Chapter 05 - Pelatih part 1

3.9K 201 14
                                    

“Gimana? Lumayan kan?” tanya seorang laki-laki berbadan tegap kepada Munding.

Munding melihat sekilas ke barisan para prajurit yang memakai celana camou dan atasan berupa kaos berwarna hijau polos itu. Mereka terdiri dari empat puluh orang prajurit yang sebagian besar adalah laki-laki.

Hanya dengan sekali lihat, Munding tahu kalau mereka semua adalah serigala petarung. Ada yang sudah berada dalam tahap inisiasi, ada yang masih dalam tahap awakening, tapi mereka semua adalah serigala petarung.

“Kita mengumpulkan dengan susah payah bibit-bibit berkualitas ini, mungkin prajurit seperti aku atau Afza dan rekan-rekan lainnya di tim Merah Putih dulu, kami sudah terlalu matang dan dewasa untuk bisa memulai semuanya dari baru. Tapi mereka ini lain…” Arya terlihat memandang ke arah empat puluh orang prajurit yang masih terlihat berusia belia itu dengan tatapan menerawang tapi sekaligus penuh harapan.

“Munding, kamu satu-satunya tim serang yang dimiliki oleh Biro kita saat ini. Aku tahu kalau kamu juga lebih memilih menghabiskan waktumu bersama keluarga kan?” tanya Arya.

Munding masih terdiam dan pandangannya juga masih dengan seksama melihat ke remaja-remaja yang mengenakan atribut militer di luar sana.

“Gimana? Kamu mau jadi trainer tim ini?” kejar Arya setelah melihat Munding masih tetap terdiam dan sama sekali tak memberikan jawaban.

Munding melihat ke arah Arya lalu menepuk pundaknya, “aku bangga punya seseorang yang benar-benar mencintai bangsanya seperti dirimu Sun,” kata Munding pelan dengan muka serius.

Muka Arya langsung berubah merah padam, “Jangan panggil aku ‘Sun’!!”

“Namamu kan memang Sunarya, lagian kan kita cuma berdua saja, ngapain sih serius amat kek tadi. Afza mana?” balas Munding.

Arya hanya membuang nafas kesal dan tak menghiraukan ledekan Munding. Hanya ada segelintir orang di negeri yang mungkin berani meledek seorang pemimpin badan pemerintah sekelas Arya, dan kebetulan Munding adalah salah satunya. Jadi Arya hanya bisa meratapi nasib saja.

“Bentar lagi dia kesini,” jawab Arya, “Tapi aku serius, Munding, kamu harus melatih mereka. Setidaknya, kita akan punya personil yang mampu melindungi negara kita sendiri,” kejar Arya lagi.

“Oke-oke. Pelatih ya? Ingat, pelatih! Bukan Guru!” jawab Munding setelah menarik napas panjang.

Arya langsung tersenyum sumringah ketika mendengar kata-kata sahabatnya itu. Arya tahu betul sifatnya, kalau Munding sudah berjanji dia pasti akan berusaha menepatinya sekuat tenaga. Jadi, yang paling susah adalah mendapatkan sebuah janji dari mulut Munding, dan kini dia sudah mendapatkannya, karena itulah dia senang sekali.

“Makasih Bro, makasih,” jawab Arya sambil menepuk pundak Munding dengan akrab.

“Jangan senang dulu, aku belum mengatakan syaratku kan?” sungut Munding.

“Oke. Oke. Katakan apa syarat yang kamu berikan!!” kata Arya cepat.
Munding hanya melirik ke arah Arya sekilas lalu dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah empat puluh orang remaja yang ada di lapangan sana.

“Pertama, aku Pelatih mereka. Bukan Guru. Kamu pasti paham kan perbedaannya?” tanya Munding.

Arya menganggukkan kepalanya, “Aku paham,” gumam Arya.

Tentu saja dia paham maksud Munding. Guru dan Pelatih adalah dua hal yang berbeda. Saat seorang militant seperti Munding mengangkat seseorang menjadi muridnya. Itu artinya, takdir mereka sudah saling terikat. Munding memiliki kewajiban untuk membimbing muridnya dari awal hingga akhir.

Ketika sang Murid mengalami salah jalan, Munding juga harus bertanggung jawab dan mengoreksinya. Ikatan antara seorang guru dan murid sangatlah kuat, terkadang melebihi hubungan darah. Arya tahu kalau Munding tak akan semudah itu mengangkat seorang murid.

“Kedua, aku akan melakukan seleksi terlebih dahulu terhadap empat puluh orang anak itu. Seleksi dengan caraku, dan aku harap kau tak akan kecewa dengan apapun hasil keputusanku nantinya,” kata Munding memberitahukan syarat keduanya.

Arya sedikit mengrenyitkan dahi. Syarat kedua ini sedikit membahayakan dan mengandung jebakan. Bisa saja setelah Munding melakukan seleksinya, tak ada seorang pun yang akan lolos kan?
“Kamu kan hanya melatih mereka? Bukan mencari seorang murid, kenapa harus seleksi dulu?” protes Arya.

Munding menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya itu.

“Ada perbedaan mendasar antara aku dan kalian. Kamu harusnya sadar itu saat kita masih di Merah Putih,” gumam Munding.

Arya hanya terdiam, dia tahu kalau apa yang Munding katakan memang benar. Ada sesuatu yang mendasar dan membedakan antara konsep serigala petarung yang datang dari militer seperti dirinya dan serigala petarung dari militant seperti Munding.

Meskipun Arya mungkin tak tahu perbedaan itu. Munding jelas paham sekali mengenai hal itu. Serigala petarung dari militer dididik untuk menjadi prajurit yang selalu mengikuti rantai komando. Mereka menggunakan logika diatas naluri. Mengikuti perintah atasan dibandingkan keinginan diri sendiri.

Sedangkan Munding, dia adalah seorang alpha. Dia mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Dia memilih naluri diatas logika. Seperti seekor binatang buas yang akan sepenuhnya mengandalkan instinct-nya untuk bertahan hidup di alam liar.

Munding dan Arya menempuh dua jalan yang berbeda dan Munding hanya akan melatih bibit-bibit muda yang sejalan dengan dirinya. Bukan karena dia merasa kalau jalan yang dia pilih lebih baik daripada jalan yang dilewati oleh Arya atau para prajurit itu. Alasannya sederhana, karena dia mengenal jalan ini dengan lebih baik.

“Ketiga, aku melatih dengan caraku. Jangan ada complain di kemudian hari. Jangan mengaturku untuk melakukan ini itu tentang semua hal yang kulakukan saat melatih mereka. Setuju?” tanya Munding.

“Oke. Deal!!” jawab Arya dengan wajah sumringah sambil bersalaman dengan Munding.

Mereka berdua lalu berjalan keluar dari dalam ruangan itu. Arya terlihat gembira karena berhasil meminta Munding menjadi pelatih tim mereka. Munding bukan orang sembarangan. Sekalipun eksistensinya di mata orang awam mungkin sama sekali tak ada gaungnya. Tapi di mata para pemegang kekuasaan tertinggi di Asia Tenggara, tak ada yang tak mengenal sosok Demon yang melegenda ini.

“Kupikir kalian tak akan keluar dan akan tetap bercinta di dalam sana,” sebuah suara sinis terdengar dari samping pintu ruangan yang terbuka.

Munding dan Arya menolehkan kepala mereka ke samping kiri, tempat suara itu berasal. Mereka hanya bisa tersenyum pahit saat melihat sesosok gadis manis yang sedang bersender ke dinding dan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Za, apa maksudmu dengan ‘bercinta’ ha?” teriak Arya sambil melotot ke arah gadis itu.

Afza hanya tersenyum kecil lalu mengepalkan tangan kanannya sambil mengacungkannya ke arah Arya, “Hmm, Ketua, di saat Ketua sedang sibuk kesana kemari menandatangani dokumen tak penting itu, aku selalu berlatih. Pengen coba?” ancam Afza.

Arya hanya mendenguskan napas dan membalikkan badannya. Memang benar klaim Afza, posisi mereka tak lagi seperti dulu.

Dulu saat berada di tim Merah Putih, mereka menciptakan sendiri klasifikasi kekuatan tarung mereka. Arya masuk kategori D+ sedangkan Afza masuk ke kelas D-, ada gap luar biasa antara Afza dan dirinya, tapi sekarang, semua tahu kalau Afza jauh lebih kuat daripada Arya. Karena itu Arya hanya bisa menarik napas panjang dan menekan amarahnya saat menghadapi bawahan sekaligus sahabatnya sendiri itu.

=====

Author note:

Ini regular chapter untuk hari ini.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang