Chapter 114 - Berburu

3K 203 11
                                    

Nurul terisak-isak pelan.

Kenapa?

Kenapa selalu mimpi buruk berulang-ulang ini yang harus dia temui setiap malam?

Seolah-olah seperti sudah tahu dengan apa yang akan terjadi, Nurul memutar tubuhnya ke arah kiri dan melihatnya, lagi. Munding yang berjalan pelan tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Nurul yang duduk di atas kursi rodanya, di sebuah tempat yang gelap dan temaram.

Nurul tahu kalau semua ini mimpi, tapi anehnya, dia tak bisa terbangun.

Mungkin ada orang yang berkata, jika seseorang mengalami rasa sakit yang sama atau merasakan penderitaan yang sama berulang kali, lama kelamaan, dia akan kebal dan rasa sakitnya akan berkurang. Tapi bagi Nurul, semua itu omong kosong.

Setiap kali mimpi ini terjadi.

Setiap kali dia melihat suaminya berjalan tanpa menoleh ke belakang dan meninggalkan dirinya.

Setiap kali dia berusaha untuk berteriak dan memanggil sosok itu agar menoleh dan menyadari keberadaannya.

Nurul selalu merasakan rasa sakit yang sama, bahkan lebih setiap kalinya.

Rasa sakit yang lama kelamaan membuat Nurul sadar, betapa sosok Munding sudah tak tergantikan lagi bagi dirinya.

Betapa dia ingin sekali membuat sosok itu berpaling lalu tersenyum ke arah dirinya.

Betapa dia sangat takut sekali kehilangan suaminya.

Nurul terdiam dan tanpa terasa air mata merembes di kedua pipinya. Ini sudah kali ke sekian Nurul menyerah dan tak mengejar Munding di dalam mimpi yang aneh ini. Dia sudah pernah mencoba segala cara untuk membuat Munding menoleh ke arahnya tapi tak pernah berhasil.

Seolah-olah ada sebuah dinding kaca transparan yang membatasi mereka berdua. Sebuah dinding yang membuat Munding tak bisa melihat dirinya. Sebuah dinding yang membuat Munding tak bisa mendengar suaranya.

Karena itu, Nurul hanya duduk terdiam sambil menangis di tempatnya.

“Mas, kamu tahu nggak kalau kamu itu seperti Matahari untukku?” bisik Nurul pelan sambil mengusap air matanya.

“Di saat kamu tak ada, aku kedinginan, ditelan kegelapan, dan sendirian.”

“Mas, kenapa aku harus melihatmu meninggalkan aku seperti ini berulang kali?”

“Apakah itu yang benar-benar kamu inginkan?”

“Tak bisakah kamu menoleh ke arahku dan memberikan senyummu untukku?”

Sama seperti sebelumnya, tak ada suara dan tak ada respon yang Nurul dapatkan dari Munding. Sosok Munding perlahan-lahan melangkah menjauh dan menghilang, meninggalkan Nurul yang menangis sesenggukan di atas kursi rodanya.

=====

Ciiiiiittttttttttttttttttttttt.

Booommmm.

Suara ban mobil yang beradu dengan aspal jalan raya terdengar melengking sebelum akhirnya sebuah suara ledakan keras terdengar. Sebuah mobil terlihat terbalik di tepian jalan raya dan meninggalkan bekas goresan menghitam di atas aspal.

“Huft!! Lari, berpencar!!” kata seorang wanita yang berpakaian rapi ke arah rekan-rekannya.

Ada enam orang di dalam mobil yang baru saja menabrak sebuah tiang jalan layang yang ada di sebuah kota di Indonesia itu.

Dua diantara mereka adalah seorang wanita dan empat orang lainnya laki-laki. Mereka semua mengenakan topeng yang bentuknya beraneka ragam dan tanpa sebuah pola identitas tertentu. Di tangan masing-masing, tergenggam berbagai jenis senjata api dan tajam.

Mendengar perintah si Wanita, tanpa berpikir panjang, kelima rekannya langsung melesat ke berbagai arah dan meninggalkan tempat itu secepat kilat. Mereka tak mempedulikan kondisi tubuh mereka yang mungkin mengalami luka ringan karena kecelakaan tadi. Waktu adalah segalanya, dan saat ini mereka membutuhkan semua waktu yang ada, bahkan sepersekian detik sekalipun.

Karena mereka sedang diburu, oleh Biro.

Tak jauh dari tempat itu, beberapa orang yang mengenakan seragam taktis berwarna hitam lengkap dengan rompi pelurunya terlihat mengendarai beberapa buah mobil dengan kecepatan tinggi.

“Ini grup kedua, afiliasinya dengan lembaga peradilan. Gila!!” kata April sambil membaca sebuah berkas di tangannya yang terdiri dari beberapa lembar kertas dan berisi biodata target mereka.

Semua orang di dalam mobil itu hanya terdiam dengan wajah serius. Ada lima orang dalam mobil ini termasuk April, beberapa di antara mereka adalah petarung inisiasi dan sudah merupakan anggota resmi Biro, berbeda dengan April yang masih berstatus ‘trainee’.

Tapi justru si trainee yang masih sangat muda ini lah yang ditunjuk oleh Wakil Ketua Biro untuk memimpin tim mereka.

Setelah membaca berkas yang ada di tangannya, April lalu menyobek-nyobek kertas itu menjadi serpihan kecil dan membuangnya dari jendela mobil yang melaju kencang. Semua orang yang ada di mobil itu hanya melihat April keheranan.

“Komandan, kenapa berkasnya dihancurkan, mungkin nanti kita masih memerlukannya untuk memastikan target kita,” kata salah seorang veteran petarung yang ada di dalam mobil.

“Apa yang kubaca, sudah tersimpan di dalam sini,” jawab April sambil tersenyum riang dan menunjuk ke kepalanya.

Hal yang sama juga menimpa Dian dan Angga, mereka berdua berada di dua mobil terpisah dengan mobil April dan ditunjuk oleh Afza untuk menjadi komandan dari masing-masing tim yang beranggotakan 5 orang. Sebagian besar dari tim itu adalah trainee seperti mereka bertiga, tapi sebagian yang lain adalah petarung veteran dari biro yang sudah resmi tergabung.

Di mobil yang dikendarai Dian dan timnya.

“Baca ini, ingat baik-baik, kamu yang bertugas mengidentifikasi target!!” kata Dian sambil memberikan berkas yang ada di tangannya kepada salah seorang anggota wanita yang berada di timnya.

Berbeda dengan April, kemampuan otak Dian terbatas dan dia tahu itu. Tapi dari ketiga anak didik Munding, Dian satu-satunya yang mencapai level inisiasi dan dia yang terkuat, bahkan dari semua rekrutmen dari angkatan mereka.

Selain kuat, Dian juga terlihat dingin, tegas, dan sedikit menakutkan, membuat semua anggota timnya berusaha keras agar suara napas mereka tak terlalu kencang dan membuat Dian marah.

Angga mungkin satu-satunya yang paling malang. Dia tak sekuat Dian dan juga tak sepintar April. Dia adalah seorang petarung tahap awakening yang merasa kalau dirinya hanya pas-pasan saja. Karena itu, saat ini, dia sedang menahan tangis sambil berusaha keras untuk mengingat-ingat biodata target yang ada di tangannya.

Kelima anggota timnya melirik Angga dengan tatapan sinis. Seolah-olah menyesali nasib mereka, kenapa bisa mendapatkan seorang Komandan seperti Angga.

Tak lebih dari dua menit, mereka sampai ke lokasi tempat mobil buruan mereka mengalami kecelakaan.

“Mereka berpencar,” kata April dengan cepat mengambil kesimpulan.

“Karena mereka berpencar, lebih baik menangkap pemimpinnya atau setidaknya orang yang memiliki peran penting dari grup ini,” lanjut April.

Lalu dengan serempak, April dan Dian menoleh ke arah Angga.

“Apa?” tanya Angga kebingungan.

April melotot ke arah Angga dan membuat cowok itu mengangkat bahunya, “Oke, oke. Huft.”

Angga memejamkan matanya dan sesaat kemudian, semuanya terasa seperti menghilang. Angga merasakan desakan kuat yang membuatnya ingin mengejar ke arah utara. Tanpa ragu Angga menunjuk ke arah utara.

Dian dan April tersenyum lalu dengan cepat memerintahkan tim mereka untuk bergerak ke arah utara. Anggota tim Angga hanya terdiam saja melihat semuanya, komandan yang mereka pikir tak berguna, ternyata sangat dipercaya oleh Dian, petarung inisiasi yang dianggap sebagai salah satu yang terkuat di Biro.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang