Chapter 63 - Guru

3.2K 224 73
                                    

Setelah Nurul menceritakan asal muasal kemampuan anehnya itu, Pak Yai dan Om Leman menarik napas lega. Setidaknya tak ada sesuatu yang membahayakan Nurul untuk saat ini.

“Kamu tu Nduk, fluktuasi intent-mu itu masuk kategori lumayan. Hampir-hampir mendekati inisiasi. Apalagi kamu ndak pernah latihan seperti si Munding, jadi sama sekali tidak bisa mengendalikan intent-mu sendiri,” gumam Pak Yai.

“Kan Nurul juga ndak minta Pak,” protes Nurul lirih.

Munding kasihan melihat istrinya seperti itu lalu dia mencoba mengalihkan topic pembicaraan ke arah lain, “Dek Nurul peka banget lho Pak,” kata Munding.

“Peka?” tanya Pak Yai dan Om Leman bersamaan.

“Iya,” jawab Munding, “mata fisik Dek Nurul peka. Dia bisa melihat intent secara fisik, bukan merasakannya,” jelas Munding.

“Hah?” kedua kakak dan adek angkat itu serentak mengalihkan perhatian mereka ke arah Nurul dengan tatapan kaget.

“Coba lihat ke arah Bapak! Apa yang kamu liat Nduk?” tanya Pak Yai kepada putrinya.

Booommmm.

Pak Yai melepaskan intent-nya dan menunggu reaksi Nurul dengan raut wajah penasaran.
Nurul sendiri yang awalnya terlihat santai dan relaks, tubuhnya kini bergetar ketakutan saat melihat kearah Bapaknya sendiri, “Intent Bapak warnanya merah… Mmm… Seperti darah… Mengelilingi tubuh… Besar… Seperti nyala api unggun...” Nurul berkata dengan suara bergetar lalu beringsut mendekat kearah Munding dan merapatkan tubuhnya.

“Eh?” Pak Yai sedikit kaget melihat reaksi Nurul lalu dengan cepat dia kembali menarik intent miliknya.

Pak Yai menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal ketika melihat putrinya sendiri terlihat sedikit ketakutan saat melihat ke arahnya tadi. Munding memeluk tubuh Nurul yang bergetar dan berusaha meredakan rasa takut istrinya.

“Bapak!!” protes Munding ke arah Pak Yai.

“Maaf, tadi agak kelewatan soalnya tadi Munding bilang Nurul peka kan?” jawab Pak Yai dengan nada bersalah.

“Bapak menakutkan…” gumam Nurul pelan.

“Iya… Maaf…” jawab Pak Yai dengan muka serba salah.

Baru kali ini Munding melihat ekspresi muka Bapak Mertuanya seperti barusan. Munding berusaha menahan tawa yang terasa ingin keluar dari mulutnya, apalagi Om Leman sudah tertawa terbahak-bahak sejak tadi.

Tak lama kemudian, suasana sudah kembali cair seperti semula. Munding mengantar Nurul ke dalam kamar dan menemukan Amel sudah terlelap di dalam sana sambil memeluk Alit. Munding tahu kalau istrinya itu kelelahan.

“Dek Nurul juga tidur ya?” kata Munding setelah merebahkan Nurul di sebelah Amel.

“Mas?” tanya Nurul.

“Nemenin Bapak sama Om dulu bentar,” jawab Munding sambil mengecup kening Nurul lalu melakukan hal yang sama untuk Alit dan Amel setelah itu dia menutup pintu kamar ini perlahan-lahan.

Itu adalah kamar Munding dan Nurul sejak remaja dulu. Cuma ada dua kamar tidur di rumah Pak Yai sejak dulu. Kamar utama tempat Pak Yai dan Ibu dan kamar kedua milik Nurul. Kalau ada tamu laki-laki menginap, mereka akan diminta tidur di mushola, seperti Om Leman sekarang ini. Munding sendiri nanti kemungkinan tidur di lantai kamar Nurul.

Setelah keluar dari kamar mereka, Munding berjalan ke halaman tempat Pak Yai dan Om Leman masih duduk bersila sambil menikmati minuman hangat dan cemilan disana.

Ibu terlihat masih menemani Pak Yai di luar, setelah melihat Munding datang, Ibu menawari teh hangat untuk menantunya lalu menghilang ke dalam rumah.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang