Chapter 43 - Mata-mata part 2

3.4K 223 87
                                    

Amel tersenyum senang pagi ini. Dia menggandeng lengan suaminya dengan mesra dan sesekali menggelayut manja ke arah laki-laki yang berada di sampingnya itu.

Arya dan Afza cuma bisa meringis kecut melihat kemesraan mereka berdua. Jomblo bisa apa? Ya kan?

Saat kemarin Arya memberitahu via telepon soal hasil interogasi yang dia dapatkan dari Paijo ke Munding dan memutuskan untuk mengajak Munding mengunjungi sang Jenderal, Amel dengan cepat memberitahukan keinginannya untuk ikut serta.

Munding berusaha membujuk istrinya tapi tak berhasil. Dan saat itulah Arya sadar, kini ada seorang lagi yang lebih kuat dari Munding selain Nurul.

Karena Amel memaksa ikut, Munding pun mengajak Nurul untuk ikut serta. Toh, Nurul juga akrab dengan keluarga Amel yang ada di Semarang. Tapi, Nurul menolaknya dengan alasan, itu urusan kerja dan dia juga kangen untuk bertemu ibunya. Akhirnya, Munding mengantar Nurul dan anaknya ke Sumber Rejo sebelum akhirnya bersama-sama dengan Amel menuju ke rumah bapak mertuanya.

Dan disinilah mereka berempat sekarang, oke lebih dari empat sih karena Arya juga membawa beberapa anggotanya, berjalan menuju kedalam rumah yang halamannya luas dan asri itu. Tempat dimana Munding pernah menghabiskan beberapa tahun umurnya saat SMA dulu. Tempat dimana cerita Munding dan Amel dimulai.

“Diiihhhhhh, pasangan mesra baru sempat njenguk ortunya,” tegur suara centil dan serak-serak basah milik seorang wanita terdengar dari depan pintu rumah.

Munding tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sopan, sedangkan Amel hanya memonyongkan bibirnya ke arah Reni, Anggraeni Suseno, mama tiri Amel. Seorang laki-laki paruh baya yang meskipun rambutnya sudah terlihat sedikit beruban tapi terlihat masih memiliki badan yang tegap dan otot tubuh yang prima terlihat tersenyum kecil di sebelah Reni.

Munding dan Amel lalu mendekat dan mencium tangan orang tua mereka.

Tak lama kemudian, lima orang berada di salah satu ruangan yang digunakan oleh Broto sebagai ruang kerjanya. Broto tidak duduk di belakang meja kerjanya tapi duduk di sofa bersama dengan keempat orang lainnya. Minuman hangat dan cemilan ringan tersaji di sebuah meja kecil yang ada di depan mereka.

Broto, Umar, Munding, Afza, dan Arya, kelima orang itu saling bercanda dan sesekali tertawa di dalam ruangan ini. Sama sekali tak terlihat canggung ataupun kikuk. Mereka punya hubungan dekat dan sudah lama tidak berjumpa, tentu saja mereka punya banyak cerita untuk diutarakan.

“Jadi gimana? Mau coba sparing dengan anakku?” tanya Broto ke arah Umar sambil tersenyum kecil.

Umar langsung mendelik ke arah Broto yang duduk di sebelahnya, “aku ini tulang tua. Apalah dayaku dibandingkan pendekar muda seperti mereka-mereka ini. Jangankan Munding, lihatlah Afza, aku masih ingat saat pertama kali aku mengajarinya jalan serigala petarung, tapi sekarang? Dia bahkan mungkin bisa mengalahkanku dengan satu tangan,” gurau Umar sambil menunjuk ke arah Afza.

Afza tak menjawab dan hanya tertawa kecil saja sambil mengunyah biscuit di tangannya.

Tapi, Broto dan Umar tahu,status ketiga anak muda yang sekarang duduk di depan mereka bukanlah sesuatu yang biasa. Mereka sekarang bukanlah anggota tim Merah Putih yang berisi bibit-bibit serigala petarung yang sedang mereka didik, mereka kini memiliki status yang mungkin sudah melebihi seorang Jenderal seperti Broto sekalipun.

“Oke. Aku tahu kalau orang sesibuk Ketua Biro datang ketempatku pasti bukan karena ingin ngobrol tanpa juntrungan seperti ini. Katakan padaku, ada masalah apa?” tanya Broto langsung.

Munding menarik napas dan menyenderkan tubuhnya ke belakang, sama dengan posisi rileks sang bapak mertua. Hanya Umar, Arya dan Afza yang terlihat sedikit tegang.

“Za, laptopnya,” pinta Arya.

Tak lama kemudian, Broto dan Umar sudah menyaksikan sebuah video rekaman sesi interogasi yang dilakukan Arya dan Afza kepada Paijo. Mereka sesekali menarik napas dalam saat menyaksikan proses interviewi itu dan ketika mereka sampai ke ujung video, pupil mata kedua orang itu mengecil. Apalagi saat Paijo menyebut nama Broto di akhir video, tubuh Broto sedikit bergetar saat mendengarnya.

“Jadi? Aku mata-mata Utopia?” tanya Broto setelah videonya selesai.

Arya dan Afza saling berpandangan mata sambil menarik napas dalam. Mereka lalu melihat ke arah Broto dan kemudian…

Tertawa.

Setelah itu, seisi ruangan lalu tertawa, termasuk Munding dan Umar. Mereka menikmati guyonan yang lucu itu selama beberapa menit sampai puas sebelum akhirnya mereka berhenti tertawa. Munding mengambil minuman di depannya karena mulutnya terasa kering.

Candaan yang keterlaluan.

Bagaimana bisa Broto menjadi seorang mata-mata Utopia? Ketika dia melakukan itu, dia akan sangat mudah terekspos dan ketahuan, bahkan jauh-jauh hari sebelum insiden Paijo terjadi. Alasannya sederhana, sebagai salah satu panglima tertinggi, Broto sering bertemu dengan dua orang dedengkot militer, Dirman dan Nasution.

Kedua orang monster tua itu memang saling melengkapi, satu sebagai petarung, lainnya sebagai pemikir. Mungkin Broto atau siapa saja yang menjadi mata-mata Utopia akan bisa mengelabui Nasution, tapi untuk mengelabui Dirman dengan konsep ‘wisdom’ miliknya? Kecuali jika dia seorang petarung manifestasi seperti Munding, peluang utntuk melakukan hal itu adalah nol besar.

Jadi, informasi yang diberikan Paijo adalah sebuah kesalahan, karena tak mungkin Broto Suseno adalah seorang mata-mata untuk Utopia. Itulah alasan dari atasan Paijo yakin untuk menulis surat kepada Broto tanpa ragu.

Kejadian sebenarnya mungkin lebih sederhana dari itu. Seorang panglima seperti Broto, saat menerima sesuatu tidak akan langsung menerima dengan tangannya sendiri. Semua surat-menyurat harus melalui ajudan Broto yang memang ditugaskan untuk itu. Kemungkinan surat dari Paijo terbongkar di sana tanpa pernah mencapai tujuan sebenarnya.

“Jadi, kira-kira siapa yang bertanggung jawab Jenderal?” tanya Arya.

“Apakah berita soal penangkapan Paijo sudah menyebar?” Broto tak menjawab pertanyaan Arya tapi justru bertanya balik.

Arya terlihat berpikir sebentar lalu dia tersadar, “belum Jenderal, penangkapan dan interogasi Paijo kami masukkan dalam kategori classified. Informasi ini juga hanya diketahui oleh kita berlima,” jawab Arya.

“Bagus,” kata Broto, “hmmm. Aku punya dugaan tapi takut dia akan kabur jika berita penangkapan Paijo sudah tersebar. Dia salah satu anak didik Umar sama seperti Afza, tapi bakatnya tak sebagus Afza. Aku akan memintanya untuk datang kesini, semoga saja dia belum menyadari kalau akan masuk kedalam perangkap,” lanjutnya.

Setelah itu, Broto menelepon ajudan-ajudannya dan meminta mereka semua datang ke kediamannya. Kalau hanya satu orang yang dipanggil olehnya, akan muncul kecurigaan dan justru akan membuat tersangka lari. Karena itu Broto menelepon semua ajudannya untuk menghadapnya dalam waktu bersamaan.

Munding beranjak berdiri dan meminta ijin untuk meninggalkan ruangan.

Kelanjutan kisah Paijo dan mata-mata Utopia bukan lagi urusannya. Pikiran Munding justru melayang ke satu nama. Nama yang selalu dia buru selama ini.

Clown.

“Akhirnya aku menemukanmu…” gumam Munding pelan dengan tatapan mata menerawang.

Setelah sekian lama, kini Munding mempunyai petunjuk tentang keberadaan si Badut yang membuat lumpuh istrinya. Meskipun Munding tahu kalau sosok Clown dari Utopia bukanlah orang yang sama dengan Clown yang menyerang keluarganya dulu, tapi setidaknya sececah harapan kini muncul di depannya. Bagaikan sinar matahari yang mulai menerangi gelapnya malam dan memberikan harapan bahwa pagi akan segera datang.

=====

Author note:

Selamat berakhir pekan. See u on monday.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang