Chapter 15 - Clash

3.6K 218 25
                                    

“Humph!!” dengus laki-laki yang sedang menikmati rokok di tangannya itu.

Dia mengangkat kepalanya dan melihat sesosok bayangan terlihat berjalan menuju ke arah tempatnya duduk. Wanita yang berada di sebelah si laki-laki dengan tubuh gemetaran juga mengangkat wajahnya dan melihat kearah si laki-laki memandang.

Kini mereka berdua bisa melihatnya dengan jelas. Seorang remaja laki-laki dengan menggunakan celana loreng milik militer dan kaos senada terlihat berjalan dengan langkah kaki yang mantap dan membawa sebuah ransel di punggungnya. Sama sekali tak terlihat ada rasa takut di wajahnya, seolah-olah dia tidak sedang berhadapan dengan seorang teroris yang mengancam keselamatan nyawa belasan orang yang ada di belakangnya.

“Kan ni na!! Berhenti disitu!!” teriak si laki-laki sambil menunjuk ke arah dimana Dian sedang melangkah.

Dian berhenti untuk sesaat dan menatap mata si laki-laki dengan tatapan dingin. Tapi beberapa detik kemudian, Dian sudah kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah si laki-laki yang barusan membentaknya.

Brettttttt.

Dengan cepat, si laki-laki menarik kemeja yang dipakai oleh si wanita yang berdiri di sebelahnya hingga robek. Si wanita pun terjatuh ke tanah dan bersimpuh di sebelah kiri si laki-laki. Tangan si laki-laki yang tadi bergerak menarik kemeja si wanita, kini melesat dan mencengkeram leher si wanita malang itu.

“Ughhhhhhhhh,” si wanita mengerang dengan wajah yang mulai membiru dan menggunakan kedua tangannya untuk berusaha melepaskan cekikan si laki-laki.

Usaha si wanita tak membuahkan hasil, lama kelamaan, tubuhnya terkulai lemas dan kedua tangan yang tadi berusaha melepaskan diri dari cekikan si laki-laki juga terkulai ke bawah tak berdaya. Tapi, di saat kritis, si laki-laki melepaskan cekikan tangannya dan membuat si wanita langsung terduduk ke tanah dan terbatuk-batuk.

Muka si wanita yang baru saja mendekati pintu ajal dan kembali merasakan nikmatnya udara segar yang memenuhi paru-parunya terlihat memerah meskipun air mata tak berhenti berlinang dari sudut matanya.

“Jangan mendekat!! Aku akan mencekiknya lagi kalau kau mendekat, kali ini betul-betul sampai dia orang mati,” kata si laki-laki.

“Hei!! Bukankah kau seorang serigala petarung? Kenapa menggunakan wanita lemah seperti itu untuk sandera?” tanya Dian sambil melepas ranselnya dan meletakkan benda itu ke tanah di sebelah kakinya.

“Hahahahaaha,” si laki-laki tertawa.

“Kau pasti dari militer kan? Kalian selalu merasa kalau jiwa ksatria adalah yang terpenting, menyakiti wanita adalah sesuatu yang memalukan. Bukan begitu? Aku tidak,” jawab si laki-laki.

Plakkkkkk.

“Aaaahhhh,” si wanita yang tadi masih terengah-engah setelah kehabisan napas karena dicekik dan masih terduduk di lantai, tiba-tiba terlempar ke samping karena tamparan keras yang diterimanya barusan.

“Uhukkkkk,” wanita malang itu terbatuk dan memuntahkan darah dari mulutnya, bibirnya juga terlihat pecah dan mengeluarkan sedikit darah.

Suara isak tangis si wanita malang yang masuk ke telinga Dian membuat emosinya yang sedari tadi berusaha dia redam memberontak makin kuat. Dian mengigit bibirnya dan menggenggam erat kepalan tangannya untuk menahan tubuhnya yang seakan-akan ingin bergerak sendiri, meluncur dan menghancurkan kepala si bedebah itu.

“Hahahahahaha,” laki-laki itu kembali tertawa keras ketika melihat reaksi Dian.

“Dasar bocah ingusan. Kau dengar ini!! Namaku Teng Po Huat. Sejak kecil aku menjadi perompak di Selat Malaka! Bahkan saat kau masih belum jadi tetesan sperma, tanganku sudah bersimbah darah korban-korbanku!” teriak Huat sambil menunjuk ke arah Dian.

Laki-laki itu lalu berdiri dan kini Dian bisa melihat jelas sosoknya yang kekar. Dian melihat sesuatu yang sedikit berbeda dari sosok Huat yang mengaku sebagai perompak di depannya ini. Tak seperti kebanyakan warga keturunan Chinese yang berkulit putih, Huat memiliki kulit yang berwarna gelap, tapi fitur wajah dan rambutnya masih menunjukkan asal-usul garis keturunan yang dia miliki.

“Kau bertanya kenapa aku menggunakan wanita lemah sebagai sandera? Karena itu menyenangkan. Untuk melawanmu, bocah ingusan yang belum tumbuh bulu, aku tak butuh sandera apapun!!” teriak Huat sambil meloncat ke depan.

Dian langsung mengambil kuda-kuda siaga dan bersiap menerima serangan yang datang dari Huat.

Booooommmmm.

Sebuah pukulan dengan menggunakan dua tangan yang disatukan dan berasal dari atas kepala Huat berhasil ditangkis oleh Dian yang tetap berada di tempatnya dengan sebuah tangkisan.

“Cuihh,” Huat melakukan gerakan salto untuk mundur ke belakang dan berhasil mendarat dengan sempurna.

Tapi belum sempat kuda-kuda Huat berdiri sempurna, Dian sudah melesat maju dan menyerang Huat dengan sebuah tendangan sapuan ke arah kaki Huat yang sudah menjejak tanah.

Wuuussshhhhhh.

Huat memutuskan untuk meloncat ke atas menghindari sapuan Dian. Saat Dian melihatnya, dia tersenyum, memang itulah yang dia incar. Karena posisinya yang melayang di udara, Huat tak bisa melakukan maneuver untuk menghindari serangan Dian.

Secepat kilat Dian memukul ke arah Huat sekuat tenaga.

Booommmm.

Tubuh kekar Huat terpelanting ke belakang dan menabrak ke pintu ruangan yang ada di belakangnya. Saat pintu itu terbuka, Dian bisa melihat belasan orang yang berada di dalamnya. Mereka adalah karyawan, staff dan security yang bekerja di Pulau ini.

Saat tubuh Huat menghancurkan pintu ruangan ini, sebagian dari mereka menjerit ketakutan, terutama para karyawan wanita yang jumlahnya hanya beberapa orang saja. Dengan cepat Huat bangkit berdiri lalu kembali menerjang ke arah Dian. Sama sekali tak terlihat rasa takut atau apapun di mata Huat.

Bahkan Dian bisa melihat semangat bertarung Huat makin menguat, dan saat itulah, Dian merasa kalau ada sesuatu yang terasa familiar dari tubuh Huat yang membuatnya merasa telah mengenal laki-laki itu.

“Aaaarrrgghhhhhhhhh,” Huat meraung sekuat tenaga dan kembali beradu pukulan dengan Dian.

Dian merasakan kalau tubuh Huat seakan makin menguat dan membuatnya kesusahan untuk melawan Huat dengan imbang. Setiap kali dia beradu pukulan dengan Huat, sekalipun mungkin tenaga yang dia keluarkan sama dengan Huat, tapi Huat seakan keluar sebagai pemenang karena Dian merasakan kesakitan luar biasa di tulang-tulangnya.

Dian lalu bergerak mundur karena terdesak. Perlahan-lahan dan semakin menjauh dari ruangan tempat para sandera disekap. Setelah merasa jaraknya sudah cukup jauh. Barulah Dian melawan Huat dengan sekuat tenaganya.

April dan Angga memperhatikan pertarungan mereka berdua sedari awal dari sebelah kiri dan kanan. Sejak awal, rencana mereka sudah matang. Mereka sendiri yang memutuskan akan mengeksekusi misi kali ini seperti apa. Pakdhe sama sekali tak memberikan petunjuk apa pun.

Jadi saat mengintai tempat ini dari bukit kecil yang ada di atas dermaga panjang tadi, April menyusun rencana yang akan dieksekusi oleh mereka bertiga. Dian yang akan menjadi umpan untuk menarik perhatian target. Dian akan berusaha untuk membawa target dari tempatnya berada, karena mereka bertiga melihat seorang wanita yang menjadi sandera.

Tapi yang tak disangka-sangka oleh mereka bertiga, ternyata selain seorang wanita tadi, ada belasan orang lainnya yang menjadi sandera dan dikurung dalam ruangan yang ada di belakang target.

Dan kini, setelah Dian berhasil memancing target untuk bertarung di tempat lain, mereka berdua dengan cepat membebaskan para sandera dan membawa mereka ke arah dermaga panjang yang ada di tepi timur Pulau Pemping ini.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang