Empat orang berpakaian dinas harian berdiri di sebuah ruangan yang ada di rumah Broto. Mereka berempat terlihat sedikit kebingungan dengan panggilan mendadak yang mereka dapatkan barusan dari atasan mereka, tapi setelah melihat kalau keempat orang ajudan dipanggil semuanya, keempat-empatnya bisa bernafas dengan lega.
Mereka menunggu dalam diam dan posisi siap sambil berdiri di ruangan itu. Sekalipun mereka sudah melakukannya selama hampir setengah jam, sama sekali tidak terlihat rasa tidak senang atau kesal di raut wajah mereka.
Tak lama kemudian, pintu ruangan pun terbuka.
Broto, Umar, Arya dan Afza memasuki ruangan itu sambil bercakap-cakap dan sesekali tertawa. Keempat ajudan Broto memperhatikan mereka berempat dengan seksama. Umar mungkin tak asing lagi bagi mereka berempat, tapi kedua anak muda yang bersama Broto dan Umar itu tak pernah mereka lihat sebelumnya.
Apalagi si laki-laki yang memiliki bekas luka mengerikan melintang di wajahnya, mereka berempat tahu kalau dia bukanlah sosok kantoran seperti diri mereka sendiri. Laki-laki itu pastilah prajurit lapangan yang terjun langsung ke medan pertempuran.
Beberapa detik kemudian, Broto mempersilahkan keempat ajudannya untuk duduk di kursi yang ada di ruangan ini. Ruangan ini sendiri berbeda dengan ruangan yang tadi digunakan oleh Broto untuk menerima Munding dan kedua rekannya sebelum ini. Kalau ruangan sebelumnya lebih terkesan santai dengan sofa yang nyaman sekalipun berada dalam ruangan kerja pribadi Broto, ruangan yang sekarang mereka tempati lebih mirip sebuah ruang meeting yang bisa menampung lebih banyak orang.
Di tengah ruangan terdapat meja yang berukuran besar dan terbuat dari kayu jati yang dilapisi kaca bening. Di sekeliling meja besar itu, terdapat belasan kursi yang saat ini hanya ditempati oleh delapan orang saja. Empat orang saling berhadapan dengan empat orang lainnya.
Di satu sisi meja terdapat Broto, Umar, Afza, dan Arya, sedangkan di seberang meja terdapat keempat ajudan Broto yang meskipun berusaha untuk terlihat tenang, tapi ada sedikit kepanikan terlihat dari gerak-gerik mereka.
“Ini Arya, dia ketua dari Badan Pendeteksi dan Pencegah Aksi Teror, atau kita kenal dengan istilah Biro. Sedangkan gadis di sebelahnya, sebagian dari kalian mungkin sudah mengenalnya, dia Afza, salah satu yang terbaik dari Angkatan Darat dan sekarang membantu Arya sebagai wakil ketua Biro,” kata Broto dengan suara yang berat dan berwibawa.
Keempat orang itu memberikan hormat mereka kepada Arya dan Afza. Broto lalu menyuruh mereka untuk duduk di kursi mereka masing-masing.
“Hmmm. Aku tak akan membuang-buang waktu dan langsung ke intinya saja. Mereka berdua datang kesini karena mereka mendapatkan informasi bahwa aku adalah seorang mata-mata. Mata-mata dari sebuah organisasi teroris yang ada di luar negeri sana,” kata Broto.
“Dan tuduhan itu datang karena sepucuk surat yang dialamatkan kepadaku…” lanjut sang Jenderal sambil melihat ke arah keempat orang ajudannya secara bergantian.
Arya memperhatikan keempat orang ajudan Broto dengan seksama. Umar berdiri dan berjalan pelan ke arah satu-satunya pintu keluar masuk dari ruangan ini. Setelah sampai di dekat pintu itu, Umar dengan santainya berdiri dan menyandarkan tubuhnya ke sana, maksudnya jelas, siapapun yang ingin bermaksud untuk melarikan diri melalui pintu itu, harus melaluinya terlebih dahulu.
Sedangkan Afza seakan tak perduli dan justru asyik dengan laptop yang ada di depannya. Dia hanya melirik sekilas ke arah bekas mentornya yang berdiri di pintu dan Arya yang duduk dengan penuh perhatian di sebelahnya. Dengan kedua orang serigala petarung tahap inisiasi seperti mereka bersiaga seperti itu, apa sih yang bisa dilakukan oleh keempat orang ajudan Broto itu? Toh tak satupun dari mereka adalah serigala petarung, mereka hanya orang biasa.
“Jenderal??” tanya salah seorang Ajudan dengan suara bergetar kepada atasannya.
“Kalian tahu kan kalau selama ini ada satu hal yang sangat kubenci dari bawahanku?” kata Broto seolah tak mempedulikan kata-kata Ajudannya tadi.
“Aku membenci seorang prajurit yang tidak memiliki jiwa ksatria…” lanjut Broto sambil menatap keempat Ajudannya satu persatu.
“Dan kesetiaan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh seorang ksatria!” teriak Broto lantang sambil mengayunkan kepalan tangannya ke arah Ajudannya yang berdiri di ujung paling kanan, ajudannya yang paling muda dan bernama Ferry Irawan.
Bletakkk.
Ferry sendiri sepertinya sudah bersiap-siap sejak awal dan meloncat mundur ke belakang ketika Broto mengayunkan kepalan tangannya. Jadi serangan Broto yang sama sekali tidak menggunakan intent dan kekuatannya sebagai serigala petarung tahap awakening itu dapat dengan mudah dihindari oleh Ferry.
Tapi, belum sempat Ferry menarik napas lega, sebuah telapak tangan yang terbuka tiba-tiba saja sudah berada lima centimeter dari mukanya dan menghalangi pandangan Ferry. Sesaat kemudian, Ferry merasakan tubuhnya terdorong ke belakang dengan cepat oleh telapak tangan itu dan Ferry juga merasakan kaki serta tubuhnya terangkat dari lantai karena kuatnya tenaga dari si pemilik tangan.
“Belegug sia!!”
Bledakkkk…
Ferry merasakan sakit luar biasa di bagian belakang kepalanya dan membuat semuanya menjadi gelap sesaat kemudian.
Arya melepaskan cengkeraman tangannya dari wajah Ferry yang baru saja dia dorong dan benturkan ke tembok yang ada di belakang Ferry. Arya sama sekali tak menggunakan kekuatan petarungnya, hanya mengandalkan kemampuan fisiknya saja.
Ketiga orang ajudan Broto yang lain hanya bisa melihat kebrutalan Ketua Biro itu dengan lutut yang bergetar. Betapa mudahnya laki-laki bermuka mengerikan itu meloncati meja meeting yang ada di ruangan ini lalu membuat tubuh Ferry melayang hanya dengan satu tangan saja. Padahal jika dilihat secara kasat mata, tubuh Ferry jauh lebih berotot dan kekar dibandingkan sang Ketua Biro.
“Ini targetnya kan Pak?” tanya Arya ke arah Broto.
Broto menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Arya lalu meminta Afza untuk meringkus dan membawa Ferry ke markas mereka, tentu saja untuk melakukan bincang-bincang mesra yang akan selalu dikenang oleh Ferry seumur hidupnya.
Setelah Afza membawa Ferry dibantu oleh anggota personel Biro yang menunggu di teras rumah setelah dihubungi oleh Arya sebelum kedatangan keempat Ajudan Broto tadi, ruangan meeting ini kembali hening dan sepi.
Tak lama kemudian, terdengar suara Broto yang memecah kesunyian, “dah jam segini, nanti kalian ikut makan siang disini sekalian ya?” tanya Broto ke arah ketiga ajudannya.
“Siap Pak!!” jawab ketiga orang itu sambil menarik napas lega.
Akhirnya drama penangkapan mata-mata Utopia yang ada di tubuh militer dan berada dalam kendali Broto pun usai.
Nun jauh di bagian lain rumah ini, sepasang suami istri terlihat sedang melakukan sesuatu di sebuah kamar yang suasananya agak feminim. Kamar ini didominasi oleh warna ungu dan terdapat beberapa buah boneka lucu yang menghiasi sudut-sudutnya. Tak ada satupun potret yang tergantung dalam ruangan kamar ini, berbeda dengan ruangan lainnya di rumah ini. Tapi, kebersihan dalam kamar ini jelas terlihat dan sangat terawat sekali.
“Pelan-pelan Mas…” bisik sang istri mesra kepada suaminya.
“Hu um,” jawab sang suami yang kemungkinan tak akan pernah bisa dia penuhi, karena tak lama kemudian, suara jeritan tertahan sang istri terdengar menggema dalam ruangan itu.
=====
Author note:
Maaf, hanya bisa up satu chapter aja malam ini.
Btw, di sini hujan gerimis syahdu, bagaimana di tempat kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
munding:utopia
Action(Action) Utopia merupakan sebuah negeri khayalan yang diciptakan oleh Sir Thomas Moore dalam bukunya yang berjudul Utopia. Negeri ini berupa sebuah pulau di tengah-tengah Samudera Atlantik yang memiliki tatanan kehidupan yang ideal, dari semua segi...