Chapter 21 - Trailing the Clue part 3

3.7K 235 156
                                    

Author note:

Buset dah lebih dari 1.03K komennya, padahal baru ditinggal molor bentar sama jjs cari mie ayam. Itu membuktikan betapa gabutnya kalian di malam minggu seperti sekarang. Wkwkwkwkwk.

Turut berduka cita untuk kalian, wahai para penghuni dunia orange yang haus update-an di malam minggu. Jangan marah ya? Wkwkwk.

=====

“Papa?” tanya Dienta dengan nada setengah tak percaya.

Laki-laki paruh baya yang berdiri di depan pintu dan ternyata adalah Kasman, melihat kaget kearah Dienta yang berdiri di belakang Cynthia. Lalu dengan cepat, ekspresi gugup tadi menghilang dan berubah menjadi sosok arogan yang biasanya dilihat oleh Dienta.

“Dienta, kamu balik dulu ke acaramu sana. Papa ada urusan dengan mereka,” kata Kasman tegas dan datar.

Dienta sedikit kaget dengan perubahan sikap Papa-nya, tapi tanpa membantah Dienta menganggukkan kepala dan memutar tubuhnya. Dia sempat menolehkan kepala dan melihat dengan kebingungan ke arah Cynthia dan cowoknya yang masih dengan tenang berdiri dengan kedua tangan terlipat di belakang punggungnya.

Dienta sangat penasaran dengan identitas cowok yang menemani Cynthia itu. Sosok yang bisa membuat Papanya, seorang petinggi militer yang biasanya sangat arogan berubah menjadi rendah diri dan gugup.

Beberapa saat setelah bayangan Dienta menghilang, Kasman kembali melihat ke arah Munding yang masih menatapnya dengan tenang.

“Demon…” panggil Kasman pelan dengan suara bergetar.

Bagaimana tidak, sosok yang sekarang berdiri di depannya ini bahkan mungkin layak untuk duduk semeja dengan dua petarung paling legendaris dari militer, Mbah Dirman dan Nasution.

Apatah artinya seorang Kasman di matanya?

Usia bukanlah ukuran dalam dunia serigala petarung, sekalipun mungkin Munding yang berdiri di hadapannya bahkan lebih muda dari putrinya, tapi kepalan tangannya jauh lebih keras dan mengerikan daripada kepalan tangan Kasman. Dan itu yang menentukan segalanya dalam dunia serigala petarung yang kejam.

“Ada urusan apa datang ke acara anakku ini? Kalau aku tahu Sampeyan akan datang, tentu tadi aku akan menyambut Sampeyan,” kata Kasman.

“Aku tak ingin mencari masalah. Aku hanya ingin tahu hubunganmu dengan Teng Po Huat. Itu saja,” jawab Munding.

Muka Kasman langsung berubah pucat ketika mendengar nama Teng Po Huat keluar dari mulut Munding. Tanpa berkata apa-apa, Kasman langsung melesat mundur ke dalam ruangan dengan cepat. Munding yang sama sekali tak menduga Kasman akan bereaksi seperti itu, kaget untuk sesaat.

Tapi,

Sekejap mata kemudian, sosok Munding menghilang.

Cynthia yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Munding dan Kasman dengan penuh perhatian tersenyum kecil saat melihat apa yang terjadi.

Action.

Ini yang dia tunggu-tunggu sedari tadi saat Munding mengatakan niatnya untuk datang kesini. Dengan cepat, Cynthia melesat masuk ke dalam ruangan.

=====

“Lari!!” teriak Kasman.

Keenam orang itu hanya mendengar suara peringatan Kasman dan sekelebat bayangan saja. Tapi, tanpa berpikir panjang, mereka langsung berdiri dan melesat ke segala arah.

Ruangan yang ditempati oleh ketujuh orang ini memang sebuah meeting room dengan konsep open space. Ada beberapa sisi dinding yang menggunakan sliding door kaca dan memperlihatkan pemandangan ruang terbuka untuk mempercantik pemandangan di dalam ruangannya. Hal itulah yang memudahkan mereka bertujuh untuk melesat meninggalkan ruangan ini.

Sosok Munding tiba-tiba berdiri di tengah ruangan dan melihat ke sekelilingnya. Dia melihat beberapa bayangan yang melesat ke berbagai arah tapi dia tak begitu ambil peduli. Intent Munding sudah mengunci satu sosok yang diincarnya, Kasman.

“Cynthia, tangkap salah satu diantara mereka. Lebih bagus kalau dia petarung inisiasi. Aku akan mengejar Kasman.”

Suara Munding terdengar di telinga Cynthia yang baru saja melesat masuk ke ruangan ini dengan jeda tak lebih dari sedetik setelah Munding menghilang. Tapi, hanya suara Munding yang dia dengar, sosoknya sudah kembali tak terlihat. Tanpa berkata apa-apa, Cynthia langsung mengunci targetnya dan melesat mengejar buruannya.

Ruangan yang tadinya berisi tujuh orang petarung itu kini lengang dan sepi. Hanya meninggalkan pintu yang terbuka dan beberapa gelas kopi yang masih mengepulkan uapnya. Dua buah rokok yang menyala dan diletakkan di atas asbak juga terus mengepulkan asapnya, menunggu pemiliknya yang sudah menghilang entah kemana dan tak akan kembali untuk menikmatinya.

====

Munding sebenarnya bisa saja menggunakan domainnya untuk memerangkap ketujuh serigala petarung yang tadi berada dalam ruangan itu agar mereka tidak bisa melarikan diri. Tapi, dia tak punya alasan untuk melakukan itu.

Kenapa?

Karena dia sama sekali tak menganggap kalau mereka bertujuh adalah musuhnya. Sekalipun mungkin mereka semua mempunyai andil dalam kasus penyanderaan Teng Po Huat yang terjadi di Pulau Pemping tadi pagi, tapi sama sekali tak ada korban jiwa dari pihak sipil ataupun sandera.

Bahkan, satu-satunya alasan Munding memutuskan untuk menghabisi Teng Po Huat adalah karena saat Munding menginterogasi dia dalam domain kegelapan miliknya, Munding mengetahui sepak terjang dan kebiadaban sang Perompak yang tak segan untuk membunuh korbannya di tengah laut. Si Perompak itu juga sama sekali tak pernah mengindahkan hukum yang berlaku. Di tempat asalnya yang merupakan sebuah pulau kecil, Huat hidup seperti raja dan tingkahnya terhadap penduduk asli disana membuat emosi Munding meluap seketika.

Berbeda dengan Huat, Kasman dan keenam rekannya adalah aparat negara. Mungkin satu-satunya kesalahan yang mereka lakukan di mata Munding adalah bekerjasama dan memberi peluang kepada Huat untuk melakukan aksinya.

Sekalipun aksi Huat berhasil, negara hanya akan mengalami kerugian sebesar 10M rupiah. Bukan angka yang fantastis bagi Munding. Dan hak itu tak mungkin membuat Munding menjadikan ketujuh aparat negara yang berkumpul disini sebagai musuh hidup dan matinya.

Wushhhhh.

Sosok Munding sudah berdiri di depan Kasman yang melesat secepat tenaga dalam mode tarungnya.

Kasman menatap Munding dengan wajah ketakutan ketika melihat jalannya berhasil dihalangi oleh sang Demon. Mereka berdua kini berada di sebelah utara resort yang medannya berupa hutan kecil tak terawat yang bahkan tak memiliki jalur pejalan kaki.

Saat ini Matahari sore mulai turun untuk terbenam dalam peraduannya.

Sinar jingga yang lembut dan hangat menembus sela-sela pepohonan yang tak terlalu rindang dan menyinari tempat dimana kedua sosok itu saling berdiri berhadapan. Munding berdiri dengan raut muka datar dan kedua tangan terlipat di belakang tubuhnya, sedangkan Kasman memasang sikap siaga dengan raut muka ketakutan dan setengah menundukkan badannya, seperti sebuah busur yang sudah ditarik separuh dan bersiap-siap untuk melesat melepaskan anak panahnya.

“Kenapa harus lari?” tanya Munding datar.

“Humph!!” Kasman mengatupkan rahangnya dan berusaha membuang rasa takut yang memenuhi dadanya dengan mendenguskan napas penuh kebencian.

Munding sedikit kaget.

Dia tak menganggap Kasman sebagai musuh dan hanya ingin bertanya tentang keterlibatan Kasman dengan Teng Po Huat demi memenuhi rasa penasarannya saja. Bagi Munding, kasus Pulau Pemping sudah selesai. Tak ada niat untuk membawa atau menyeret Kasman dan rekan-rekannya sama sekali.

“Kenapa Kasman memasang sikap sangat bermusuhan? Kenapa juga harus berlari? Uang 10M itu tak ada artinya apa-apa kan?” gumam Munding dalam hati.

Tapi, tiba-tiba saja Munding merasakannya.

Kasus ini, mungkin jauh dari apa yang selama ini Munding perkirakan. Ada sesuatu disini yang tiba-tiba saja membuat Munding merasakan sedikit tanda ancaman bahaya. Dan justru karena itulah Munding membuang semua sikap relaks yang dipasangnya sedari tadi.

“Katakan semuanya!!” kata Munding, kali ini dengan nada serius dan tegas.

“Dalam mimpimu!” jawab Kasman sambil menarik sepucuk pistol yang terselip di pinggangnya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang