Chapter 32 - Invitation part 2

3.4K 238 158
                                    

Munding tak lagi berada di pinggir lapangan tempat latihan anak didik Biro bersama Arya dan Afza, tapi Munding merasa kalau dia ada dalam sebuah tempat yang sungguh unik. Tempat ini berada di pucuk gunung berbatu dengan tebing curam di sekeliling Munding. Awan yang berwarna putih terlihat mengambang pelan dengan tenang di kejauhan sana.

Pucuk-pucuk gunung lain juga terlihat menyembul diatas awan-awan yang unik tapi menimbulkan kesan bersahaja dan sederhana. Saat Munding melirik ke arah pucuk gunung tempatnya berdiri, kini dia menyadari kalau gunung yang dia injak juga berada di atas awan putih.

Di sekitar Munding, terdapat banyak pucuk-pucuk gunung kecil yang tingginya berbeda-beda, puncak gunung tempat Munding berdiri terletak paling tinggi dan berada di atas pucuk yang lain. Hanya ada tiga gunung yang memiliki tinggi sama dengan gunung milik Munding. Tapi selain pucuk gunung yang ditempati oleh Munding, semua puncak gunung itu diselimuti kabut yang hampir menyatu dengan awan yang ada di bawahnya. Membuat Munding tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di tiap puncak gunung di sekelilingnya.

Saat Munding sedang kebingungan dengan apa yang terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara yang lembut dan bijaksana. Sekalipun suara itu berbicara dengan menggunakan bahasa yang tidak Munding mengerti, tapi entah bagaimana caranya, Munding bisa memahami apa yang dia katakana dengan jelas dan Munding sama sekali tidak ragu kalau apa yang dia pahami sama dengan apa yang suara itu ucapkan.

“Selamat datang, Demon dari Asia Tenggara.”

Saat kata-kata itu menggema, kabut yang menyelimuti semua puncak gunung yang ada di sekitar Munding seperti tertiup angin seketika. Kini Munding bisa melihat kalau di tiap-tiap puncak gunung yang ada di sekelilingnya, masing-masing sudah ditempati oleh seseorang.

Munding tidak tahu tempat apa ini. Dia berusaha keras menggunakan intentnya dan mencoba untuk mendeteksi area sekitarnya tapi dia tetap tak bisa melihat ke arah sosok-sosok yang terselimuti oleh kabut itu. Munding juga tak bisa mencari darimana suara itu datang.

Sesaat kemudian, sebuah cahaya yang berwarna putih terang terlihat bersinar dari atas langit yang tertutupi awan. Cahaya itu perlahan-lahan turun dan mendekat ke arah puncak-puncak gunung yang ditempati oleh Munding dan sekitarnya.

Ketika cahaya itu turun dan sampai beberapa ratus meter dari tempat Munding berdiri, sesosok laki-laki tua terlihat berdiri di tengah-tengah cahaya itu. Dia menggunakan pakaian tradisional china, lengkap dengan jenggot panjangnya dan tongkat kayu di tangannya. Dia juga memakai topi seperti yang pernah Munding lihat di film-film china dengan latar tradisional.

“Terima kasih kepada kalian semua karena telah bersedia menerima undangan dari kami,” kata si Kakek tua itu sambil membungkukkan badan ke arah puncak-puncak gunung yang berada di atas awan dan masih terselimuti kabut itu.

Sosok-sosok itu hanya berdiam sambil melihat ke arah si Kakek tua. Munding sendiri yang masih merasa asing dengan tempat ini justru asyik memperhatikan puncak-puncak gunung di sekitarnya, baik yang ada di dekatnya ataupun yang berada di bawahnya.

“Namaku Cui Lan Seng dari Kongzi. Mohon maaf atas ketidaksopananku menarik kalian ke dalam dimensi Immortal milik organisasi kami,” kata si kakek tua sambil kembali membungkukkan badannya lagi.

“Cui Lan Seng, Kongzi, dimensi Immortal,” gumam Munding dalam hati, kini dia mulai memahami apa yang terjadi sekarang.

“Kami membawa kalian ke tempat ini karena ada sesuatu yang ingin kami sampaikan berkenaan dengan undangan yang baru saja kalian terima. Kami sendiri tak yakin seperti apa kondisi masing-masing tamuku yang terhormat karena itu dengan terpaksa kami mengaktifkan dimensi milik organisasi demi keamanan,” kata Si Kakek Tua.

“Kalian semua yang berdiri disini pasti mempunyai cukup status untuk mengetahui perkembangan dunia serigala petarung saat ini."

“Selama ratusan bahkan ribuan tahun, kita sudah ada. Kita bahkan ada sejak manusia ada. Dulu, kitalah yang menguasai dunia dan memimpin dunia. Tapi seiring berjalannya waktu, eksistensi kita adalah sebuah ancaman bagi manusia biasa. Kita semua tahu itu.”

“Manusia berkembang dan berevolusi. Ada masanya ketika manusia akan mencapai puncak daya pikir dan kebijaksanaannya dalam kurun waktu tertentu.”

“Konfucius dan Gautama lahir hampir bersamaan 500 tahun sebelum Masehi dan menciptakan dua agama yang kita kenal dengan Konghucu dan Budha. Isa lahir 500 tahun kemudian dan menciptakan Christianity. Muhammad lahir 500 tahun kemudian setelah Isa dan mengenalkan Islam kepada dunia. Kita semua tahu itu.”

“Dan sekarang 1500 tahun setelah Islam terlahir, sebuah organisasi yang menyebut dirinya Utopia mencoba untuk kembali mengenalkan konsep mereka tentang ketuhanan.”

“Kita semua sudah mencapai kondisi keseimbangan selama beberapa ratus tahun terakhir ini. Ketika sekarang Utopia datang dan mengancam untuk menghancurkan keseimbangan itu. Apakah kita akan tinggal diam saja?” Cui Lan Seng mengeluarkan kata-kata yang bernada provokasi dengan sebuah senyuman di wajahnya.

“Semua agama mayoritas yang ada di dunia ini berasal dari Asia.”

“Kita punya kebudayaan yang jauh lebih tinggi daripada mereka.”

“Di saat mereka sedang mengarungi lautan dengan kelakuan bar-bar mereka sambil menggunakan kulit binatang buas untuk pakaian mereka, kita sudah menemukan tulisan, menciptakan kain, bermusik dan berbudaya.”

“Dan kini mereka datang dan mengaku-ngaku seolah mereka adalah yang terbaik?”

“Tolong pikirkan tentang ini dengan baik-baik.”

“Ketika kalian sudah mengambil keputusan nanti, aku menunggu di China untuk bertemu dengan kalian,” gumam Cui Lan Seng sambil membungkukkan badannya untuk yang ketiga kali dan terakhir malam ini.

Tak sampai sedetik kemudian, Munding sudah tersadar dan kembali berada di depan Arya yang melihatnya kebingungan, “Kok malah bengong?”

“Berapa lama?” tanya Munding cepat.

“Apanya berapa lama, kamu kan cuma berdiri mematung beberapa detik saja,” jawab Arya keheranan.

Munding terdiam sambil menundukkan kepala dan melihat kertas di tangannya. Sebuah kertas yang terlihat biasa saja dan sama sekali tidak memiliki keistimewaan apa-apa, tapi Munding tahu kalau pengalamannya barusan adalah nyata.

“Cui Lan Seng, Immortal, Kongzi, puncak gunung yang berbeda-beda tingginya…” gumam Munding.

Munding curiga kalau konsep yang dimiliki oleh Cui Lan Seng adalah salah satu konsep manifestasi yang bisa memanipulasi ruang dan waktu sesuai keinginannya. Jika konsep kegelapan Munding saja bisa meniadakan waktu dan ruang di dalam domainnya, pasti ada sebuah konsep yang memiliki karakter berlawanan dengan itu.

“Apakah masing-masing tinggi puncak gunung disesuaikan dengan kemampuan bertarung masing-masing orang yang menempatinya? Kalau iya, bukankah itu berarti ada 3 orang yang mempunyai kemampuan sebanding denganku? Apakah si Kakek Tua itu sama kuat atau lebih kuat daripada aku?” berbagai pertanyaan muncul dalam kepala Munding dan dia tidak bisa menemukan jawabannya.

Munding kini sadar bahwa peribahasa ‘diatas langit masih ada langit lagi’ itu memang benar-benar menggambarkan kondisinya sekarang. Dia ingin sekali bertemu dengan petarung-petarung terkuat yang dimiliki oleh Asia itu.

Munding sudah terlalu bosan dengan menjadi yang terkuat di Asia Tenggara, kini saatnya dia melebarkan sayapnya dan menerjang lawan yang lebih kuat lagi.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang