Chapter 119 - Muslihat

2.7K 192 15
                                    

Munding berjalan dengan cepat tanpa mengindahkan panggilan wanita itu dan menyusul Shakur. Dia berpura-pura tak mendengarnya.

“Hey, you!!” teriak si wanita itu dengan suara keras sambil berdiri dan membuat semua orang yang sedang berada di pantai ini menoleh ke arah mereka bertiga.

Munding berdiri di tempatnya dan menarik napas dalam dan hendak memutar tubuhnya, tapi Shakur yang sedari tadi tersenyum menggelengkan kepalanya ke arah Munding. Dia memegang pundak Munding dan melihat ke arah si wanita itu.

“Maafkan kami, Yang Mulia. Dia baru di sini dan warga lokal. Dia belum bisa berbahasa Inggris,” kata Shakur sambil membungkukkan badannya.

“Aku tahu dia lokal, kulitnya khas laki-laki Asia Tenggara, sama seperti para laki-laki di Bali. Setahuku tak ada orang lokal sebelum dia kan?” tanya si wanita itu.

Shakur menggelengkan kepalanya sambil tetap membungkukkan badan.

“Oke. Aku mengerti. Kau ajari dia. Aku ingin dia melayaniku dua hari lagi,” kata si wanita itu sambil melambaikan tangan tanda mengusir Shakur dan Munding pergi.

“Terima kasih Yang Mulia,” jawab Shakur sambil menegakkan badannya dan menyeret Munding menjauh dari tempat ini.

Semua orang yang ada di tempat ini dan sempat tertarik dengan insiden barusan kembali ke kesibukkan mereka masing-masing. Munding dan Shakur akhirnya berhasil terlepas dari area pantai dan berjalan melewati jalan setapak yang naik dan menuju ke bukit di atas pantai.

Munding sempat melirik ke rumah kayu seadanya yang ada di sekitar jalan setapak ini. Sekalipun dari luar terlihat sederhana, tapi saat dilihat dari dekat, fasilitas yang ada di dalam rumah yang lebih tepat disebut sebagai pondok itu, lumayan lengkap. Munding tahu kalau semua barang dan fasilitas itu didatangkan dari luar pulau.

Hanya dalam hitungan sepuluh menit, mereka sampai ke atas bukit dan kondisi sekitar pun berubah. Tumbuhan mulai lebih lebat dan rindang dengan suara burung yang berkicau nyaring. Sinar matahari juga sedikit sulit untuk menembus kanopi yang terbuat dari pepohonan rindang itu.

Beberapa menit kemudian, Shakur berhenti dan menoleh ke arah Munding. Shakur mengambil secarik kain lalu menggunakannya untuk menutupi mukanya.

Shakur pernah menjadi seorang Apostle. Mungkin beberapa dari para penganut yang ada di pantai pernah bertemu dengannya, tapi dalam kondisi dan suasana yang jauh berbeda, mereka tak akan menyangka kalau Shakur yang menyamar menjadi pekerja adalah seorang Apostle.

Tapi, tempat ini lain. Taman Eden, Laboratorium, Divisi Soldier dan Taman Bidadari, bukanlah seperti area pantai yang hanya digunakan untuk bersenang-senang. Keamanan di sini lebih ketat dan peluang untuk bertemu dengan seseorang yang mengenal Shakur meningkat drastis.

“Kita mulai memasuki area dengan keamanan yang lebih ketat. Mungkin tak banyak penganut di sini, tapi kita harus makin waspada dan bersiap untuk bertarung kapan saja,” kata Shakur.

Munding menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

=====

“Tolong… Ampuni aku…,” seorang gadis dengan luka di sekujur tubuhnya menangis terisak-isak dan terbaring di lantai.

Luka yang dideritanya memang terlihat mengerikan, tapi sama sekali tidak ada satu pun yang mengenai organ penting ataupun pembuluh darah utama yang bisa mengakibatkan kematian. Justru karena itu, si gadis merasakan siksaan yang luar biasa dan lebih baik memilih mati saja daripada merasakan ini.

“Ini namanya seni menggunakan pisau,” gumam seorang laki-laki sambil memegang pisau di kedua tangannya dan berjalan mengitari si wanita perlahan-lahan.

Semua ini terjadi di sebuah ruangan gelap tanpa lampu penerangan apa pun. Hanya ada sebuah lampu sorot yang mengarah ke si gadis yang sedang disiksa oleh si pria yang menggunakan pisau di tangannya.

Mereka berdua berada di tengah ruangan gelap dan menjadi pusat perhatian para penonton. Penonton yang tersembunyi dalam kegelapan dan berada di sekeliling ‘panggung’ sederhana bermodalkan lampu saja.

Napas-napas memburu dan suara erangan sesekali terdengar dari sudut-sudut gelap ruangan ini.

Bunyi-bunyi aneh juga terdengar dari berbagai sudut ruangan yang terselimuti kegelapan. Tapi semua itu hanya menunjukkan satu hal, ada sekumpulan orang gila yang justru terangsang saat melihat orang lain disiksa dan mereka semua berkumpul di tempat biadab ini.

Ruangan ini adalah salah satu ruangan yang ada di dalam komplek Taman Eden. Saat Munding menggunakan persepsi intent-nya dan mencoba untuk mendeteksi semua titik kehidupan di Taman Eden ini, dia menemukan adegan yang membuatnya jijik itu.

Jika ada yang mengatakan bahwa manusia itu bisa lebih rendah daripada binatang, maka Munding akan setuju dengan perkataan itu. Karena saat ini, dia menyaksikan sendiri kebiadaban orang-orang yang mengaku penganut Utopia itu di dalam ruangan-ruangan terpisah yang ada di Taman Eden ini.

“Fokus!! Ingat apa tujuanmu kesini! Clown!”

Suara Shakur mengagetkan Munding yang tiba-tiba saja dikuasai amarah tak tertahankan untuk membantai para mahluk yang tak layak lagi disebut manusia itu.

“Aku akan menghancurkan tempat ini,” kata Munding pelan dan tegas.

“Iya. Aku akan membantumu. Tapi ingat tujuanmu ke sini. Kamu ingin mencari Clown kan? Serahkan soal hancur menghancurkan kepada Jian,” kata Shakur.

Tanpa menunggu jawaban Munding, Shakur langsung menyelinap di antara tanaman-tanaman hias yang ada di halaman Taman Eden dan bergerak menuju ke arah kiri, ke Laboratorium tempat Clown melakukan penelitiannya.

Munding tanpa berpikir mengikuti Shakur dan mencoba menahan amarahnya. Munding berusaha membuang bayangan-bayangan yang tadi sempat dilihatnya dan hampir membuatnya muntah.

Booommmmmmmmm.

Tiba-tiba terdengar suara letusan keras dari arah pantai. Di Taman Eden, Istana dan Taman Bidadari, sama sekali tak terlihat pergerakan atau pun tanda-tanda telah terjadi sesuatu.

Munding dan Shakur berhenti bergerak dan saling berpandangan. Mereka tahu kalau suara letusan itu tadi berasal dari Jian dan Ali yang entah sedang bertarung dengan siapa.

Shakur memberikan isyarat kepada Munding agar kembali bergerak menuju ke arah Laboratorium. Ini memang yang dia inginkan. Shakur sengaja memberikan informasi yang terbatas kepada Jian karena dia ingin Jian menjadi decoy atau pengalih perhatian untuk pergerakannya dan Munding.

Tapi seandainya ditukar, Shakur harus berpasangan dengan Jian, Shakur akan tetap melakukan hal yang sama, menahan informasi yang dia punya dan menjadikan Munding sebagai pengalih perhatiannya.

Shakur punya tujuan tersendiri dengan mengikuti misi untuk menyusup ke Utopia ini. Tujuan yang sudah dia rencanakan sejak dulu bahkan saat dia masih bergabung dengan Utopia sebagai Apostle.

Tujuan yang ingin dia capai setelah mengetahui rahasia sesungguhnya dari dominasi Utopia saat melebarkan sayapnya secara luar biasa.

Dan Shakur merasa beruntung sekali saat dia tahu bahwa Munding memiliki target yang sama dengan dirinya, meskipun tujuan mereka berbeda. Karena itu, tanpa ragu Shakur membantu Mundng sebisanya untuk mencapai ke Laboratorium dan Shakur akan melakukan rencananya di sana.

=====

Author note:

Satu chapter lagi, nanti tengah malam. Wkwkwkwk.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang