Chapter 03 - Cukup

3.7K 225 30
                                    

“Mas?” tanya seorang wanita berjilbab yang sedang menggendong anak kecil berusia dua tahun di atas sebuah kursi roda dengan tatapan meminta penjelasan dan penuh harap.

“Sudahlah Dek. Mas kan sudah jawab berkali-kali,” jawab laki-laki yang duduk di sebelahnya tanpa alas apa pun dan langsung menempelkan pantatnya ke tanah berumput yang berada di tepian sawah itu.

“Huft,” sang wanita menghempaskan napas panjang sambil menggoyang-goyang bayi di tangannya, sesekali dia akan mengecup si kecil yang sedang tertidur tenang dalam gendongan ibunya itu.

Munding hanya tersenyum melihat pemandangan di sebelahnya.

Dia tak butuh apa pun lagi. Asalkan ada Nurul dan Alit di sampingnya seperti sekarang, yang selalu menemaninya bekerja di sawah dan memberikan senyuman manisnya saat dia pulang ke rumah. Itu sudah cukup bagi Munding. Lebih dari cukup.

“Le, Bapak mau nyangkul lagi ya? Kamu temenin Ibumu dulu,” bisik Munding ke arah balita yang masih tertidur tenang dalam gendongan Ibunya itu, tangan Munding terulur dan ingin menyentuh pipi Alit tapi tangannya langsung ditepis oleh Nurul ketika berjarak beberapa cm dari pipi putih si Alit.

“Tangan Mas kotor tu, apaan sih mau megang-megang Alit?” protes Nurul sambil melotot ke arah suaminya.
Munding, serigala petarung terkuat di Indonesia, bahkan mungkin di Asia Tenggara, baru saja kena omel dan tepis seorang wanita yang duduk di kursi roda dan lemah tak berdaya.

Munding hanya tersenyum kecut dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu beralih mencium pipi Nurul, “Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua,” kata Munding dan dia pun kembali berjalan ke sawah, meninggalkan Nurul dan Alit yang menungguinya di dekat gubuk yang ada di pinggiran sawah mereka.

Munding lalu mulai meneruskan pekerjaannya memperbaiki pematang sawah, atau kalau orang Jawa bilang ‘galengan’.

Pekerjaan ini sangat sederhana tapi vital.

Sawah pada umumnya akan dibagi-bagi menjadi beberapa petak yang berukuran kecil. Di antara petak-petak sawah itu nantinya akan ada penyekat yang berupa gundukan tanah. Gundukan tanah inilah yang disebut pematang sawah atau galengan. Selain berfungsi sebagai penyekat antar petak sawah, pematang sawah ini juga nantinya akan difungsikan sebagai akses jalan bagi Munding saat dia memeriksa sawahnya ataupun menaburkan pupuk saat sawah sudah mulai ditanam.

Proses memperbaiki galengan sangat sederhana. Pertama, rumput yang ada di galengan harus disiangi dulu. Setelah rumput itu disiangi, Munding akan menggunakan cangkul dan mengambil tanah yang ada di sebelah kanan dan kiri galengan lalu menimpakannya ke pematang sawah yang ada di dekatnya.

Jadi, sudah menjadi hal yang lazim kalau di sebelah kiri kanan galengan, akan ada semacam alur yang agak dalam dibandingkan bagian tengah sawah yang lebih jauh dari galengan. Karena tanah yang ada di bagian tepi petak sawah itu diambil untuk membuat gundukan yang dijadikan pematang sawah.

Setelah pematang sawah jadi dan bentuknya dirapikan dengan menggunakan cangkul dan juga injakan kaki, Munding akan bergerak maju sedikit demi sedikit dan terus memperbaiki pematang sawah itu hingga ke ujung sana.

Dan yang paling menyakitkan bagi seorang petani seperti Munding adalah ketika dia baru saja memperbaiki pematang sawah itu, lalu tiba-tiba ada seseorang atau sesuatu yang tanpa dosa tiba-tiba menginjak pematang sawah yang masih lunak dan baru saja dirapikan. Alhasil, bekas injakan kaki-kaki laknat itu akan merusak pematang sawah yang baru saja dia buat dan sia-sialah pekerjaannya untuk hari ini.

Tapi, Munding selalu menghadapi semua itu dengan tawa kecil dan senyuman. Dia memang kesal, tapi untuk apa? Toh semua sudah terjadi, yang dia lakukan hanyalah mengambil cangkulnya dan membuat ulang pematang sawah yang rusak tadi.

Dan seperti itulah Munding, Nurul, dan Alit menjalani kehidupannya selama dua tahun belakangan ini.
Mereka menjadi keluarga petani bersahaja di pagi dan siang hari, mengajari anak-anak mengaji di sore dan malam hari, mengajar silat dua kali dalam seminggu untuk para remaja di sekitar mereka dan semuanya membuat Munding dan Nurul bahagia.

Sederhana tapi lebih dari cukup bagi mereka berdua, bertiga kalau Alit dihitung juga.

Satu-satunya penyesalan yang ada dalam diri Munding adalah dia belum berhasil juga menemukan obat bagi kelumpuhan kaki Nurul. Sebenarnya Munding tak pernah mempermasalahkan soal itu. Satu-satunya alasan dia berusaha mati-matian mencari obat bagi istrinya bukan karena dia merasa jijik atau tak suka dengan kekurangan istrinya itu, tapi justru karena Nurul sendiri yang selama ini selalu merasa kalau dirinya tak bisa menjadi istri yang sempurna bagi suaminya.

Sama seperti pagi tadi, untuk kesekian kalinya, Nurul membicarakan lagi masalah Amel dan Munding. Nurul meminta Munding menikahi Amel karena selain Amel memang sudah terbukti memiliki perasaan yang sungguh-sungguh untuk Munding dan bahkan Alit, Nurul merasa kalau dirinya tak bisa melayani Munding dengan sempurna.

Percakapan yang selalu diakhiri tanpa solusi karena Munding selalu menolak saran Nurul dan Nurul tetap keukuh untuk memaksa suaminya menikahi Amel.

Asma dan suaminya juga sering datang ke mushola yang ada di sebelah rumah Munding untuk membantu mereka mengajar mengaji. Apalagi Nurul sekarang memiliki bayi dan keterbatasan dengan fisiknya, praktis, tanggung jawab mengajari anak-anak mengaji jatuh ke Asma dan suaminya yang bernama Farhan.

Munding sendiri, dia selalu beralasan tak punya cukup kesabaran untuk meladeni kenakalan anak-anak kecil itu saat mengajar mengaji dan menyerah untuk menjadi seorang guru bagi mereka. Dia lebih memilih untuk mengajari remaja berlatih pencak silat dengan sebuah rotan ditangannya.

Jauh lebih mudah dan efektif mengajar silat kepada anak remaja, alasan Munding waktu itu, tentu saja disambut dengan tetes air mata dari murid-muridnya yang selalu merasakan sentuhan mesra dari tongkat rotan Munding di tubuh mereka.

Warga Sukorejo di sekitar Munding dan Nurul sedikit banyak tahu kalau keluarga Munding bukanlah keluarga biasa.

Sekalipun mereka mungkin berpendidikan rendah, tapi mereka tentu saja bisa menangkap ada sesuatu yang lain jika terkadang pejabat tingkat Kecamatan Sukolilo seperti Danramil dan Kapolsek pun terkadang harus datang kesini saat mereka membutuhkan bantuan Munding.

Sedangkan mereka sendiri harus datang ke kantor Kades saat menghadap, sekalipun sang Kades yang butuh bantuan mereka.

Apalagi terkadang ada mobil-mobil mewah yang datang dan diparkir di halaman rumah sederhana milik Munding dan Nurul yang terkadang terlihat kontras sekali dengan keberadaan mobil berharga milyaran itu.

Karena itu, mereka tahu kalau keluarga Munding, dibalik status petani, guru ngaji dan guru silat yang dimiliki oleh mereka, pasti mempunyai status lain yang bisa membuat orang-orang kaya dan berpengaruh itu datang dan mengunjungi Munding sekeluarga dengan hormat dan penuh khidmat.

Mungkinkah Munding seorang paranormal atau dukun?

=====

Author note:

Saya dah siapin satu bonus chapter untuk dedek bayinya Kak Novhie101193 yang harusnya melihat dunia hari ini.

Jadi, ada yang tahu kabar terbarunya?

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang