Chapter 136 - Monochrome

2.5K 176 20
                                    

“Tian Long bisa merasakan intent Munding masih ada di dunia nyata. Itu artinya dia masih hidup.”

“Lalu kenapa tadi kau bilang kalau kondisinya tak terlalu baik?” sungut Dirman.

“Tunggu dulu. Sebentar lagi aku akan menuju ke sana,” jawab Cui.

“Secara normal, Tian Long bisa menghubungi siapa pun yang pernah dia tandai. Jadi, rencana awal kita sederhana. Tian Long akan mencari Munding dengan melacak intentnya, lalu kita akan menentukan posisi tepatnya dan mencoba berkomunikasi dengan dia. Dengan begitu, kita bisa menyusun rencana lanjutan untuk menyelamatkannya, jika perlu,” jelas Cui.

“Tapi?” potong Dirman.

Cui tersenyum kecut, “tapi, Tian Long sama sekali tak bisa menghubunginya ataupun menentukan lokasi tepat dimana Munding berada.”

“Itu artinya?” kejar Dirman.

“Itu artinya, Munding berada dalam kondisi kritis sehingga dia tak dapat mengendalikan intent miliknya atau dia berada dalam kondisi koma atau tak sadarkan diri,” lanjut Cui.

Huft.

Dirman dan Arya menghembuskan napas panjang hampir bersamaan.

“Setidaknya, Munding dapat dipastikan dalam kondisi hidup kan?” tanya Arya.

“Iya, itu pasti,” jawab Cui sambil menganggukkan kepalanya, “tapi entah untuk berapa lama lagi,” lanjutnya.

Dirman dan Arya melotot ke arah Cui bersamaan.

=====

“Iya. Kami mengerti,” jawab Pak Yai sambil menganggukkan kepalanya.

“Waalaikumsalam,” salam Pak Yai sesaat sebelum menutup panggilan teleponnya.

Pak Yai menoleh ke arah Nurul yang berada tak jauh darinya dan tersenyum lebar, “Arya dan Dirman membawa berita gembira. Munding dipastikan masih hidup,” kata Pak Yai.

Raut muka Nurul dan Amel yang sedari tadi terlihat pucat dan penuh harap-harap cemas, seketika berubah sumringah setelah mendengar kata-kata Pak Yai barusan.

“Alhamdulillah,” jawab Nurul sambil tersenyum lega.

“Tapi, petinggi Kongzi yang dimintai bantuan oleh mereka berdua, tidak dapat menemukan lokasi tepat dari Munding. Mereka hanya memiliki dugaan kuat kalau Munding mungkin masih berada di…”

“Mas!!” potong Aisah dari samping Pak Yai.

Pak Yai tertegun lalu tersadar. Amel dan Nurul tak seharusnya tahu terlalu detil. Mereka cukup tahu kalau suaminya baik-baik saja.

“Sudah-sudah, sana. Bapak mau ngobrol sama Om dan Tantemu,” kata Pak Yai dengan senyuman kecut ke arah Nurul dan Amel. Nurul hanya tersenyum kecil dan dia pergi dengan didorong oleh Amel di atas kursi rodanya.

Pak Yai, Leman, dan Aisah. Hanya tinggal trio kwek-kwek ini yang sekarang di halaman rumah yang asri dan sejuk itu.

“Gimana Mas?” tanya Aisah tak sabaran.

“Kata si Arya, Munding kemungkinan besar masih berada di Pulau Utopia dan menjadi tawanan mereka,” jawab Pak Yai.

“Huft…” dengus Aisah kesal.

“Kenapa juga menantumu itu ikut-ikutan menyerang Utopia. Sekalipun dia bersama si Botak dari Kongzi yang juga petarung legenda, tapi resiko tetap saja ada. Seperti sekarang ini, Munding tertangkap sedangkan si Botak yang mengajaknya masih bisa pulang dengan selamat,” gerutu Aisah.

“Iya, Bang. Aku kenal Munding. Dia bukan orang yang bertipe sok pahlawan dan memiliki cita-cita mulia untuk menyelamatkan dunia serta membasmi semua kejahatan di muka bumi. Dia itu berpikiran sederhana dan bahkan egois. Apa tujuan dia ikut ke Pulau Utopia?” tanya Leman.

Pak Yai menarik napas dalam. Dia menoleh ke arah rumah yang ada di samping kirinya lalu berbisik pelan, “Nurul. Semua ini demi Nurul.”

Aisah dan Leman sedikit terkejut lalu saling berpandangan.

“Menurut hasil analisa biro, alasan utama Munding ikut ke Pulau Utopia adalah Nurul. Kalian masih ingat kan saat dulu ada penyerangan di rumah sakit keluarga Hong? Saat itu, ada orang yang sengaja memanfaatkan situasi dan berhasil membayar perawat rumah sakit untuk membuat Nurul lumpuh?” tanya Pak Yai.

Aisah dan Leman menganggukkan kepalanya.

“Otak dari tindakan keji itu adalah Clown, dan dia sekarang menjadi Apostle Utopia. Itulah kenapa Munding mau ikut serta menyerang Utopia. Dia ingin bertemu Clown dan tentu saja mendapatkan obat untuk kelumpuhan Nurul. Sekarang semuanya menjadi masuk akal kan?” tanya Pak Yai lagi dan dia kembali merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi di belakangnya.

Aisah dan Leman hanya bisa menarik napas dalam. Mereka kini sadar, bahkan jika mungkin tidak ada Jian atau siapa pun yang mengajak Munding untuk menyerang Utopia, suatu saat nanti Munding pasti akan menyerang ke sana. Karena ada satu nama yang akan selalu menjadi titik terlemah Munding dan alasan yang tidak bisa tergantikan, Nurul.

=====

Munding benci tempat ini.

Tempat luas tak bertepi yang hanya terdiri dari hamparan tanah rata di bawah kakinya dan langit di atas kepalanya.

Ini bukan domain Munding. Munding tahu itu. Domain miliknya adalah kegelapan. Meskipun tak ada apa-apa disana, Munding merasa nyaman. Senyaman ketika dia masih kecil dan menggunakan selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya agar gelap pekat memeluknya. Munding kecil akan mudah terlelap dengan cara seperti itu.

Munding benci tempat ini.

Karena dia sudah berjalan tanpa henti entah berapa lamanya, tapi dia tak kunjung melihat ujung dari dunia yang aneh ini. Hanya hamparan tanah yang rata di bawah kakinya dan langis di atas kepalanya.

Munding benci tempat ini.

Karena hanya ada dua warna saja yang ada di tempat ini, hitam dan putih, lalu gradasi warna diantara keduanya. Tak ada tumbuhan, tak ada hewan, tak ada apa pun disini. Hanya Munding, tanah yang rata di bawah kakinya dan langit di atas kepalanya.

Monochrome.

Itu nama yang Munding berikan pada dunia hitam, putih, dan abu-abu ini. Munding tak tahu apakah dunia ini hanyalah ilusi, atau manifestasi konsep seperti yang dulu pernah dia alami, atau bahkan sesuatu yang sama sekali tak pernah dia ketahui.

Satu hal yang Munding tahu, dia benci tempat ini.
Munding memang berubah. Sejak beberapa waktu belakangan ini, setelah dia menerima perubahan perlakuan dari orang-orang di sekitarnya, lambat laun Munding merasa tinggi hati.

Munding merasa, setelah menjadi petarung manifestasi dengan konsep legenda, mungkin hanya ada beberapa orang saja di seluruh dunia yang mampu memberikan ancaman untuknya.

Munding jumawa.

Munding besar kepala.

Sama seperti saat dia dengan ceroboh menerjang ke Pulau Utopia bersama Shakur sekalipun dia sudah merasakan kejanggalan akan semuanya. Dia merasa bahwa dengan kekuatan yang dimilikinya, tak akan pernah ada bahaya yang mengancam keselamatannya terkecuali jika dia bertemu dengan sesama petarung legenda seperti Tommy sebagai musuhnya.

Dan Monochrome, dunia tanpa warna ini, kembali mengajarkan kepada Munding, bahwa dia bukan siapa-siapa. Dia bukan apa-apa. Dia tak lebih dari setetes air di tengah samudera. Dia tak lebih dari sebutir pasir di tengah Gurun Sahara.

Tak lebih.

Itulah alasan kenapa Munding sangat membenci dunia ini, karena Monochrome seolah mengejek dan menertawakan Munding akan kebodohannya sendiri.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang