Chapter 141 - Kejutan

2.5K 156 4
                                    

“Apa maumu?” tanya Titis datar.

“Hahahahaha… Apa mauku?” tanya Geppeto.

Mereka berdua lalu terdiam. Titis menunggu dan berpikir sedangkan Geppeto sedang menikmati salah satu balas dendamnya. Dia sudah memimpikan ini sejak lama.

“Titis, kuberitahu sesuatu. Sekarang, aku bukan lagi Badut yang menjadi bahan tertawaan semua orang. Aku Geppeto. Aku sang pembuat boneka. Aku juga yang akan mengatur semua nasib boneka-bonekaku…” kata Geppeto.

“Membunuhmu… mungkin sangat mudah bagiku saat ini. Aku punya boneka yang kuberi nama ‘Demon’ dan aku yakin kau sangat mengenalnya…”

Deg.

Jantung Titis seolah berhenti berdetak saat mendengar kalimat Geppeto barusan. Dia memang sudah menduga atau setidaknya berpikiran ke arah sana. Tapi mendengar langsung pengakuan dari Clown, tetap saja Titis terkejut luar biasa.

“Clown berhasil mengendalikan Demon?” batin Titis berulang-ulang dalam hati.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Geppeto dari seberang telepon.

“Teruskan…” jawab Titis setelah meredakan shock yang barusan dia alami.

“Hahahahahahaha…” Geppeto tertawa mendengar kata-kata Titis.

“Seperti kataku tadi, membunuhmu, sama sekali tidak menyenangkan. Aku justru ingin membuatmu hidup segan mati tak mau. Aku ingin kamu menjadi bonekaku,” kata Clown.

Braakkkkkkkkk.

Titis menggebrak meja yang ada di depannya secara reflek ketika mendengar kata-kata terakhir Geppeto. Dia tak dapat menahan emosinya. Betapa gampangnya si Badut Gila itu mengatakan keinginannya agar Titis menjadi budaknya.

“Hahahahahaha… Kenapa?” tanya Geppeto dari seberang sana.

Titis hanya dapat menahan geram sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Bagus!!! Seperti itu… Itulah rasa yang pernah aku alami dulu… Sekalipun aku tidak menyukainya, sekalipun aku membencinya, aku hanya bisa menahan diri, karena aku lemah dan tak bisa melakukan apa-apa,” ejek Geppeto melalui telepon.

Titis bisa membayangkan wajah si Badut yang tersenyum sinis sambil mengangkat dagunya ke atas dengan ekspresi sombong. Emosinya tiba-tiba meluap ketika membayangkan dia harus menuruti semua kemauan si Gila yang dulu bahkan tak pernah dia anggap apa-apa.

“Titis, tahukah kamu, tiba-tiba saja aku ingin menyenangkan istrimu. Kapan kau bisa mengantarnya ke sini?” tanya Geppeto tiba-tiba.

“Bedebah!!!” maki Titis sambil melempar telepon kantor yang dipegangnya ke depan.

Braakkkkkkk.

Telepon itu hancur berantakan di lantai dan Titis hanya bisa menahan emosi sambil memandangi benda menjadi kepingan-kepingan kecil. Tak sampai lima detik kemudian, beberapa orang sudah berdiri di dalam ruangan ini karena panik setelah mendengar suara Titis membanting telepon tadi.

Tak ada yang berani berkata apa-apa ketika melihat ekspresi marah besar Titis, mereka hanya dengan sigap membersihkan lantai ruangan kantor ini.

“Pastikan dimana posisi Ibu sekarang! Dia harus dikawal ketat setiap meninggalkan rumah. Anak-anakku juga. Aku mau laporan status mereka setiap setengah jam,” perintah Titis.

“Siap Pak,” jawab anak buah Titis serempak.

“Bubar!” perintah Titis sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi kantornya yang ada di belakang meja.

“Clown…” desis Titis sambil berpikir keras bagaimana menghadapi pemimpin baru Utopia itu.

=====

Seorang bocah laki-laki sedang terduduk di depan pintu sebuah kamar. Dia terlihat berusaha menahan tangis sekuat tenaganya. Sesekali dia melirik ke arah kamar yang ada di belakangnya lalu bimbang untuk sesaat tapi akhirnya tetap saja dia akan kembali duduk meringkuk sambil memeluk kedua kakinya.

“Oppa…” suarah lirih terdengar dari dalam kamar dan mengagetkan si bocah laki-laki.

Si bocah laki-laki itu lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Ruangan ini, sebenarnya tak layak disebut kamar. Ini hanya sebuah kotak persegi yang terbuat dari papan kayu bekas, kardus, dan benda-benda sampah lainnya yang dikumpulkan lalu disusun membentuk kotak berongga di dalamnya. Kotak itu terletak di bawah sebuah jembatan layang di salah satu sudut Korea Selatan.

Di dalam, seorang anak perempuan yang terlihat berusia lebih muda dari si bocah laki-laki terbaring dengan selembar kain yang menyelimutinya. Si bocah laki-laki itu mendekati anak perempuan dan duduk di dekatnya.

“Kamu lapar?” tanya si bocah laki-laki dengan tatapan kuatir dan sedih.

Si anak perempuan menganggukkan kepalanya pelan.

“Iya, aku ambilkan sekarang,” jawab si bocah laki-laki sambil bergegas keluar dari kamar dari kardus itu.

Dia segera menuju ke salah satu sudut tiang jembatan layang dan membongkar tumpukan barang-barang disana. Seingatnya dia menyimpan beberapa potong roti di sana tadi malam. Dia sengaja tidak memakannya karena dia ingin memberikan roti itu untuk adik perempuannya.

Si bocah laki-laki mulai panik ketika dia tidak menemukan roti yang disembunyikannya. Dia semakin kalap mengacak-acak tumpukan koran dan karton yang ada di depannya. Setelah beberapa menit mencoba dan tak juga berhasil menemukan potongan roti itu, si bocah laki-laki mulai menangis sedih membayangkan adek perempuannya yang sebentar lagi pasti kelaparan.

“Kau mencari ini?” sebuah suara terdengar mengejek dari belakang si bocah laki-laki.

Si bocah pun dengan cepat menolehkan kepalanya dan melihat potongan roti yang dicari-carinya berada di tangan seorang bocah yang lebih besar dibandingkan dirinya. Di sebelah bocah bertampang bengal itu, beberapa anak lainnya terlihat berkumpul sambil melihat ke arah si bocah laki-laki yang berjongkok di tanah dengan tatapan mengejek.

“Kembalikan!!!” teriak si bocah yang duduk di tanah.

“Ambil saja, kalau kau bisa...” jawab si Bocah bengal sambil menggoyang-goyangkan roti di tangannya.

Si bocah laki-laki yang duduk di tanah itu, tanpa berpikir langsung meloncat dan menerjang ke arah si bocah bengal dan kawan-kawannya. Dia harus mendapatkan roti itu. Dia harus melakukan apa pun caranya agar roti itu berada di tangannya, demi adek perempuannya yang sedang menunggunya.

=====

“Oppaaa…” panggil si anak perempuan dengan muka kuatir.

Di sebelahnya, si bocah laki-laki tersenyum lebar sambil menyuapi si bocah perempuan dengan perlahan. Tapi, seluruh wajahnya terlihat memar dan membiru.

“Apa yang terjadi?” tanya si bocah perempuan.

“Tidak apa-apa,” jawab si bocah laki-laki sambil tetap tersenyum lebar.

Si bocah perempuan hanya menghela napas panjang. Dia membiarkan saja kakaknya, keluarga satu-satunya di dunia ini, menyuapinya sambil tetap tersenyum dengan muka seperti itu yang justru terlihat sedikit menakutkan.

“Suatu hari, aku akan menjadi ilmuwan dan akan menemukan obat untuk menyembuhkanmu…” bisik si bocah laki-laki itu tiba-tiba.

“Aku percaya Oppa akan berhasil melakukannya,” jawab si bocah perempuan tanpa ragu-ragu sambil meraih jemari kakak laki-lakinya.

Si bocah laki-laki itu menganggukkan kepalanya sambil tetap tersenyum. Dia sendiri, sejak hari itu bersumpah, apa pun yang terjadi kepada dirinya, dia akan tetap tersenyum dan menghibur adik perempuannya, orang terpenting dalam hidupnya.

Dia juga berjanji akan melakukan apa saja demi adiknya. Dia tak akan membiarkan sang adik melihat wajah sedihnya. Dia akan selalu menunjukkan wajah ceria dan tawa untuk adiknya, seperti seorang badut yang tetap akan menghibur siapa pun, sekalipun dia sendiri mungkin sedang menangis di balik topengnya.

Bocah laki-laki itu bernama Yeom Han Wong.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang