Chapter 110 - Real Enemy

3.2K 210 12
                                    

Munding berdiri dan berjalan menyusuri pelantar kayu yang dibangun di atas permukaan air laut itu, meninggalkan Arya dan Shakur di teras rumah entah milik siapa yang ditempati Shakur saat ini.

Dia melihat ke arah rumah-rumah penduduk di sekelilingnya dan tersenyum kecil.

Kehidupan di sini jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari Munding. Di tempat asal Munding, semuanya selalu berputar-putar di sekitar bercocok tanam, sawah, ladang, tanaman dan semacamnya. Di tempat ini, semua berputar-putar di sekitar laut dan hasilnya, ikan, kepiting, udang, cumi, kerang, dan sejenisnya.

Saat siang hari seperti ini, Munding melihat para nelayan yang terlihat sedang bersantai dan berkumpul di depan rumah masing-masing. Sebagian sedang merajut jaring miliknya, sebagian lagi sedang memperbaiki kapal yang ada di bawah pelantar rumahnya, sebagian lagi sedang membersihkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Seolah-olah siang hari adalah waktunya mereka bermalas-malasan, tapi Munding tahu, para nelayan itu mungkin akan bekerja keras malam hari nanti. Ditemani oleh siraman cahaya bulan dan dinginnya angin malam, mengarungi lautan untuk mencari rejeki.

Sangat berbeda dengan para petani di pegunungan yang harus saling mengejar waktu dengan terbitnya matahari, lalu kembali pulang saat matahari menyingsing tinggi ataupun terbenam di sore hari.

Dua buah gaya hidup yang bertolak belakang, dan semua itu karena habitat dari tempat yang mereka tinggali.

Habitat.

Sama seperti ikan Baronang yang akan melemah dengan cepat saat dia dipaksa oleh Shakur keluar dari air tadi. Ikan itu terlepas dari habitatnya.

Mungkin seorang petani, akan mengalami kesulitan saat pertama kali beradaptasi dari kehidupan di gunung dan berpindah ke laut. Mungkin seorang nelayan juga akan mengalami hal yang sama jika harus menjalani hal yang serupa.

Kegelapan.

Kegelapan bukanlah habitat untuk manusia. Manusia, sama seperti sebagian besar mahluk hidup lainnya, memiliki insting untuk lebih menyukai cahaya dibandingkan kegelapan. Seperti laron-laron yang akan terbang dari guanya yang gelap setelah hujan turun, demi mengejar cahaya meskipun hanya dalam waktu yang sekejap kemudian dia akan kehilangan nyawanya.

Munding mulai merasakan sesuatu seolah-olah seperti terbangun dalam tubuhnya.

Inspirasi.

Munding mulai menyadari kesalahan fatal yang selama ini dia lakukan saat memahami konsep kegelapan miliknya dan ingin menciptakan teknik yang akan dia gunakan untuk bertarung.

Dia selalu melihat ke ‘dalam’ dan mencoba untuk mengenali konsepnya lebih mendetail, tapi Munding tak pernah mencoba untuk melakukan pendekatan ‘keluar’.

Pendekatan keluar seperti yang saat ini dilakukannya. Dengan melakukan observasi seperti saat Shakur memperhatikan dengan seksama kapan si Ikan kelelahan, dengan memilih aplikasi konsep yang tepat sesuai dengan keadaan dan kondisi musuhnya.

Tapi, sekalipun inspirasi itu datang secara tak terduga dan Munding belum bisa sepenuhnya menciptakan sebuah teknik yang jadi dan bisa dia gunakan, trip ke Natuna kali ini sama bukanlah sesuatu yang sia-sia bagi Munding.

=====

“Sudah selesai?” tanya Munding.

“Sudah,” jawab Arya pendek sambil tersenyum.

Melihat raut muka Arya yang terlihat rileks dan tenang, Munding tahu kalau Arya cukup puas dengan informasi yang dia dapatkan dari Shakur.

Shakur terlihat merebahkan dirinya ke belakang, wajahnya yang terlihat mempunyai bekas luka karena terkena pecahan kaca di beberapa bagian itu memiliki aura yang sama dengan Arya. Munding melirik kedua orang itu berganti-gantian lalu tertawa kecil.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang