Chapter 109 - Observasi

2.7K 188 23
                                    

Author note:

Hari ini cuma dua chapter ya gaess.

Chapter ini bonus, untuk yang berulang tahun hari ini dan nggak mau disebutin namanya.

Semoga apa yang disemogakan segera tersemogakan. Amin.

Next chapter langsung up setelah ini.

=====

Munding memperhatikan semuanya.

Si Ikan memberontak sekuat tenaga, berenang kesana kemari berusaha melepaskan diri. Shakur tertawa-tawa lepas sambil berusaha untuk melayani perjuangan si Ikan, menunggu hingga buruannya lelah sebelum akhirnya menggunakan serangan terakhirnya untuk mengangkat ikan dari air ke atas teras rumahnya.

Sepuluh menit berlalu, si Ikan masih saja berjuang tapi kini mulai melemah. Shakur masih tetap dengan telaten meladeni perlawanan si Ikan dengan sabar. Dia tak memaksa, dia menunggu, menunggu, terus menunggu, hingga waktu yang tepat tiba.

Lima belas menit berlalu, kekuatan betotan Ikan makin melemah. Seiring melemahnya perlawanan si Ikan, Shakur terlihat makin waspada dan siaga. Hingga akhirnya, Shakur tahu kalau waktunya sudah datang, dengan sekali sentakan, Shakur mengangkat Ikan itu ke atas meninggalkan air laut yang menjadi habitatnya sejak hadir ke dunia ini menuju ke takdir yang ternyata tak bisa dihindari, menjadi lauk makan siang bagi Shakur dan kedua tamunya.

“Hahahahahahahaha,” Shakur tertawa puas.

Dia memegang tali pancing yang dia gunakan lalu menunjukkan ikan itu kepada Munding yang duduk di sebelahnya, “Rabbit fish, delicious, enak.”

“Rabbit fish?” tanya Munding, “Emang ada ya ikan kelinci?” lanjut Munding dalam hati dengan raut muka kebingungan.

“Oooo. Orang sini, baronang, kami, rabbit fish,” jawab Shakur.

Munding pun tersenyum, kalau Baronang sih dia tahu.

“Ikannya tidak begitu besar, hanya seukuran telapak tangan saja, kenapa seolah-olah susah sekali memancingnya?” tanya Munding penasaran.

Shakur tertawa kecil, “Satisfaction tak ada hubungannya dengan size ikan. Ini ikan kecil, tapi tackle kecil. Ini senar kecil. Joran kecil. Ikan kecil, rasa besar,” jawab Shakur.

“Gunakan joran besar, ikan kecil, no feel. Ikan kecil, joran kecil, luar biasa,” jawab Shakur.

Munding menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Secara garis besar, menurut Shakur, meskipun ikan berukuran kecil, tapi jika dipancing menggunakan alat pancing yang berukuran sesuai maka sensasinya tak kalah memuaskan dibandingkan ikan besar.

Karena itu, Munding juga sadar kenapa joran Shakur melengkung tajam saat ikan membawa lari tadi, Shakur menggunakan joran berukuran kecil. Tali pancing yang digunakan oleh Shakur juga sangat lembut dan berdiameter kecil, itu artinya jika Shakur tadi kehilangan kesabaran dan memaksa Ikan untuk naik ke atas saat tenaga ikan masih ada, hanya satu hasilnya, tali putus dan buruan akan terlepas.

Pemilihan alat yang sesuai dengan buruan, kesabaran, observasi, dan timing yang tepat, sesuatu yang terlihat sederhana tapi ternyata membutuhkan sebuah pemikiran yang matang.

Dan tiba-tiba Munding seperti mendapatkan pencerahan.

Kenapa selama ini dia selalu berusaha untuk memahami konsep miliknya seolah-olah itu adalah sesuatu yang istimewa?

Seolah-olah konsep miliknya adalah sebuah konsep yang bekerja di luar sana?

Bukankah bisa saja mengembangkan teknik sederhana dari sekelilingnya?

Seperti apa yang dilakukan oleh Shakur saat memancing tadi, aplikasi yang tepat, kesabaran, observasi dan timing.

Tak perlu menggunakan semua poin penting dari keempat hal tadi, mungkin jika Munding hanya mengembangkan dua dari poin tadi, dia bisa menciptakan teknik yang bisa dipakai saat bertarung melawan musuh yang setingkat dengan Tommy atau Jian.

Munding yang selama beberapa bulan ini merasa kalau kemajuan yang dia dapatkan terasa sangat lambat, tiba-tiba kembali merasakan mood-nya bergerak naik dan dia jadi bersemangat lagi. Kini dia menemukan jalan yang mungkin akan bisa dia gunakan untuk meningkatkan kemampuannya.

“Kenapa kamu senyum-senyum kek gitu?” tanya Arya ketika melihat Munding mulai tersenyum sendiri seperti orang gila.

Munding hanya diam dan tak menjawab lalu menghapus senyuman lebar dari bibirnya dan menggantinya dengan senyum simpul seadanya.

“Shakur, ini Arya. Kamu harus mengenalnya jika memang ingin tinggal di negeri ini,” kata Munding sambil mengenalkan Arya.

“Kenapa begitu?” tanya Shakur sambil melirik ke arah Arya.

“Dia ketua Biro. Sebuah badan yang mengawasi semua serigala petarung di Indonesia. Kamu serigala petarung juga, itu artinya kamu tetap harus berada di bawah pengawasan Arya,” jawab Munding.

“Semua? Termasuk kamu?” tanya Shakur ke arah Munding.

Munding sedikit tercekat ketika mendengarkan pertanyaan Shakur. Ini kali pertama ada orang yang bertanya apakah Munding juga masuk dalam pengawasan Biro dan apakah Munding tetap harus mengikuti perintah Arya.

Dan terus terang saja, baik Munding ataupun Arya tak pernah memikirkan masalah ini sebelumnya. Mereka berdua seperti sepasang sahabat yang selalu ada saat salah satu membutuhkan. Tapi apakah salah satu dari mereka memiliki kemampuan untuk memerintah yang lainnya?

Munding reflek melirik ke arah Arya lalu dia tersenyum dan kembali menoleh ke arah Shakur.

“Ya. Aku juga tetap harus mendengarkan perintah Arya dan Biro,” jawab Munding.

Mata Shakur berbinar dan sikapnya terhadap Arya pun langsung berubah. Tadi, dia sama sekali tak menganggap Arya karena dia hanyalah seorang petarung inisiasi. Shakur beranggapan bahwa Arya mungkin adalah asisten Munding atau semacamnya.

Kini setelah Munding sendiri mengakui kalau Arya adalah atasan petarung sekelas Munding, Shakur tak mungkin memandang Arya dengan sebelah mata dan meremehkannya.

“Namaku Shakur, senang berkenalan denganmu,” kata Shakur sambil menjabat tangan Arya.

“Arya, senang berkenalan denganmu juga,” jawab Arya sambil tersenyum lebar dan melirik Munding dengan pandangan penuh rasa terima kasih.

“Kamu pasti sudah menebak alasan kedatangan kami kesini. Kami tak ingin berbasa-basi. Kami menganggap Utopia adalah musuh kami. Kami tahu kalau kamu pasti memiliki banyak informasi yang penting dan bisa kami gunakan untuk melakukan counter-attack terhadap Utopia. Kami harap, Biro dan Indonesia bisa bekerjasama denganmu,” kata Arya dengan nada formal.

“Tapi …,” Shakur terlihat ragu dan melihat ke arah sekelilingnya.

Arya langsung menanggapi isyarat Shakur dengan cepat, “Tenang saja. Kami bisa mengusahakan naturalisasi dengan jalur khusus jika memang kita bisa bekerjasama dengan baik. Jadi kamu tetap bisa tinggal di sini. Kami juga merasa senang jika ada satu tambahan lagi petarung manifestasi yang berada di bawah bendera Merah Putih,” kata Arya.

Shakur tersenyum lebar dan terlihat senang ketika mendengar kata-kata Arya. Dia menjabat tangan Arya untuk yang kedua kalinya dan mengucapan terima kasih untuk janji Arya, “Tapi, aku masih ada beberapa keluarga di negaraku ….”

“Soal itu, aku tak bisa berjanji, tapi akan aku usahakan. Kalau untukmu dan mungkin pasanganmu atau anakmu, aku bisa janjikan itu,” jawab Arya.

“Oke. Aku tahu, aku mengerti kesulitanmu,” jawab Shakur.

Mereka berdua lalu mulai berdiskusi tentang informasi yang Shakur miliki sebagai Apostle Utopia dulu. Arya menggunakan sebuah handphonenya untuk merekam percakapan mereka.

Munding sendiri tak begitu antusias untuk mendengarkan detail percakapan mereka. Mungkin satu-satunya yang ingin dia ketahui tentang Utopia saat ini adalah informasi tentang Clown, orang yang membuat Nurul lumpuh sampai saat ini.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang