Chapter 113 - Pulau Utopia

2.7K 176 87
                                    

Author note:

Maaf telat. Ini bonus chapter untuk Kak LiieeArray yang berulang tahun hari ini.

Semoga dengan bertambahnya usia, makin dewasa, makin langgeng dengan Masnya, dan makin semuanya pokoknya.

Next chapter segera menyusul.

=====

“Kalian tak tahu dimana lokasi Utopia?” tanya Munding sambil berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya.

Dia berpakaian sederhana dengan sebuah kaos berwarna putih polos, celana training hitam, dan sandal jepit saja. Sedangkan di depannya, ada beberapa orang yang berpakaian rapi menggunakan setelan jas lengkap dengan dasinya, menggunakan pakaian khas china atau negara lainnya di Asia, tapi tak ada yang sesantai dan serileks Munding.

Seekor naga berwarna kuning keemasan terlihat berputar-putar di angkasa dan mengelilingi tempat mereka berdiri. Naga ini adalah sosok naga dari mitos China dengan tubuhnya yang panjang, empat cakar, tanpa sayap dan memiliki tanduk rusa. Bukan sosok naga dari barat yang menyemburkan api dan memiliki sayap.

Rombongan burung dan hewan-hewan mistis juga terlihat terbang ke sana kemari dengan bebas di sekitar platform yang mengambang di udara ini. Pemandangan indah dari gunung-gunung tinggi yang melayang di atas awan dan memberikan kesan mistis memberikan latar belakang tempat yang sekarang mereka gunakan untuk berkumpul.

Ini adalah gathering informal yang diatur oleh Kongzi, tentu saja menggunakan sarana teknik Tian Di milik Cui Lan Seng dengan perantara emblem yang sudah dia kirimkan kepada para pemegang yang sudah disetujui oleh Kongzi.

Tak ada yang menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Munding barusan.

Jian hanya berdehem sekali sebelum akhirnya membuka mulutnya, “Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Mungkin kalian takut ada mata-mata di antara kita. Karena itu kalian sungkan untuk berbagi informasi. Tapi aku, Jian, memberikan garansi, bahwa semua orang yang ada di sini, bukanlah antek-antek Utopia. Tidak satu pun. Kalian mengerti?” tanya Jian.

Semua orang menganggukkan kepalanya.

Tapi tetap saja diam memenuhi ruangan sebelum akhirnya sebuah suara deheman terdengar. Seorang laki-laki tua yang mengenakan pakaian adatnya tersenyum kecil saat menjadi pusat perhatian semua orang yang ada disini.

“Mungkin ini hanya tebakanku saja. Tapi Pulau Utopia mungkin ada di daerah Laut China Selatan,” kata si laki-laki tua tersebut.

Semua orang terdiam. Kalau hanya tebakan saja, tak layak bagi mereka untuk mempercayai kata-kata si laki-laki itu. Tapi dia berdiri di sini, itu artinya dia adalah seorang petarung manifestasi dan juga mungkin pemimpin dari kawanannya. Apakah mungkin orang sekaliber itu berbohong?

“Laut China Selatan?” tanya Munding.

“Iya, sejak dulu awalnya tak pernah ada apa-apa di kawasan kami, tapi sejak beberapa tahun lalu banyak nelayan di laut yang melihat pulau terbang. Pulau itu bergerak dan menuju ke suatu kawasan yang kami sebut ‘laluan’ atau tempat angker di tengah laut. Jadi mereka tak pernah berani mendekat ke arah sana,” kata si laki-laki itu.

“Kami biarkan saja legenda itu hidup dan tumbuh di kawasan kami. Toh selama ini tak pernah terjadi sesuatu yang mengancam atau membahayakan. Tapi kami yakin kalau ada kemungkinan tempat itu adalah Pulau Utopia,” lanjut si laki-laki.

“Tuanku Raja Ali Haji, mungkin suatu saat, aku dan Munding akan mampir ke tempat anda,” kata Jian sambil tersenyum.

“Dengan senang hati aku akan menjadi tuan rumah untuk kalian,” jawab Ali.

=====

“Mas, kenapa akhir-akhir ini sering sekali pergi ke luar?” tanya Nurul kepada Munding.

Munding sendiri sedang memijat kaki istrinya perlahan-lahan. Dari dulu, dia sudah memeriksa kaki Nurul dengan teliti. Kaki itu tak seperti lazimnya kaki yang mengalami kelumpuhan. Biasanya, kaki yang mengalami lumpuh, otot-ototnya akan mengecil dan lunglai. Tapi, kaki Nurul tidak. Kakinya masih seperti kaki berukuran normal dan sama sekali tidak mengalami perubahan secara fisik, meskipun Nurul sudah lumpuh bertahun-tahun, sesuai umur Alit tentunya.

“Dek, coba deh digerakkin,” kata Munding sambil terus memijat kaki itu.

“Mas!! Nurul ngomong apa, jawabnya apa,” sungut Nurul kesal.

“Mas masih nggak percaya. Dilihat dari segi apa pun, kaki Dek Nurul tu normal. Tapi kenapa sama sekali nggak bisa digerakin sih?” jawab Munding.

Nurul menundukkan kepalanya.

Munding sedikit kaget. Tak biasanya, Nurul seperti itu. Biasanya dia akan dengan ceria menuruti permintaan Munding dan berusaha untuk menggerakan kakinya.

“Mas tu udah bosen ya ngelihat Nurul yang lumpuh kek gini?” tanya Nurul tiba-tiba.

“Nggak, bukan begitu Dek. Mas sama sekali nggak ada maksud seperti itu,” jawab Munding.

“Terus kenapa Mas meminta Nurul mencoba terus tiap hari? Mas tahu nggak, sekalipun Mas nggak minta, Nurul tu selalu berusaha mencoba terus saat Mas nggak ada. Nurul juga pengen bisa main sama Alit seperti Mbak Amel. Alit itu anak Nurul, Mas. Tapi sekarang liat?” tanpa disangka-sangka Munding, Nurul langsung meledak penuh amarah.

Munding terkejut lalu dengan cepat memeluk istrinya yang sekarang menangis sesenggukan.

“Maafin Mas ya Dek? Mas nggak akan minta lagi Dek Nurul melakukan itu,” bisik Munding.

Nurul seolah-olah tak mendengar kata-kata Munding dan terus menangis, “Dulu Mas cuma milik Nurul, sekarang ada Mbak Amel juga. Ditambah lagi Alit juga semakin hari semakin akrab dengan Mbak Amel. Mas juga ya kan? Mas sudah bosan melihat Nurul yang cacat seperti ini kan?” kata Nurul di sela isak tangisnya.

“Nurul!! Kamu kok ngomong gitu sih!!” kata Munding sedikit tegas, dia kaget Nurul bisa merasa seperti itu.

“Satu per satu kalian akan meninggalkan aku. Mas Mundingku, Alitku, semuanya,” jawab Nurul.

“Sudah!! Cukup!! Aku tidak suka kamu berpikiran seperti itu! Ngerti?” tanya Munding sambil tetap mendekap istrinya.

Nurul masih saja menangis terisak-isak dalam pelukan Munding tanpa kata-kata. Sore hari itu, yang seharusnya menjadi waktu berdua bagi sepasang kekasih ini, berakhir tak seusai seperti harapan mereka.

=====

“Mel, Nurul kenapa sih?” tanya Munding.

“Maksud Mas?” jawab Amel sambil melipat baju yang ada di depannya.

Munding hanya bisa mengeluh dalam hati. Gadis Cantik yang dulu jadi idola di SMA Harapan Bangsa, yang punya sederet asisten rumah tangga dan siap mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuknya, kini sedang melipat baju dengan perut yang membuncit karena berisi buah hati mereka berdua.

Munding pun menceritakan semua yang dia alami dengan Nurul tadi sore. Amel mendengarkan dengan seksama dan menghentikan pekerjaannya.

“Huft,” Amel membuang napas panjang.

“Sebenarnya, selama beberapa hari ini, saat Mas keluar kota, Dek Nurul selalu mimpi buruk. Dia nggak mau cerita sama Amel, Mas. Mungkin Mas saja yang nanya ke Dek Nurul,” jawab Amel.

“Mimpi buruk?” tanya Munding.

“Iya,” jawab Amel sambil menganggukkan kepalanya.

“Nanti coba aku tanya ke dia. Kalau mood-nya sudah mendingan. Sekarang biarkan saja Nurul istirahat dulu,” kata Munding.

“Hu um,” jawab Amel.

Amel lalu berjalan pelan sambil menggunakan tangan kanannya untuk menyangga pinggang belakangnya. Mungkin terasa pegal karena kandungannya yang semakin membesar.

“Sini, Mel,” panggil Munding.

Amel hanya tersenyum dan mendekat ke arah suaminya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang