Chapter 70 - Pedang

3.3K 224 43
                                    

“Oni?” tanya Chiyo ke arah Munding yang memejamkan mata.

Munding terdiam.

“Tak usah berpura-pura tertidur. Aku tahu kalau kamu masih terjaga,” kata Chiyo sambil tertawa kecil.

Munding pun membuka matanya. Chiyo tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Tingkahnya seperti seorang gadis kecil yang lucu dan imut, tapi Munding tak akan tertipu. Entah berapa banyak nyawa yang sudah melayang di tangan sosok gadis imut di depannya ini.

“Kenapa?” tanya Munding.

“Aku cuma ingin bertanya, berapa banyak kuota yang didapat oleh Indonesia?” tanya Chiyo.

Raut muka Munding terlihat sedikit berubah ketika mendengar pertanyaan Chiyo. Dia masih kesal dengan perlakuan yang diterimanya dari Kongzi. Satu-satunya alasan dia datang kesini, karena desakan Arya dan karena Utopia mulai mengarahkan cakar mereka ke Indonesia dengan membangun Surga Kedua di Papua beberapa waktu lalu. Tanpa kedua hal itu, Munding mungkin tak akan pernah mau datang kesini untuk mengikuti gathering ini.

Setelah terdiam selama beberapa saat, Munding mengangkat jari telunjuknya. Chiyo melihat Munding dengan muka kaget dan tak percaya.

“Kongzi hanya memberikan satu kuota untuk kalian?” tanya Chiyo tak percaya.

Munding menganggukkan kepalanya.

“Memang berapa kuota yang kalian dapat?” tanya Munding.

Chiyo terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Munding dengan suara pelan, “Kami mendapatkan 6 kuota: dua kuota fix, empat kuota kosong.”

Munding sedikit kebingungan dengan kata-kata Chiyo dan Chiyo pun tersenyum, “Kuota fix maksudnya, orang yang datang tidak boleh diganti tanpa kesepakatan. Sedangkan kuota kosong, Klan kami bebas mengisinya dengan siapa saja,” jelas Chiyo.

Setelah itu Chiyo masih menambahkan, “Untuk kuota fix diisi oleh dua orang petarung manifestasi, kamu sudah melihat salah satunya tadi. Sedangkan kuota kosong kami diisi oleh empat orang petarung inisiasi, salah satunya aku.”

Muka Munding berubah ketika mendengar kata-kata Chiyo. Selama ini dia berpikir kalau gathering ini hanya dikhususkan untuk para petarung dengan level seperti dirinya. Karena itu, dia menganggap bahwa undangan yang hanya didapatkan oleh diriya adalah suatu kewajaran. Tapi setelah mendengar kata-kata Chiyo, bukankah itu berarti petarung inisiasi pun bisa datang ke tempat ini? Belum lagi jika membayangkan level kekuatan petarung manifestasi yang ada.

Saat Munding tadi bertemu dengan kakek tua dari Klan Takeda di bandara tadi, Munding sama sekali tak merasa takut ataupun ancaman bahaya darinya. Itu artinya, Munding yakin kalau dalam pertarungan hidup mati dan satu lawan satu, dia bisa mengalahkan si kakek Takeda tadi. Itu sebuah fakta dan tanpa ada maksud untuk menyombongkan diri.

“Kongzi …,” Munding hanya menyebutkan nama organisasi itu dengan suara pelan.

Rasa amarah muncul di dalam dirinya. Baru kali ini dia benar-benar merasa disepelekan oleh seseorang atau sebuah organisasi. Apalagi ketika dia mengingat kejadian tadi di Bandara Lingyi, tak ada seorang pun dari organisasi Kongzi yang datang untuk menjemputnya.

Munding bukan gila respect, tapi apakah sikap seperti ini pantas ditujukan kepada tamu yang diundang dan datang dari jauh?

“Seseorang akan memanen hasil sesuai apa yang dia tanam,” gumam Munding pelan dan membuang mukanya ke arah luar jendela.

Chiyo hanya terdiam ketika dia mendengar kata-kata Munding. Dia tahu peribahasa itu. Sebuah peribahasa universal yang bisa ditemukan di berbagai belahan dunia dan maknanya sama.

You reap what you sow.

Seseorang pada akhirnya harus menghadapi konsekuensi dari semua perbuatan yang dia lakukan.

=====

Cui duduk di sebuah kursi tanpa meja di depannya. Puluhan orang berdiri di depan Cui dengan sikap hormat dan menundukkan kepalanya. Di sebelah kiri dan kanan Cui, beberapa orang terlihat duduk dengan posisi yang sama tinggi dengan Cui. Kursi itu berjumlah 9 orang dan semuanya terisi.

Mereka bersembilan adalah para tetua Kongzi.

Di bawah kesembilan para tetua, berdiri seorang laki-laki berbadan kekar dan memiliki rambut hitam yang dipotong pendek. Alisnya berwarna hitam dan menyatu di bagian tengah kening, memberikan kesan ganas, sangar, dan berwibawa. Dia melipat kedua tangannya di belakang punggung dengan badan yang tegak dan dagu sedikit terangkat. Seolah-olah merasa kalau dirinya tidak berada dalam strata yang sama dengan puluhan orang lainnya yang menundukkan kepalanya di hadapan para tetua. Dia adalah Ling Guan Pit.

Di bagian depan puluhan orang yang berdiri di depan kesembilan para tetua itu, dua orang terlihat berdiri di barisan paling depan. Satu langkah lebih maju dibandingkan puluhan orang lainnya. Mereka berdua adalah Neo dan Yeoh.

“Bagaimana persiapan kalian?” tanya Cui kepada mereka berdua.

Yeoh dengan cepat mengangkat kepalanya lalu menjawab dengan suara lantang dan nada tinggi, khas seorang wanita yang penuh percaya diri, “Sebagian besar tamu undangan sudah hadir dan ditempatkan di dalam hotel yang kita sediakan, Tetua.”

“Humph!!” Cui mendenguskan napasnya, “acara akan berlangsung besok pagi. Kita punya banyak tamu yang datang dari berbagai belahan Asia. Jangan permalukan nama baik organisasi kita di mata mereka. Mengerti?” tanya Cui lantang.

“Kami mengerti!!” jawab puluhan orang itu serentak.

“Cui, aku dengar ada petarung legenda muncul beberapa tahun belakangan ini dan dia berasal dari Asia Tenggara, benarkah itu?”

Tiba-tiba sebuah suara feminim terdengar dari deretan salah satu tetua yang duduk di sebelah kiri Cui Lan Seng. Semua mata para Tetua serentak menuju ke arah suara itu berasal. Tapi para kroco yang berdiri di depan mereka, masih tetap menundukkan kepala tanpa berani mengangkatnya. Diskusi para tetua, bukan sesuatu yang bisa diikuti oleh para kroco itu.

“Benarkah?” terdengar suara tanya penuh rasa tidak percaya dari Tetua yang lain.

Setelah itu, suara riuh rendah percakapan pun terdengar dari para Tetua yang sebelumnya diam saja menyaksikan Cui yang sedang memberikan instruksi kepada anggota Kongzi yang bertindak sebagai panitia acara gathering ini.

“Cui, kenapa kamu tak pernah memberi tahu hal ini kepada kami?” protes salah satu Tetua kepada Cui yang masih saja terdiam.

“Bukan begitu,” jawab Cui tak lama kemudian, “menurut info yang kudapat, kemungkinan besar memang dia memiliki legendary concept, tapi kita mungkin harus memastikannya lagi,” lanjutnya.

“Humph. Biar aku yang memastikannya,” kata seseorang dengan suara tegas.

Ketika para Tetua mendengar suara itu, mereka semua langsung terdiam. Seorang kakek tua dengan kepala botak dan janggut yang panjang menjuntai membuka matanya perlahan-lahan setelah mengucapkan kata-kata barusan.

Mungkin para kroco dan anggota Kongzi tak mengenal kakek tua yang terdiam sedari tadi itu, mungkin sebagian besar dari mereka juga baru kali ini melihat sosok si kakek yang sama sekali tak memberikan kesan menakutkan itu, tapi saat dia berbicara barusan, tak ada satu pun para Tetua yang berani memotong atau menyanggahnya, Cui Lan Seng sekalipun.

Hanya para Tetua dan Ling Guan Pit yang mengetahui jati diri kakek tua itu. Kakek tua yang memiliki nama Jian. Nama yang terdiri dari satu patah kata saja, tanpa nama keluarga atau embel-embel lainnya.

Nama yang memiliki arti ‘pedang’.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang