Chapter 104 - Riset

3.5K 214 45
                                    

“Humph,” Knife mendengus kesal.

Sebulan setelah kejadian penyerangan Kongzi yang mereka lakukan, Knife masih merasakan kekesalan luar biasa saat dia menerima kekalahan dari seorang pemuda Asia.

Dia berjalan dengan cepat dan menuju ke sebuah bangunan yang berupa gedung bertingkat tiga tanpa pagar yang mengelilinginya.

Di bagian luar gedung, taman yang terlihat tumbuh liar dan tidak dirawat memberikan kesan alami yang menyegarkan mata. Jalan setapak yang terbuat dari batu disusun rapi dengan semak di sebelah kiri kanan yang tumbuh subur, benar-benar memberikan kesan sebuah hunian yang dekat dengan alam.

Knife terus berjalan menuju ke arah gedung itu hingga dia sampai di depan pintu yang berukuran cukup besar. Jelas terlihat kalau pintu itu adalah pintu utama untuk memasuki gedung ini.

Bip

Sebuah suara terdengar dari arah pintu dan Knife dengan santai menempelkan matanya ke arah alat pemindai retina yang terpasang di sebelah pintu.

Cklek.

Pintu gedung itu otomatis terbuka setelah memastikan identitas Knife. Tak ada tempat yang tidak bisa dia masuki di pulau ini, Pulau Utopia yang merupakan markas besar organisasi mereka, kecuali tentu saja ruang pribadi Tommy dan Kelly.

Knife lalu berjalan melewati sebuah koridor yang sepi dan bernuansa alam, senada dengan suasana di luar gedung.

Setelah dia melewati ruang tamu yang berukuran luas dan tak berpenghuni itu, Knife berdiri di sebuah pintu yang berukuran lebih kecil dan berada di ujung ruangan. Pintu ini terlihat sederhana dan sama sekali tidak mencolok bagi siapa pun yang mungkin berkunjung ke tempat ini.

Bip.

Knife melakukan proses verifikasi retina seperti yang dia lakukan tadi. Kali ini, proses berlangsung sedikit lebih lama dan beberapa saat kemudian, pintu terbuka.

Di sebelah dalam pintu itu, suasana berubah kontras dibandingkan dengan suasana di ruangan tempat sekarang Knife berada. Knife pun melangkah masuk dan pintu yang tadi dia lewati otomatis kembali tertutup.

Di dalam ruangan ini, pemandangan yang jauh dari kesan alami dan natural yang diberikan oleh halaman luar gedung dan ruang tamu sangat terlihat. Tak ada lagi pepohonan rindang atau tanaman yang tumbuh subur.

Semua benda di tempat ini di dominasi warna putih. Beberapa orang yang terlihat berpenampilan awut-awutan dengan menggunakan baju peneliti berwarna putih terlihat berjalan kesana kemari dengan sibuk tanpa memperhatikan sekelilingnya.

Saat Knife masuk ke dalam bagian dalam gedung yang menjadi pusat penelitian milik Divisi Riset yang dipimpin oleh Clown ini tak ada satu pun yang menyapa atau sekedar melihat ke arah siapa yang datang.

Knife tak begitu mempedulikan sikap para peneliti gila yang terlalu asyik dalam dunia yang tercipta dalam otak mereka masing-masing itu. Dia berjalan lurus melewati ruangan yang berdinding dan disekat dari kaca, dengan puluhan bahkan ratusan orang yang saling berdikusi atau sedang mengerjakan sesuatu di depannya.

Tak berapa lama kemudian, Knife tiba di sebuah ruangan yang berukuran paling besar dengan sebuah dinding kaca pengamat yang berada di sebelah atas dan sebuah ruang percobaan yang berada di bawah.

Knife melihat sosok Clown yang mengenakan topeng khasnya sedang memegang jarum suntik di tangannya. Di depan Clown, seorang laki-laki, entah siapa, terbaring tak sadarkan diri dengan kedua tangan, kaki dan tubuhnya terikat di atas sebuah meja operasi.

Beberapa peneliti terlihat berada di sekeliling Clown dengan pandangan antusias dan penuh antisipasi, seolah-olah mereka sedang menunggu terciptanya sebuah keajaiban tak lama lagi.

Clown mendekat ke arah laki-laki yang tak sadarkan diri itu lalu menyuntikkan serum yang dipegangnya ke lengan kiri si laki-laki.

Setelah semua serum yang berada di dalam suntikan yang dia pegang telah semuanya berhasil masuk ke tubuh si laki-laki, Clown mundur dua langkah lalu berteriak ke arah salah seorang peneliti yang duduk di atas sebuah kursi dan menghadap ke layar komputer di depannya.

“Monitor perubahan status fisiknya!” perintah Clown.

Dengan cekatan si peneliti yang mendapatkan instruksi Clown segera menggunakan komputer di depannya lalu memproyeksikan hasil monitoringnya ke sebuah layar yang berukuran lebih besar dan tertempel di dinding yang berada di belakang Clown.

Clown dan semua peneliti yang berdiri di sekeliling meja operasi melihat ke arah monitor itu dan terdiam. Hanya keheningan yang tercipta setelah itu, seolah-olah ketika mereka salah dalam melakukan tarikan nafas, akan membantu merusak hasil penelitian mereka saat ini.

“Arrrrgghhhhhhhhhh,” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan yang sangat kencang dari si pasien yang terikat di atas ranjang.

Seorang peneliti terperanjat kaget saat mendengarnya sedangkan Clown hanya melirik sekilas lalu seolah tak peduli dan terus menatap ke arah layar monitor yang memantau perkembangan fisik dari si pasien.

“Aarrrgghhhhhhh,” teriakan kesakitan makin menjadi dan suaranya pun memenuhi seisi ruangan, tapi tak ada yang peduli, seolah-olah mereka semua sudah terbiasa melakukan semua ini.

‘Kondisi host kritis, proses aplikasi serum tak bisa dilanjutkan.’

‘Apakah anda ingin melanjutkan?’ tanya si Artificial Intelligence yang selama ini selalu menjadi pemegang kendali utama untuk proses analisa seperti sekarang.

Clown sama sekali tak berpikir saat dia menjawab dengan datar, “Lanjutkan.”

Suara erangan kesakitan dari si pasien yang lebih tepat disebut dengan kelinci percobaan itu dan peringatan dari AI yang berkali-kali memperingatkan bahwa kondisi host kritis memenuhi ruangan itu. Para peneliti yang ada di tempat itu seakan sudah kebal dan mati rasa oleh suara rintihan dan teriakan dari kelinci percobaan mereka.

Mereka masih tetap saja memperhatikan semua data-data dan perubahan fisik yang terjadi dengan si kelinci percobaaan yang tak lama lagi mungkin meregang nyawa. Kelinci percobaan yang sebenarnya adalah seorang manusia, sama seperti mereka semua.

Knife memalingkan muka saat melihat akhir cerita dari si pasien yang tubuhnya membengkak seperti sebuah balon yang terus ditambahi angin dan akhirnya meletus itu. Dia hanya menarik napas dalam dan mencoba menekan rasa jijik dalam dirinya.

Kalau lah para petarung dan para pembantai di medan tempur dikatakan sebagai orang yang tak punya hati nurani dan keji, lalu sebutan apakah yang pantas diberikan untuk para peneliti seperti mereka?

Yang menciptakan senjata bio kimia yang sanggup memusnahkan ribuan manusia?

Yang menciptakan virus Anthrax, Ebola, dan sekarang Corona?

Yang menciptakan bom nuklir yang membinasakan dua buah kota yang berisi jutaan manusia saat Perang Dunia Kedua?

Yang menciptakan senjata pembunuh tapi masih bisa tersenyum bangga sambil menepuk dada dan berkata, demi kebaikan umat manusia?

“Catat hasilnya, kita akan coba perbaiki parameter serum sesuai dengan data yang berhasil kita kumpulkan dari percobaan kali ini,” kata Clown sambil membubarkan para peneliti yang membantunya barusan.

Knife yang sudah turun dari ruangan untuk pengawas dan kini berdiri tak jauh dari Clown hanya terdiam saja di tempatnya. Dia menunggu Clown selesai dengan urusannya sebelum dia ingin mendiskusikan sesuatu dengannya.

Tentang Munding, tentang Cahaya, dan tentang balas dendamnya.

=====

Author note:

Kalau kalian punya aplikasi Noveltoon/Mangatoon, cerita Munding ini saya double posting di sana, bantu vote dan like ya gaess.

Kalau kalian kangen dengan cerita KKdKg dan SS, saya publish ulang di webnovel.

Nama usernya sama, MoMu98.

Dah gitu aja.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang