terkesima melihat kedatangan mobil sport merah dengan suara knalpot yang menggelegar itu. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang dia jemput di terminal ini.

Tapi raut muka mereka lama-lama berubah dari terkesima, menjadi kagum, lalu berubah sedikit panik ketika mobil sport merah itu terus melaju pelan ke arah mereka berdiri dan akhirnya berhenti tepat di depan mereka.

Gerombolan alay itu berdiri mematung dengan tubuh kaku dan hanya bisa menunggu dengan jantung berdebar-debar ketika pintu mobil itu terbuka dan seorang wanita cantik dengan penuh percaya diri turun dari kursi pengemudi.

Tanpa berkata apa-apa, si wanita lalu berjalan ke arah gerombolan alay yang mengelilingi Munding dan tersenyum lebar sambil melepas kacamata hitam yang dia kenakan. Ekspresi ceria dan senang jelas terlihat di wajahnya ketika melihat sosok Munding yang berdiri dengan tenang dan asyik menikmati kacang metenya.

“Mas?” panggil Cynthia sambil tersenyum lebar.

Munding pun berjalan ke arah Cynthia dan menganggukkan kepalanya tapi sesuatu yang tak disangka-sangka Munding terjadi, si Cynthia yang mungkin mulai retak kepalanya karena sering dipukuli oleh Aisah, tiba-tiba saja membuka tangannya dan memeluk Munding erat.

“Lama nggak jumpa lho Mas, Cynthia kangen,” kata Cynthia saat memeluk Munding.

Munding tersenyum kecut, “Jangan gini lagi, aku dah married, nggak enak dilihat orang,” protes Munding pelan.

“Hahahahahaha. Iya Mas iya. Jangan marah, gitu aja marah, cepet tua lho nanti!” goda Cynthia lalu berjalan di sebelah Munding ke arah mobilnya.

“Itu apa?” tanya Cynthia ketika melihat Munding asyik memakan mete di tangannya.

“Cemilan,” jawab Munding pendek.

“Nurul yang bikin ya? Sini, aku minta Mas,” kata Cynthia sambil mengangkat tangannya.

Munding memberikan segenggam kacang mete ke tangan Cynthia yang tanpa ragu langsung mengunyahnya satu persatu seperti Munding sambil berjalan ke arah mobil miliknya.

“Dah ditungguin sama mereka lho Mas. Mereka juga bingung, ngapain Mas ke Jakarta? Biasanya kalau nggak ada urusan penting, Mas nggak bakalan mau keluar dari sarang. Iya kan?” tanya Cynthia.

Mereka berdua berbicara dengan akrab sampai akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan meninggalkan suara raungan knalpot yang memekakkan telinga di kejauhan.

Gerombolan alay yang tadi berniat mencari gara-gara dengan Munding masih terpaku di tempatnya. Semua kejadian yang baru saja terjadi dengan cepat dan hanya beberapa menit itu sama sekali di luar dugaan mereka dan menghempaskan mereka hingga kehabisan kata-kata.

“Itu tadi... Cynthia Hong,” gumam si Alay no 2 dengan suara bergetar karena gugup dan ketakutan.

“Cynthia Hong?” tanya salah satu rekannya.

“Iya, Cynthia Hong, dia memang lebih dikenal sebagai calon pewaris bisnis keluarga Hong yang cantik dan intelek. Tapi dia juga punya identitas lain. Dia seorang master wushu. Bahkan guruku sendiri mengatakan kalau Cynthia bisa mengalahkan 5 orang dengan kemampuan seperti guruku dengan mudah. Dia itu seorang genius wushu.”

=====

Author note:

Ampun. No more. Kalian tahu artinya 'no more' kan?

Mau berapa pun komen di chapter ini, ndak ada bonus lagi. Kalian terlalu brutal. Keriting jempolku.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang