Chapter 22 - Trailing the Clue part 4

3.8K 244 147
                                    

“Dalam mimpimu!” jawab Kasman sambil menarik sepucuk pistol yang terselip di pinggangnya.

Dorrrrrr.

Suara letusan senjata api terdengar dari hutan kecil yang berada di belakang resor tempat Dienta mengadakan acara syukuran pernikahannya. Sekalipun hingar bingar music EDM yang menghentak dan ditemani oleh liukan penari dengan kostum kekurangan bahan memenuhi area kolam renang di sebelah selatan pulau, suara tembakan itu dapat terdengar dengan jelas.

Semua orang reflek menolehkan kepalanya ke arah suara tembakan itu berasal. Para gadis penari dengan panik menghentikan liukan tubuhnya dan saling merapat satu sama lain. Sang DJ dengan muka pucat mematikan turn table-nya.

Mereka semua serempak menolehkan kepala ke arah utara.

Dorrrrrrr. Doorrrrrr. Dorrrrrr.

Tiga kali suara letusan pistol secara beruntun kembali terdengar memekakkan telinga di kejauhan. Ditambah lagi dengan musik yang tak lagi berputar di tempat ini, kali ini semua tamu dapat mendengar dengan jelas ketiga letusan senjata api itu.

“Aaahhhhhhhhhh.”

Beberapa tamu undangan dan pelayan wanita mulai menjerit panik dan ketakutan, mereka mulai mencari sosok terdekat untuk dipeluk dan memberi mereka sedikit ketenangan.

Ada seorang pelayan dengan wajah yang pas-pasan, berkulit hitam dan nampan di tangan, tapi karena posisinya yang memang berada di tengah-tengah para tamu undangan, dia memperoleh rejeki nomplok karena insiden barusan.

Dua orang gadis cantik berkulit putih dan mengenakan gaun yang lumayan seksi tiba-tiba saja memeluknya erat sambil terisak-isak ketakutan. Sang pelayan yang tak menyangka hal itu sama sekali tiba-tiba merasakan beberapa buah benda hangat dan kenyal menempel erat ke tubuhnya dari dua sisi.

“Gustiii, Alhamdulillah dapat rejeki nomplok…” syukur pun terucap dari mulut si pelayan mujur itu sambil berlinang air mata bahagia.

Kalau Munding berada disini dan mendengarkan suara dari si pelayan mujur itu, dia pasti langsung mengenalinya sebagai suara si Thorcang yang dulu sangat dibencinya saat penyerbuan ke kafe remang-remang milik Aditya di desa Sukorejo.

Munding tak akan pernah tahu kalau si Thorcang, musuh abadinya, sedang menyamar menjadi pelayan di acara ini.

=====

Kasman terengah-tengah dengan seluruh tubuh yang bergetar sambil menatap tak percaya ke arah Munding yang berdiri di depannya. Pistol yang tadi digenggamnya sudah jatuh ke tanah di sebelah kaki kanannya.

Pistol mungkin memang tak berguna jika digunakan untuk melawan serigala petarung oleh orang awam, tapi itu berubah saat senjata yang sama berada di tangan seorang serigala petarung juga. Dengan kemampuan fisik dan kecepatan gerak reflek seorang serigala petarung, daya serangnya mungkin masih tetap sama, tapi tingkat akurasinya akan meningkat drastis.

Karena itu, untuk sesaat tadi, Kasman sedikit percaya diri saat menggenggam pistol ditangannya, dia tahu kalau dia tak akan bisa mengalahkan sang Demon sekalipun dengan benda itu ditangannya, tapi setidaknya dia bisa melukai musuhnya itu dan mempunyai peluang untuk melarikan diri.

Tapi setelah mengeluarkan tembakan jarak dekat ke arah Munding untuk yang pertama kali, Kasman tahu kalau harapan yang dimilikinya tadi adalah impian kosong semata.

Kasman kini sadar kalau legenda sang Demon bukan isapan jempol belaka. Saat Kasman menembakkan pistolnya ke arah Munding, dia mencari sasaran yang paling lebar sehingga sekalipun Munding berusaha mengelak, setidaknya peluru itu akan mengenai bagian tepi tubuhnya.

Sasaran Kasman adalah titik yang berada tepat di tengah dada Munding.

Tapi, tak sesuai harapan Kasman, Munding tak mengelak ke kiri atau kekanan sesuai prediksinya. Munding hanya ‘berkedip’ di tempatnya berdiri. Dan Kasman terpana saat melihatnya. Tubuh Munding berkedip, seperti sebuah acara televisi yang sedang mengalami gangguan siaran, Munding menghilang sekejap mata lalu muncul lagi di tempat yang sama, dalam posisi yang sama sekali tak berubah.

Dan peluru itu menembus tubuh Munding, seolah-olah Munding hanyalah sebuah hologram semu yang tak memiliki jasad fisik. Atau penampakan kuntilanak dan pocong di channel youtube yang penuh editan kamera.

Dalam kepanikan, Kasman kembali menembakkan pistolnya sebanyak tiga kali, dan saat dia kembali melihat hal yang sama terjadi sebanyak tiga kali, semangat Kasman langsung runtuh dan dia menjatuhkan pistol yang digenggamnya ke tanah.

“Katakan semuanya!” kata Munding lagi, dengan kalimat dan intonasi yang sama seperti tadi.

Kali ini, Kasman tak lagi berteriak seperti tadi. Dia mengangkat kepalanya dan menatap tajam kearah Munding, “Huat bukanlah kasus penting. Kenapa Biro mengirimmu?” tanya Kasman balik.

“Itu semua hanya kebetulan,” jawab Munding datar.

“Tahukah kamu kalau kami sudah mempersiapkan ini selama bertahun-tahun?” gumam Kasman di sela-sela tarikan napasnya.

Munding sedikit mengrenyitkan dahinya, “hanya uang 10M, buat apa dia mempersiapkan ini semua selama bertahun-tahun?” rasa janggal dan aneh yang dirasakan Munding sejak tadi semakin menguat.

Saat itulah sesuatu yang tidak diperkirakan oleh Munding terjadi, Kasman mengeluarkan sebuah pil kecil dari kalung yang dikenakannya dan tanpa ragu-ragu dia menelan pil itu ke dalam mulutnya.

Kasman melihat ke arah Munding sambil tersenyum kecil dan bergumam pelan, “Jayalah Utopia!”

Sedetik kemudian, tubuh Kasman terkulai lemas di tempatnya dan dia meregang nyawa.

Semuanya terjadi dengan cepat bahkan melebihi kecepatan otak Munding untuk memproses apa yang sedang terjadi.

Di saat Munding sadar apa yang sedang dilakukan oleh Kasman, tubuh sang Jenderal sudah terbaring tanpa nyawa di tempatnya tadi berdiri.

"Jayalah Utopia?" hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Munding dengan suara bergumam.

Kali ini, rasa penasaran Munding semakin membuncah dalam dadanya. Semua peristiwa yang dialaminya hari ini bagaikan sebuah fenomena gunung es yang tidak dia ketahui kemana ujungnya. Dia hanya bersinggungan dengan ujung kecil yang timbul di atas permukaan air dan sama sekali tak tahu seberapa besar rahasia lain yang tersembunyi di balik semuanya.

Munding menarik napas dalam dan sama sekali tak berniat menyentuh tubuh Kasman. Sang Jenderal mati di hadapannya, dia tak sebodoh itu untuk membiarkan sidik jarinya ada di tubuh tak bernyawa itu.

Sekalipun dia tak takut dengan militer maupun Dirman dan Nasution yang berdiri di belakang mereka, tapi dia tak ingin hubungan baiknya dengan militer yang sudah terjaga tercemari dengan insiden tak terduga ini.

Munding lalu mengeluarkan handphonenya dan menekan sebuah nomor kontak yang ada disana.

"Arya, aku ada masalah..." kata Munding pelan.

Lalu setelah itu, Munding menceritakan semua peristiwa yang dia alami mulai dari tadi pagi di Pulau Pemping hingga kejadian barusan yang menimpanya.

"Utopia?" tanya Arya dari seberang sana setelah Munding menceritakan semuanya.

"Ya. Kamu punya informasi soal itu?" tanya Munding.

Terdengar suara helaan napas dari seberang telpon sebelum akhirnya suara gumaman Arya terdengar.

"Tunggu disana. Aku akan kesana langsung. Ada sesuatu yang harus kubicarakan. Mungkin ini saatnya kamu tahu soal Utopia," kata Arya dengan nada penuh kekuatiran.

=====

Author note:

Chapter terakhir malam ini. Have a nice weekend and see u on Monday.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang