Chapter 06 - Pelatih part 2

3.8K 218 333
                                    

“Oke. Cukup,” gumam Arya lalu berjalan ke lapangan tempat dimana remaja-remaja itu sedang dijemur dalam posisi berbaris tapi tak terlihat sama sekali kelelahan itu.

Keempat puluh remaja itu rata-rata berusia dibawah 20 tahun. Mereka datang dari berbagai background. Ada yang merupakan siswa Akademi Militer, Akademi Kepolisian, Taruna dalam masa pendidikan, keluarga dari para petinggi militer, dan berbagai latar belakang yang luar biasa.

Saat Biro yang dipimpin oleh Arya mengumumkan kepada kalangan terbatas bahwa mereka akan merekrut anggota baru untuk Biro ini, banyak para petinggi militer dan polisi yang mengirimkan anak atau keluarganya kesini. Akademi-akademi yang memiliki siswa berprestasi juga mengirimkan mereka kesini.

Biro yang dipimpin oleh Arya dan bernama BP2AT itu memang sepintas terlihat bagaikan sebuah badan kecil pemerintah yang tugasnya tak terlalu penting. Tapi bagi semua orang yang telah mengenal dan memasuki dunia serigala petarung, mereka tahu seberapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh biro ini.

Untuk masyarakat sipil, ada polisi yang mengawasi mereka. Untuk personil militer, ada polisi militer yang mengawasi mereka. Sedangkan untuk serigala petarung? Badan yang dipimpin oleh Arya lah yang bertugas untuk mengawasi mereka.

Badan yang namanya sering disingkat menjadi BP2AT tetapi lebih dikenal dengan sebutan ‘Biro’ di kalangan serigala petarung itu selama beberapa tahun belakangan ini memang sedang mengibarkan namanya. Karena itu, saat Arya mengumumkan untuk merekrut anggota, mereka berbondong-bondong mengirimkan junior mereka ke sini.

Saat Arya, Munding dan Afza berjalan keluar dari ruangan menuju ke tengah lapangan, beberapa anak yang tadinya mulai merasa tak sabar langsung memasang sikap siap.

Mereka tahu siapa yang datang dan sedang menuju ke arah mereka semua. Laki-laki yang mengenakan baju tentara berwarna hijau tanpa baret atau topi. Wajahnya putih dan terlihat sedikit tampan, tapi ketampanan itu tertutupi oleh cacat yang ada di wajahnya. Luka gores melintang dari kanan atas ke kiri bawah dan juga daun telinga kanan yang tak lagi ada di tempatnya.

Keempat puluh orang remaja itu langsung tahu dengan siapa mereka berhadapan. Sunarya aka Arya, pemimpin Biro. Seseorang dengan kewenangan tertinggi di lembaga ini. Tapi mereka juga penasaran dengan sosok wanita cantik yang ada di sebelah kiri Arya dan sosok laki-laki kalem yang dari gaya rambutnya, dapat jelas diketahui kalau dia bukan dari militer.

“Selamat datang di Badan Pendeteksi dan Pencegah Aksi Teror…” kata-kata Arya terhenti dan dia menarik napas panjang, betapa dia benci sekali dengan nama resmi badan yang dia pimpin ini.

“Lupakan nama tadi, kalian bisa memanggilnya dengan sebutan ‘Biro’ saja, paham?” tanya Arya.

“Siap, paham!!” jawab mereka semua serentak.

“Namaku Arya, aku ketua dari Biro ini, panggil saja Ketua,” Arya memperkenalkan dirinya dengan santai dan relaks.

“Wanita ini,” lanjut Arya sambil menunjuk ke arah Afza di samping kirinya, “Dia adalah orang kedua di Biro. Dia adalah wakilku, namanya Za. Dia akan menjadi Pelatih Kedua kalian,” kata Arya.

Mereka semua terpana ketika mendengar kata-kata Arya, mereka akan mendapatkan training langsung dari Wakil Ketua Biro? Bukankah ini sesuatu yang sangat luar biasa? Keempat puluh anak itu terlihat bersemangat dan melihat ke arah Afza dengan tatapan berbinar-binar, apalagi para remaja cowok yang tak bisa berkedip ketika melihat Afza.

“Humph!!!” terdengar dengusan nafas panjang dari bibir Afza disertai dengan tekanan intent yang tiba-tiba saja menyeruak keluar ke arah keempat puluh remaja itu.

“Dasar bocah ingusan!! Belajarlah berjalan sebelum mencoba berlari!” gumam Afza pelan tapi bisa terdengar oleh remaja-remaja yang sekarang bermuka pucat pasi itu.

Afza lalu menarik kembali intent yang tadi dia pancarkan. Kini, remaja-remaja itu sadar, dibalik kecantikan si gadis yang menggunakan baju tentara di depan mereka, ternyata Pelatih mereka sekaligus orang kedua di Biro ini merupakan serigala petarung tahap inisiasi yang luar biasa.

Di antara keempat puluh anak ini, memang ada beberapa remaja yang sudah terinisiasi, tapi level mereka jauh di bawah Afza.

Sama seperti Yasin dan Pak Yai, keduanya mungkin berada di level yang sama, yaitu Inisiasi, tapi semua orang tahu kalau Yasin, tak akan sanggup bertarung melawan Pak Yai tanpa kehilangan nyawa.

Arya hanya tertawa-tawa saja ketika melihat wajah sebagian besar remaja cowok yang pucat pasi karena tekanan intent dari Afza tadi. Arya lalu menarik napas dalam sebelum memperkenalkan Munding ke calon-calon petarung milik Biro ini.

“Ini adalah Pelatih Utama kalian. Dia tak mau menggunakan nama aslinya dan meminta kalian memanggilnya ‘Pakdhe’, kalian paham?” tanya Arya.

Tak seperti tadi, hanya beberapa orang saja yang menjawab pertanyaan Arya. Sebagian besar dari mereka justru kebingungan dengan permintaan Pelatih Utama mereka. Anak-anak itu juga ragu, kalau seorang petarung dengan posisi sepenting Wakil Ketua Biro hanya menjadi Pelatih Kedua mereka, lalu seberapa hebatnya Pelatih Utama mereka yang meminta dipanggil ‘Pakdhe’ itu?

“Kenapa kalian tak menjawab? Kalian paham?” bentak Arya yang kemudian mengagetkan mereka semua.

“Siap, Paham!!” jawab mereka serempak tak lama kemudian.

Arya tanpa berkata-kata mundur ke belakang dan memberikan tempatnya kepada Munding. Afza tersenyum kecil sambil melirik ke arah lelaki itu, gadis itu lalu melipat kedua tangannya di depan dada dan memperhatikan Munding dengan seksama.

“Panggil aku Pakdhe,” kata Munding pelan sambil tersenyum kecil lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh remaja yang ada di depannya.

“Bukan karena aku jauh lebih tua dari kalian.”

“Bukan karena aku kakak dari orang tua kalian.”

“Tapi karena aku lebih kuat dari kalian.”

“Jadi, kalian akan tetap memanggilku Pakdhe hingga saatnya tiba, jika kalian sudah tak lagi gemetar ketakutan saat berdiri di depanku,” gumam Munding.

Sesuatu yang aneh terasa terpancar dari tubuh si Pakdhe yang berdiri di depan mereka. Sesuatu itu menyerupai intent tapi juga bukan seperti intent yang mereka kenal dan pernah rasakan.

Tapi satu yang pasti, sensasi rasa itu sangat menakutkan.

Keempat puluh remaja yang berdiri di lapangan itu hanya bisa menatap ke arah si Pakdhe dengan muka pucat pasi. Mereka semua mengalami ketakutan luar biasa terhadap laki-laki yang usianya terlihat tak jauh lebih tua dari mereka itu.

Saat menatap ke sosok yang tersenyum kecil dan seolah-olah tak berbahaya itu, mereka tahu dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, orang ini sangat berbahaya, berbahaya sekali, sampai naluri dan tubuh mereka semua menjerit untuk berlari dari tempat ini sejauh mungkin.

Ketakutan itu bersifat instinctive bukan sesuatu yang diproses oleh kepala dan akal terlebih dahulu. Mereka merasakannya langsung di dalam dada mereka.

“Hahahhahaha,” Munding tertawa dan bersamaan dengan itu, sensasi rasa menakutkan yang dirasakan oleh semua orang di sekitar Munding pun menghilang.

“Sialan!!” maki Arya pelan sambil meluruskan punggungnya, sekalipun lututnya tak sampai bergetar atau wajahnya dibasahai keringat dingin karena ulah Munding, tapi keringat biasa mengucur deras di punggung Arya.

Afza jauh lebih baik dibandingkan Arya, dia tak melawan tekanan yang dirasakannya dari Munding secara langsung tapi justru mengalihkan perhatiannya ke tempat lain sehingga dia sendiri tak mengalami ketakutan yang luar biasa separah Arya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang