Tubuh Huat bergetar dengan sendirinya dan tanpa sadar dia berjalan mundur ke belakang. Tatapan matanya seolah terpaku ke sosok Munding yang masih berjalan pelan dan santai sambil sesekali mengunyah kacang mete yang sedari tadi masih digenggam dengan tangan kanannya.
“Hei! Aku bertanya tadi. Siapa kamu? Aku tak punya banyak waktu. Jadi silahkan putuskan sendiri, kamu mau bercerita secara sukarela atau aku memaksamu dengan kekerasan,” gumam Munding pelan.
Huat bisa mengerti dengan jelas perkataan Munding tapi ada sesuatu dalam tubuhnya yang membuat dia tak bisa berkata-kata saat ditanya oleh Munding. Mungkin itu adalah rasa takut yang dia miliki atau mungkin ada sesuatu yang lain.
“Huft,” Munding menghempaskan nafas panjang lalu dia memejamkan matanya.
Sedetik kemudian, Munding kembali membuka matanya yang sekarang sudah berwarna hitam. Saat Huat menatap mata yang dipenuhi kegelapan itu, tatapan matanya sendiri berubah menjadi kosong. Seperti orang yang sedang melamun atau seseorang yang sedang mengalami gangguan mental.
Beberapa detik setelah itu, Munding memejamkan matanya dan ketika dia membukanya lagi, mata Munding sudah kembali normal. Sedangkan Huat, dia terkulai lemas tak berdaya ketika Munding melepaskan domain kegelapan miliknya. Huat terkapar di atas tanah dengan mata terbelalak ke depan.
Napasnya masih teratur, detak jantungnya juga teratur. Sama sekali tak terlihat kalau dirinya cidera ataupun terluka. Tapi, tatapan kosong yang ada di matanya, membuat orang yang melihatnya seolah-olah sedang berhadapan dengan sebuah cangkang kosong. Cangkang kosong tanpa isi. Hanya raga tanpa jiwa.
Dan memang seperti itulah kenyataannya. Tak ada lagi ‘Huat’. Kesadaran dirinya telah hilang ditelan kegelapan dalam domain milik Munding. Yang tersisa hanyalah raga tanpa jiwa. Seperti seseorang yang sedang mengalami koma. Tapi ini lebih menakutkan, karena tak akan pernah ada kesempatan bagi Huat untuk kembali tersadar. Apapun yang dilakukan untuk menolongnya.
=====
Dian terlihat terpukul sedangkan April dan Angga berusaha untuk menghiburnya siang itu. Mereka sedang menikmati semilir angin dan hempasan gelombang yang tak seberapa besar diatas speedboat alias kapal pancung yang membawa mereka kembali dari Pulau Pemping.
Si Guide terlihat tersenyum sumringah sekarang. Tim Biro yang dipimping oleh Munding berhasil melumpuhkan target mereka tanpa menyebabkan satu orang pun sandera terluka.
“Mbak,” panggil Munding pelan yang berada di deretan bangku kedua dari belakang.
Perahu pancung dikemudikan dari sebelah belakang kapal. Karena itu, si guide yang membawa Munding dan ketiga anak didiknya ke Pulau Pemping duduk di bangku penumpang paling belakang, sedangkan Munding duduk satu baris di depannya.
“Ya Pak?” tanya si Guide dengan antusias.
“Siapa yang bernama Kasman?” tanya Munding.
“Kasman?” si Guide terlihat berpikir sebentar selama beberapa saat, “maksud Bapak, Jenderal Kasman?” lanjut si Guide ragu-ragu.
“Mmm. Dia adalah pimpinan salah satu lembaga di sini. Saat ini dia sedang mempunyai hajatan di rumahnya. Karena itu, dia mengundang semua petinggi lembaga ke acaranya,” jawab si Guide ragu-ragu.
“Oke. Aku mengerti,” jawab Munding cepat,”Ingat, anggap aku tak pernah bertanya soal Kasman. Kamu wanita yang cerdas, pasti tahu apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak. Karena ini juga menyangkut keselamatan nyawamu sendiri,” lanjut Munding.
Si Guide menganggukkan kepalanya dengan cepat tanda mengerti. Hanya sebuah peribahasa muncul dengan cepat di kepala sang wanita berpenampilan rapi dan menarik ini. Gajah berkelahi, pelanduk mati ditengah-tengah. Dia tak ingin menjadi si pelanduk malang yang mati terinjak ketika para gajah sedang berkelahi seperti dalam peribahasa tadi.
=====
“Kita turun di Jakarta. Kalian punya waktu off selama 2 hari. Manfaatkan, setelah dua hari, datang kembali ke rumahku,” kata Munding pelan sore itu ketika pesawat yang mereka tumpangi mendarat di Bandara International Soekarno-Hatta.
Dian, April dan Angga saling berpandangan sebelum akhirnya mereka mengucapkan terima kasih kepada Munding dan pergi meninggalkan mentor mereka sendirian.
Munding melihat sekilas ke arah mereka bertiga sampai akhirnya bayangan ketiga anak didiknya hilang di keramaian bandara ini. Ketika Munding tak lagi melihat mereka, dia mengeluarkan handphone miliknya dan mencari sebuah nama kontak disana.
Cynthia Hong.
Tak lama kemudian, Munding sudah tersambung ke nomor kontak itu. Munding melirik ke arah jam yang terpasang di salah satu sudut bandara. Waktu menunjukkan pukul 14.00 siang dan bandara ini juga masih ramai dengan lalu lalang para penumpangnya.
“Halo?” sebuah suara terdengar dari seberang telepon.
“Halo. Ini Munding,” jawab Munding pendek.
“Eh? Mas Munding? Tumben telepon Cynthia. Ada yang bisa dibantu?” tanya Cynthia dengan cepat.
Munding menarik napas panjang. Secara umur, seharusnya Cynthia lebih tua beberapa tahun dibandingkan Munding, tapi menurut Cynthia, karena senioritas Munding diatas dirinya, maka dia memutuskan untuk memanggil Munding dengan ‘Mas’.
Munding adalah murid sekaligus menantu Pak Yai, sedangkan Cynthia adalah murid Aisah, dimana Aisah adalah adik seperguruan Pak Yai, karena itu Cynthia selalu menganggap kalau Munding lebih ‘tua’ dalam hal ke-senioritas-an.
“Anu. Aku di Jakarta sekarang. Aku ada urusan sedikit dan butuh transportasi. Cynthia bisa bantu?” tanya Munding.
“Serius? Mas di Jakarta? Kebetulan kami juga sedang berkumpul disini sekarang. Kalau begitu, aku yang akan menjemput Mas. Sekarang posisi Mas dimana?” tanya Cynthia.
“Kami?” tanya Munding.
“Iya. Sekarang ada Guru, Kakek dan aku,” jawab Cynthia.
Paulus Hong dan Tante Aisah.
Huft. Padahal Munding ingin agar pergerakannya lebih low profile. Tapi bagaimana mungkin akan low profile jika tiga orang petarung manifestasi berkumpul menjadi satu?
“Halo? Mas?” tanya Cynthia lagi.
“Aku di bandara Soekarno Hatta,” jawab Munding lemah.
“Siap. Tunggu aku ya?” tanya Cynthia lalu dia pun mematikan teleponnya.
Munding memasukkan handphone android keluaran lama miliknya ke saku. Dia lalu merogoh ke dalam tas sampingnya dan mengambil segenggam kacang mete dari sana.
“Dasar orang udik!! Hp jadul gitu masih aja dipake. Dah gitu, nyemil kacang mete di tengah jalan.”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara cibiran dari sebelah Munding. Munding menoleh sekilas dan melihat segerombolan muda-mudi yang berpakaian trendi dan terlihat menyerupai pelancong yang baru balik dari wisata ke mancanegara.
Si tersangka yang barusan berbicara itu adalah seorang cowok yang berperawakan sedang dan mengenakan kacamata hitam di wajahnya. Ketika Munding melihat kearahnya, sedikit rasa takut timbul di dadanya, tapi dia melihat ke sekelilingnya dan Munding hanya seorang diri. Si Cowok Keren ini merasa sedikit berani karena itu.
“Apa liat-liat? Dasar kampungan Lo!!” maki si Keren ke arah Munding.
Munding hanya tersenyum kecil dan berjalan beberapa meter dan menjauhi rombongan cowok dan cewek trendy itu.
Melihat Munding menjauh setelah dibentaknya, si Keren pun tersenyum bangga dan menepuk dadanya. Kawan-kawan si Keren yang tadi terdiam dan melihat drama antara si Keren dan si Kampungan juga bersorak setelah melihat hasil akhir dari drama barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
munding:utopia
Aksi(Action) Utopia merupakan sebuah negeri khayalan yang diciptakan oleh Sir Thomas Moore dalam bukunya yang berjudul Utopia. Negeri ini berupa sebuah pulau di tengah-tengah Samudera Atlantik yang memiliki tatanan kehidupan yang ideal, dari semua segi...