Chapter 11 - Tiga Entitas part 1

3.7K 228 327
                                    

Buakkkkkk.

“Uhuuukkkkkkk,” Angga tersungkur ke belakang dan jatuh terjengkang.

Dian merangsek maju dan berniat melayangkan tendangan kakinya ke arah kepala Angga yang sudah jatuh terduduk di tanah. Matanya terlihat menatap tajam penuh kebencian ke arah Angga yang sudah tak lagi sanggup melawan.

Bledaaakkkkkk.

Sebuah suara keras terdengar sesaat kemudian ketika kaki Dian mendarat di sasarannya.

“Aduuuhhhhhhh,” Dian mengerang kesakitan sambil berjinjit dan melompat-lompat memegangi kaki kanannya yang terasa sakit sekali.

Munding sudah berdiri di sebelah Angga yang terjatuh di tanah dengan tangan terlipat di belakang badannya. Dia hanya menarik napas panjang dan senyuman pahit tersungging di bibirnya.

Dian.

Salah satu anak didik Munding yang memang memiliki temperamen paling negatif di antara ketiga anak didik Munding lainnya. Munding sudah mencoba untuk menasehati Dian agar dia mengendalikan emosi dan nalurinya, tapi setiap kali sesi sparing seperti saat ini, emosi negatif Dian selalu kembali muncul dan mengambil alih.

April mendekat dan membantu Angga kembali berdiri sambil melihat dengan tatapan tak suka kearah si Dian yang masih mengaduh kesakitan.

“Bawa Angga kesana,” kata Munding pelan kearah April.

Munding lalu melihat ke arah Dian dan bergumam pelan, “serang aku!” perintah Munding.

Dian terlihat sedikit bimbang dan ragu. Angga ataupun April tak masalah baginya, tapi ini Pakdhe, mentornya sendiri. Jelas saja nyali Dian menciut ketika menerima perintah Munding barusan.

“Apakah kamu hanya seorang pengecut yang beraninya melawan musuh yang lemah?” tanya Munding dengan nada sedikit merendahkan.

Dian tahu kalau Pakdhe hanya mencoba untuk mengejeknya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tak terima dan marah ketika mendengar kata-kata Munding barusan.

“Serang aku!! Dengan semua kekuatanmu! Gunakan intent-mu! Apa saja! Serang aku dengan semua kemampuanmu!” perintah Munding kali ini lebih keras dari yang tadi.

Emosi Dian makin menggelegak ketika mendengar tantangan Munding, tapi masih ada sedikit rasa takut dalam dirinya dan mengingatkan dia kalau sosok di depannya bukanlah lawannya.

“Pengecut! Aku hanya akan menggunakan satu tanganku dan tak akan menggunakan kedua kakiku. Masih tak punya nyali juga?” tantang Munding lagi.

“Argghhhhhh,” Dian meraung keras dan merangsek maju ke arah Munding.

Wusshhhhh.

Sebuah tendangan melayang cepat ke arah kepala Munding, tapi dia hanya diam saja tak bergerak. Ketika tendangan itu hampir mengenai kepala Munding dan hanya berjarak beberapa cm saja, seperti sebuah benda yang muncul tiba-tiba, tangan Munding sudah mengepal di samping kepala dan menangkis tendangan Dian.

Bletakkkkk.

Grusakkkkk.

Dian meloncat mundur dan keringat dingin keluar di punggungnya. Untuk sesaat tadi, dia yakin kalau tendangannya akan masuk. Tapi entah dari mana datangnya tangan Pakdhe sudah menangkis tendangan miliknya tadi.

“Lagi!!” perintah Munding.

“Ssshhhhhhhhhh,” Dian mendesis dengan napas perut dan mengencangkan kembali semua otot tubuhnya.

Boommmmm.

Dunia di sekitar Dian terasa melambat. Daun-daun pepohonan di kebun yang menjadi tempat latihan ini seolah bergerak dalam slow motion. Ekspresi wajah kedua rekannya yang tiba-tiba menjadi aneh karena mereka menyerupai patung tanpa nyawa.

Dedaunan yang jatuh dari pohon dan melayang perlahan-lahan ke tanah dengan kecepatan sangat lambat. Dian tahu kalau dia mau, dia bisa saja mengambil sebuah pisau dan mengiris daun yang terjatuh itu menjadi empat bagian saat si daun melayang turun.

Seekor belalang melompat dari sehelai rumput dan berpindah ke rumput yang lainnya. Sayapnya membentang dan kedua kakinya bergerak unik dari posisi melipat menjadi lurus saat berada di udara.

Dian dapat melihat dan menyaksikan semuanya dalam kondisi luar biasa lambat, atau lebih tepatnya, saat ini, dalam mode tarung, dia bergerak sangat cepat dan dunia di sekelilingnya tak dapat mengikuti kecepatan gerakan tubuhnya.

Lalu Dian memalingkan wajahnya dan melihat ke arah Pakdhe. Saat itulah Dian melihatnya untuk yang pertama kali. Sosok Pakdhe yang sesungguhnya jika dilihat dalam mode tarung dengan bantuan intent serigala petarung yang dia miliki.

Pakdhe berdiri dengan satu tangan dilipat di belakang badan dan tangan kanan berada di samping tubuh. Kedua kakinya berdiri selebar bahu dalam posisi rileks dan dia tersenyum sambil menatap ke arah Dian.

Tapi sosok itu diselimuti kabut tipis berwarna hitam yang mengelilingi Pakdhe. Kabut tipis yang membentuk setengah lingkaran secara sempurna menyerupai sebuah mangkok dan diletakkan dalam posisi telungkup dengan Munding berada tepat di bagian tengahnya.

“Apa itu?” gumam Dian setengah tak percaya dengan yang sedang dilihatnya.

Munding lalu mengangkat tangan kanannya dan memberikan gesture agar Dian kembali menyerangnya.

Dian pun kembali merangsek maju untuk menyerang mentornya.

=====

Dian terkapar karena kelelahan di atas rerumputan. Angga dan April duduk bersila di sebelahnya dan mengatur nafas. Munding duduk di hadapan mereka bertiga.

Sparing adalah salah satu kegiatan rutin yang mereka lakukan selama beberapa minggu terakhir ini sejak Angga, April, dan Dian tinggal bersama Munding di Sukorejo. Munding bukanlah seorang guru yang bijak. Jadi dia menggunakan metode yang hampir mirip dengan apa yang dia dulu terima dari Pak Yai.

April tinggal di rumah bersama Munding dan Nurul sedangkan Angga dan Dian tinggal di mushola sekaligus  mengurusinya. Mereka berdua harus melakukan semua tugas yang dulu juga pernah dikerjakan oleh Munding saat berada di bawah bimbingan Pak Yai.

Karena April seorang wanita, tentu saja dia mempunyai tugas untuk membantu Nurul di rumah Munding. Si gadis cerdas dengan dua gelar sarjana ini berubah menjadi seorang asisten rumah tangga di rumah Munding.

Pada awalnya, mereka bertiga kebingungan dan sedikit enggan melakukan pekerjaan rumah yang menjadi tugas mereka. Terutama April, seumur hidup dia tak pernah melakukan semua pekerjaan itu, sedangkan Angga dan Dian mungkin lebih mudah menerimanya karena toh selama ini masa kecil mereka juga tak seindah April.

Lambat laun, seiring berjalannya waktu, ketiga anak didik Munding mulai merasakan sesuatu berubah dalam diri mereka.

April yang dulunya tak pernah mencuci piring, kini dapat mengerjakannya dengan cepat dan bersih. Angga yang dulu jarang mengepel lantai, kini menjadi ahli dan rutin melakukannya. Dian yang tak pernah mengenal timba air, kini menemukan kalau benda itu belum punah dan masih ada di sumur sebelah mushola.

Tapi semua itu hanyalah perubahan kecil dan tidak signifikan.

Perubahan yang paling nyata adalah mereka kini menjadi lebih tenang dan rileks. Semuanya menjadi sebuah rutinitas dan sesuatu yang monoton tapi sangat teratur. Mereka kini menyadari bahwa dengan melakukan semua pekerjaan dan latihan yang setiap hari mereka kerjakan adalah latihan untuk membiasakan diri akan sebuah keteraturan. Sesuatu yang mungkin sederhana, tapi sangat vital.

Sebelumnya, mereka menjalani hidup dengan sebuah ritme kehidupan yang meledak-ledak, dengan jadwal tak menentu, dengan berbagai hal yang baru dan terkadang acak. Ditambah lagi dengan waktu yang terasa terbatas dan membuat mereka seolah-olah selalu dikejar sang waktu, jauh berbeda dengan apa yang sekarang mereka alami.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang