Chapter 10 - Takdir

4.1K 248 172
                                    

Bonus chapter, karena komen gaje kalian. Wkwkwk

=====

Dian lalu meletakkan cangkul itu kembali ke tanah dengan tubuh gemetaran dan keringat di keningnya. Sorot mata kekecewaan yang tadi sempat muncul di matanya kini hilang tak berbekas. Dia menatap Pakdhe-nya penuh kekaguman.

Angga dan April dengan penuh rasa ingin tahu berdiri dan melakukan hal yang sama dengan Dian.

Angga berhasil mengangkat cangkul itu dari tanah setelah mencoba selama beberapa saat, sedangkan April, dia bahkan tak sanggup mengangkatnya. April hanya mampu menggesernya beberapa centimeter saja dari posisinya semula.

Monster seperti apa Pakdhe? Menggunakan cangkul seperti ini untuk bekerja seolah-olah benda ini seringan cangkul biasa?

Pikiran seperti itu menyeruak dalam kepala ketiga anak didik Munding.

Setelah melihat ketiga orang di depannya puas mencoba mengangkat cangkulnya Munding kembali tersenyum.

"Pelajaran pertama dariku," gumam Munding pelan.

"Jangan pernah menilai sesuatu dari tampilan luarnya saja," lanjut Munding dengan suara pelan.

Ketiga anak didik Munding mendengarkan kata-katanya dengan seksama. Mereka tak ingin melewatkan apapun nasihat yang disampaikan oleh Pakdhe.

"Petarung yang baik bisa menjadi apa saja yang dia inginkan," gumam Munding.

"Kalian tak akan pernah tahu, juga mungkin tak akan pernah menyangka. Hingga suatu ketika mereka menyerang kalian dan membuat kalian sadar akan eksitensi kemampuan tarung mereka."

"Mereka bisa menjadi seorang guru ngaji yang galak dan suka memarahi muridnya," kata Munding dan wajah Pak Yai terbayang di kepalanya.

"Mereka bisa saja seorang preman dengan tattoo di seluruh tubuhnya dan sudah insaf lalu berjualan gorengan di pinggir jalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," lanjutnya dan wajah Om Leman pun terbayang di kepala Munding.

"Atau mungkin seorang perawan tua yang tak pernah bisa melupakan cinta masa lalunya," kata Munding sambil tertawa saat teringat Tante Aisah dan kisahnya.

"Mungkin juga seorang pengusaha kaya yang kemana-mana dengan mobil mewahnya," lanjutnya lagi saat terbayang wajah Paulus Hong.

Raut muka Munding terlihat sedikit aneh saat menambahkan, "atau seorang turis yang selalu kemana-mana dengan sandal jepit dan baju pantainya," dan wajah Hikari muncul di kepalanya.

Munding lalu terdiam dan melihat ke arah tiga muridnya, “intinya, jangan pernah menilai sesuatu dari tampilan luarnya saja. Kalian mengerti?” tanya Munding.

“Mengerti Pakdhe,” jawab ketiga remaja itu sambil menganggukkan kepalanya.

Munding lalu tertawa kecil dan duduk di gubuk bersama mereka.

“Aku sudah membaca sedikit biografi dan background kalian,sedikit banyak, aku tahu apa yang telah kalian lalui. Tapi semua itu kan hanya kertas, mungkin tak akan bisa menggambarkan apa yang sebenarnya telah kalian alami hingga kalian bisa sampai ke titik ini,” kata Munding pelan.

“Bagiku, itu semua tak penting. Yang terpenting sekarang, kalian adalah anak didikku. Aku akan melakukan sebisaku untuk membimbing kalian. Ingat, hanya membimbing, jalan serigala petarung harus ditemukan oleh setiap petarung sendiri,” mata Munding terlihat menerawang ketika mengatakan hal barusan.

Munding mencapai tahapannya sekarang melalui sebuah proses. Proses panjang yang terkadang menyakitkan, menyedihkan tapi juga seru. Pada akhirnya, dia mengambil kesimpulan, bahwa semua yang dilaluinya seakan mengikuti sebuah garis. Garis imajiner yang tak terlihat tapi terasa nyata.

Garis takdir Gusti Allah.

Betapa Munding sadar bahwa ada tangan-tangan tak terlihat yang selama hidupnya seakan-akan telah mengatur semuanya. Perselingkuhan Ibunya dengan si Kades laknat yang dia saksikan tanpa sengaja dan membuatnya bersinggungan dengan naluri serigalanya untuk pertama kali. Kejadian yang sama dan membuat Bapaknya kehilangan nyawa.

Pertemuan pertamanya dengan Pak Yai dan Nurul saat dia masih sangat kecil dulu di lapangan ujung desa Sukorejo. Tragedi penyerangan di Pasar Sukolilo terhadap Pak Yai yang membuatnya marah dan bertarung dengan Saut lalu membuat Munding bersinggungan dengan naluri serigalanya untuk yang kedua kali.

Lalu diikuti rentetan kejadian yang semuanya saling berkaitan dan membawa Munding sampai ke titik yang dia capai sekarang.

Munding pernah mencoba membayangkan, seandainya saja, hari itu dia tidak melihat perselingkuhan ibunya, dia tidak akan lari kesawah untuk memberitahu bapaknya. Bapaknya tidak akan tewas di tangan si Kades dan kehidupan Munding akan tetap berjalan seperti lumrahnya anak seorang petani.

Munding juga pernah mencoba membayangkan, seandainya saja, hari itu Pak Yai tidak menemukan dirinya setelah dia dikeroyok oleh geng si Joko di lapangan ujung desa. Munding tak akan bertemu dengan istri yang dikasihinya saat ini.

Munding juga pernah membayangkan, seandainya saja saat itu, Pak Yai tak lengah dan tidak membiarkan serangan Saut mengenai belakang kepalanya, Munding tak akan pernah bersinggungan lagi dengan naluri predatornya untuk selama-lamanya. Munding juga tak akan pernah menjadi serigala petarung seperti saat ini.

Setiap kejadian dan pengalaman hidup yang dia alami, seolah-olah seperti sudah diatur dan mengikuti garis yang jelas dan tak terelakkan. Karena itu, Munding tak pernah merasa kalau dirinya adalah seseorang yang hebat dan luar biasa. Munding yakin sekali, bahwa semua yang dia punya dan miliki saat ini, memang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Sekuat apapun Munding, semua itu tak akan ada artinya di mataNya.

Dan semua kesadaran itu, Munding dapatkan dari sebuah proses panjang kehidupan, yang meskipun terlihat singkat di mata orang lain karena umur Munding yang belum seberapa, tapi sarat makna dan berwarna.

Pesan inilah yang sekarang ingin sekali Munding sampaikan kepada ketiga anak didiknya.

“Jalan serigala petarung adalah sebuah proses panjang. Seorang mentor sepertiku hanya bisa menunjukkan arah mana yang bisa kalian tuju. Tapi kalian sendiri yang harus berjalan dan melewatinya. Saat kalian salah jalan, aku tetap ada di sana untuk membawa kalian kembali ke jalur yang seharusnya,” pungkas Munding mengakhiri kata-katanya.

Ketiga anak didik Munding terlihat sedang memahami kata-kata Munding dengan penuh perhatian. Mereka duduk bersila di dalam gubuk yang ada di tepi sawah ditemani oleh suara burung dan hembusan angin semilir yang terasa sejuk di kulit.

Munding membiarkan saja mereka bertiga mulai memejamkan mata dan merenungkan kata-katanya barusan. Dia menoleh ke arah rumahnya yang tak seberapa jauh dari sawah ini. Seorang wanita berjilbab dan cantik melambaikan tangan ke arahnya sambil duduk di atas sebuah kursi roda.

Munding tahu kalau Nurul memanggilnya dan waktu makan siang sudah tiba. Munding mengangkat sepuluh jarinya bersamaan dan tersenyum kearah istrinya. Maksudnya jelas, Munding meminta waktu 10 menit lagi dan Nurul memberikan senyumannya sebagai balasan.

Nurul masuk kembali kedalam rumah tak lama kemudian dan Munding duduk setengah berjongkok untuk membersihkan sisa tanah di cangkul dan alat-alatnya yang lain.

Setelah beberapa menit berlalu, ketiga anak didik Munding membuka matanya dan menarik napas panjang.

“Terima kasih Pakdhe untuk petunjuknya,” kata mereka bertiga hampir bersamaan.

“Santai saja, itu tugasku sebagai mentor kalian. Istriku baru saja memanggil untuk makan siang. Bawa tas kalian dan ikuti aku ke rumah. Kukenalkan ke keluargaku,” kata Munding pelan sambil membawa alat-alatnya dan berjalan ke arah rumahnya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang