Chapter 79 - Pesan

4.1K 234 91
                                    

Jian memasang kuda-kudanya dan menarik pisau jari tangan kanannya ke belakang. Seperti sebuah busur yang sedang ditarik dan siap dilepaskan.

Si Kakek Botak terlihat menunjukkan muka serius dan ingin mengeluarkan semua kekuatannya dengan serangan ini. Munding yang masih terdiam di tempatnya melihat ke arah Jian dan dia sadar. Dia tak akan survive jika serangan itu mengenai dirinya.

“Oke? Bolehkah aku mengaku kalah?” kata Munding sambil mengangkat kedua tangannya keatas dan tersenyum kecut.

Dengan tampilannya, senyum Munding justru lebih menyerupai seringai Iblis yang akan membuat para wanita menjerit ketakutan dan para laki-laki membasahi dirinya sendiri.

“Haaaaahhhhhhhhh,” Jian menghempaskan nafas panjang ketika mendengar kata-kata Munding barusan.

“Bocah, kupikir kau adalah tipe orang yang berkepala batu dan lebih baik memilih bertarung sampai mati daripada harus kehilangan harga diri,” sungut Jian dan dia terlihat lebih rileks dari sebelumnya.

“Aku punya harga diri!” protes Munding sambil merebahkan dirinya ke arena, seluruh tubuhnya teasa sakit.

“Hah?” Jian terlihat kaget.

Perlahan-lahan, gunung-gunung yang indah dan melayang diatas awan mulai bermunculan kembali di sekeliling arena yang sedang mereka tempati. Burung-burung dan pepohonan yang tadinya menghilang kembali menghiasi suasana di sekitar mereka.

Cui membuka matanya perlahan-lahan dan menghembuskan nafas panjang. Akhirnya, penderitaan dia berakhir sudah. Tak mudah mempertahankan teknik ini saat ada dua orang monster seperti Jian dan Munding berduel di dalamnya.

Jian berjalan mendekat ke arah Munding dengan kedua tangannya kembali berada di belakang punggung. Sedangkan Cui hanya tersenyum kecut dan membersihkan sedikit bercak darah di bibirnya.

“Kalau kau punya harga diri, kenapa kau membuat onar di rumah orang yang mengundangmu?” tanya Jian kearah Munding yang kini terbaring di atas lantai.

“Kalau memang seperti ini cara kalian memperlakukan aku sebagai tamu. Aku rasa, perbuatanku juga kuanggap layak untuk tuan rumah seperti kalian,” jawab Munding.

Jian terlihat makin kebingungan dan dia menoleh ke arah Cui.

“Munding, kami tak tahu apa maksudmu. Kami memperlakukan semua tamu undangan kami sebaik mungkin,” kata Cui Lan Seng.

“Hanya satu orang diundang dari negaraku, sedangkan negara lain bahkan mendapatkan undangan untuk tiap-tiap Klan. Kupikir hanya seorang petarung seperti aku saja yang diundang dalam acara gathering ini, tapi aku melihat sendiri petarung inisiasi berterbaran di sini,” kata Munding.

“Memangnya kau pikir serigala petarung sepertimu itu seperi buih di lautan, ada dimana-mana saja,” potong Jian.

“Lalu kenapa hanya aku yang diundang kesini?” tanya Munding.

Jian melihat ke arah Cui dengan tatapan meminta penjelasan sedangkan Cui seperti seseorang yang menelan lalat ke dalam mulutnya tanpa sengaja. Tak ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya.

“Tak punya alasan kan?” cerca Munding.

Jian menendang sebuah batu pecahan arena yang berada di dekat kakinya ke arah Cui dan membuat si Kakek yang masih duduk bersila itu terpelanting ke belakang dan merasakan kerasnya arena ciptaannya sendiri.

“Yang kedua,” kata Munding yang langsung disambut dengan muka pucat Cui dan senyum sinis Jian sambil melirik ke arah Cui.

“Masih ada lagi?” keluh Cui dalam hati.

“Aku tak mengenal negeri kalian. Sesuai undangan, seharusnya kalian menyediakan guide untukku di bandara saat kedatanganku. Tapi tak ada orang disana. Klan Takeda menolongku dan membawa mereka bersama rombongannya,” kata Munding.

Jian dan Cui terdiam ketika mendengar kata-kata Munding. Mereka hanya bisa saling berpandangan mata sebelum akhirnya Jian membungkukkan badannya sedikit ke arah Munding yang sekarang sudah duduk dengan kaki lurus di atas arena.

“Kalau begitu, atas nama Kongzi, kami meminta maaf telah memperlakukanmu dengan buruk dan tanpa rasa hormat. Aku, Jian, berjanji akan melihat dimana letak kegagalan kami dalam memperlakukan tamu kami,” kata Jian dalam posisi sedikit membungkuk kearah Munding dengan tangan terkepal dan saling menggenggam di depan dadanya.

Munding terdiam untuk sesaat lalu menjawab, “aku rasa kalian tak pernah berniat melakukannya. Mungkin ada pihak lain yang berusaha memancing di air keruh,” kata Munding.

“Kalau begitu, aku ingin mengundangmu untuk sekedar minum arak bersama-sama. Kita bisa saling bertukar pikiran tentang duel tadi,” kata Jian.

“Maaf, aku tak minum arak, mungkin teh tidak apa-apa,” jawab Munding, “dan kurasa tadi bukan duel. Lebih tepat kalau disebut, aku kena hajar,” lanjur Munding sambil tersenyum kecut.

Hahahahahahahahahaha.

Terdengar suara tawa Jian yang keras dan membahana. Beberapa saat kemudian, dengan sebuah senyuman kecil di bibirnya, Jian menganggukkan kepalanya kearah Cui, isyarat agar dia melepaskan teknik Tian Di miliknya.

=====

Semua orang melihat Munding memasang kuda-kudanya dan Jian yang berhenti beberapa meter di depan Munding. Jian lalu berteriak ke arah Cui dan Cui meneriakkan kata Tian Di dengan gesture tubuhnya.

Dua detik kemudian, Munding yang tadinya memasang kuda-kuda dengan penuh percaya diri terlihat lemas dan menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu ke lututnya dengan napas terengah-engah.

Sedangkan Jian yang berdiri di depan Munding langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Munding, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi beberapa orang yang memiliki penglihatan jeli bisa melihat kalau muka Jian sedikit pucat karena kelelahan.

Cui yang tadinya berdiri dengan pose tangan yang menunjuk ke arah lantai di depannya tiba-tiba saja terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan kehilangan keseimbangan. Beberapa penjaga Kongzi dengan cepat bergerak untuk memapahnya dan membuat perimeter di sekeliling sang Ketua, bersiap memberikan perlindungan kepadanya.

Raut muka bingung tampak terlihat di wajah hampir semua penonton yang menyaksikan insiden barusan. Mereka tak mengerti dengan apa yang terjadi di antara mereka bertiga.

Mana duel antara si Pemuda asing dan Tetua misterius dari Kongzi?? Seperti itulah mungkin jeritan hati mereka.

Hanya beberapa orang yang memiliki posisi berpengaruh dan koneksi yang luas saja yang mengetahui apa yang barusan terjadi. Mereka mengenali teknik Tian Di yang digunakan oleh Cui Lan Seng, sang Ketua Kongzi. Itu artinya apapun duel yang terjadi atau resolusi antara mereka berdua, sudah dilakukan di dalam dunia ilusi tersebut.

Dua detik mungkin waktu yang sangat sebentar di dunia nyata. Tapi di dalam Tian Di? Entah berapa lama mereka berduel di dalam sana.

Cui yang sudah berhasil menenangkan diri dan luka dalamnya mencoba berdiri dan menunjuk ke arah salah satu gadis penerjemah yang ada di sekitar teras Aula ini.

“Mulai sekarang, kau ikuti dia kemanapun dia pergi. Perlakukan dia seperti layaknya kau perlakukan aku. Mengerti?” perintah Cui ke si gadis penerjemah dengan suara keras.

Tubuh si gadis penerjemah itu bergetar selama beberapa saat ketika mendengar perintah sang Ketua. Dia pun membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan telah mengerti dengan perintah yang diberikan untuknya.

Semua orang yang mendengar kata-kata Cui barusan terkejut. Cui sengaja mengeluarkan perintah itu dengan kata-kata keras dengan satu tujuan. Dia ingin memberikan pesan bahwa Munding adalah tamu kehormatan Kongzi dengan tingkatan yang sama dengan para Tetua. Siapa pun yang mencari gara-gara dengan Munding, itu artinya seperti mencari gara-gara dengan Tetua Kongzi.

Sebuah pesan yang sangat jelas dan disampaikan langsung oleh Ketua Kongzi.

=====

Author note:

Chapter terakhir hari ini. Ketemu lagi hari Selasa.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang