Chapter 14 - Misi Pertama part 2

3.5K 220 166
                                    

Author note:

Ini bonus chapter dedicated untuk TriWahyuningsih002 yang berulangtahun hari ini.

Semoga semua cita-citanya terkabul. Semoga Gusti Allah melancarkan semua urusan dan usahanya.

Semoga Gusti Allah segera mempertemukan dia dengan imamnya yang masih nyasar entah kemana. Amin.

Regular chapternya agak malam dikit, belum kelar ditulis.

=====

“Apa permintaannya?” potong Munding.

“Dia ingin uang tebusan sejumlah 1 Juta SGD dalam bentuk cash. Selain itu, dia ingin kita menyiapkan sebuah kapal speedboat bermesin 200pk untuknya,” jawab si Guide.

“1 juta SGD? Berapa rupiah itu?” tanya Munding.

“Lebih dari 10 Milyar rupiah,” jawab April cepat, mendahului si Guide.

“Hmmm, uang sebanyak itu dalam bentuk cash? Apa dia tidak akan kesulitan untuk membawanya?” tanya Munding.

“Pakdhe, Singapore punya pecahan uang tertinggi 10.000 SGD dalam satu lembar, 1 juta SGD hanya butuh 100 lembar uang kan. Sangat mudah membawa uang sebanyak itu,” jawab April.

Munding terdiam. Baru kali ini dia tahu kalau ada pecahan uang sebesar itu, 10 ribu SGD mungkin senilai 100 juta rupiah, dan itu hanya selembar uang kertas saja. Tapi, hanya sebatas itu, karena bagi Munding sendiri, mungkin uang tak sebegitu pentingnya.

“Jadi, apa prediksi tim kalian sampai saat ini?” tanya Munding.

Si Guide tersebut tersenyum pahit dan meletakkan laptopnya ke bangku sebelah, “Kami menduga kalau target bukanlah petarung lokal. Dia mungkin mencoba untuk mendapatkan uang tebusan dari kita lalu menggunakan speed boat yang kita sediakan untuk menyeberang ke Singapura,” jawab si Guide.

“Bukankah kita punya armada laut, pasti bisa mencegatnya kan?” tanya Munding.

“Bisa, bahkan sampai saat ini, kita sudah menempatkan beberapa kapal patroli di sekeliling Pulau Pemping, tapi dia seorang serigala petarung. Dia pasti punya rencana cadangan dan tak akan sebodoh itu melakukan aksinya,” jawab si Guide.

“Lalu, apa rencana kalian dengan melibatkan Biro?” tanya Munding.

“Ada beberapa pangkalan militer yang ada disini. Tapi saat ini, kami tak punya serigala petarung tahap inisiasi. Hanya ada beberapa serigala petarung tahap awakening saja,” jawab si Guide.

“Saat ini?” tanya Munding.

“Mmm. Iya. Saat ini, kami punya empat institusi di Pulau ini. Marinir, Yonif, Brimob dan AL. Tak mungkin kan kalau kami tak punya serigala petarung tahap inisiasi?” si Guide bertanya balik dengan muka terlihat memerah.

“Ooo. Jadi saat ini ada sesuatu yang membuat semua serigala petarung yang ada di keempat lembaga tersebut tak lagi disini. Dan target memanfaatkan celah yang ada untuk melakukan aksinya?” tanya Munding.

Tapi belum sempat Si Guide menjawab, Munding sudah melanjutkan kata-katanya, “Tapi karena target tahu kondisi kekosongan ini, itu artinya, dia punya relasi orang dalam dari salah satu lembaga atau bahkan beberapa lembaga yang tadi?” selidik Munding.

“Karena ini melibatkan orang dalam, akhirnya kalian meminta Biro turun tangan?” kejar Munding lagi.

Si Guide sedari tadi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa berkata apa-apa. Dia mengakui kalau apa yang dikatakan personel Biro yang ada di depannya ini memang benar. Sekalipun dia tak begitu mengenal siapa laki-laki berpenampilan sipil dengan tiga orang yang jauh lebih muda dan terlihat berusia belia bersamanya ini.

Tapi setelah dia berhasil memverifikasi bahwa rombongan keempat orang ini adalah benar-benar dari Biro, si Guide hanya bisa melakukan tugasnya tanpa banyak bertanya dan membawa rombongan Munding kesini.

“Kalian bertiga sudah mendengar semuanya? Terutama kamu, Dian? Untuk misi pertama ini, target adalah serigala petarung inisiasi. Kamu yang akan mengeksekusinya. April dan Angga, kalian berdua cukup memback up dan mencoba mengurangi collateral damage dari pihak sipil atau lainnya,” kata Munding mengeluarkan instruksinya.

“Kami mengerti Pakdhe,” jawab mereka sambil menggenggam erat kepalan tangan masing-masing.

Ini adalah misi pertama mereka sejak menjadi anak didik Munding, tentu saja mereka tak ingin terlihat mengecewakan kan?

Munding sendiri masih larut dalam pikirannya. Semuanya terasa aneh dan ada sesuatu yang mengganjal. Kasus ini tak sesederhana seperti yang terlihat di permukaan, pasti ada sesuatu yang terjadi disini.

=====

“Kita sudah sampai Pak,” kata si Guide kepada Munding.

Munding melihat kearah pulau yang ada di depannya. Ada sebuah pelantar dari beton yang menjorok ke tengah laut dan memiliki panjang puluhan meter. Air di bawah pelantar beton itu terlihat jernih sekali dan Munding bisa melihat terumbu karang serta ikan-ikan kecil yang ada di bawah sana.

Tapi, Munding kesini bukan untuk menikmati keindahan laut Pulau Pemping. Dia menoleh ke arah ketiga anak didiknya dan memberikan aba-aba agar mereka bersiap-siap. Dian dengan cekatan memakai ransel militernya dan berdiri di atas perahu.

Wushhhhh.

Tanpa menunggu perahu merapat ke dermaga beton milik Pulau Pemping, Dian langsung meloncat dan mendarat dengan sempurna ke atas dermaga. Angga dan April pun menyusul Dian tak lama kemudian.

“Kalian akan menunggu disini atau gimana?” tanya Munding ke arah si wanita yang menjadi guide mereka dan pengemudi perahu kayu ini.

“Kami akan mundur sekira jarak aman dari dermaga. Kami tak akan merapat,” jawab sang pengemudi dengan raut muka ketakutan di wajahnya.

Dia baru saja menyaksikan ketiga remaja yang tadi dengan santai duduk dan bercanda di atas perahunya dan berada di depan dirinya, dengan mudah meloncat keatas dermaga. Sesuatu yang terlihat sedikit mustahil dan hanya bisa disaksikan dalam layar televisi saja.

“Oke,” jawab Munding sambil menganggukkan kepalanya.

Tak seperti ketiga muridnya, Munding justru perlahan-lahan memanjat tangga kayu yang digantung di tiang dermaga dan digunakan untuk akses naik dan turun ke perahu. Dia seperti manusia biasa dan sama sekali tak terlihat istimewa dibandingkan ketiga remaja yang seharusnya menjadi anak didiknya.

Sesampainya diatas, Munding melambaikan tangan ke arah si guide dan pengemudi perahu itu lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjangnya dan berjalan pelan menyusuri dermaga beton panjang milik Pulau Pemping ini.

Dian, April dan Arya berjalan dengan pelan mengikuti mentor mereka dengan raut muka tak sabar menunggu untuk merasakan sensasi bertarung dengan sesama serigala petarung.

“Maju,” gumam Munding pelan tanpa memberikan aba-aba dengan tangannya.

“Siap!” jawab Dian, April, dan Angga.

Tak lama kemudian, bayangan mereka bertiga sudah menghilang dari tempat ini. Munding masih melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Pandangan matanya lurus kedepan dengan raut muka serius.

Tanpa sepengetahuan ketiga anak didiknya yang terlebih dahulu melesat menuju Pulau, tubuh Munding mengeluarkan aura berwarna gelap yang tak kasat mata. Lalu dengan cepat, aura ini menyebar ke arah depan seperti sebuah gelombang lautan yang merambat cepat dengan Munding sebagai pusat rambatannya dan mengarah ke Pulau.

Sesaat kemudian, Munding merasakannya.

Ada belasan orang yang sekarang sedang berkumpul dalam salah satu ruangan kosong yang berada di tengah gedung. Di depan ruangan itu, seorang laki-laki sedang duduk sambil menikmati rokok dan memegang handphone di tangannya. Di sebelahnya berdiri seorang wanita muda yang tubuhnya bergetar ketakutan karena dipaksa melayani laki-laki yang duduk di depannya.

Munding dapat dengan cepat menyimpulkan hasil scanning yang dia lakukan dengan memanfaatkan domain kegelapan miliknya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang