Chapter 16 - Absolute Strength

3.6K 236 586
                                    

Munding duduk bersila di atas bukit sambil memakan cemilan yang dia keluarkan dari tasnya. Berbeda dengan ketiga anak didiknya yang membawa tas ransel standar militer yang isinya entah apa saja. Munding hanya membawa tas samping kecil yang berisi camilan kesukaannya.

Kacang mete.

Dari tempatnya duduk sekarang, Munding memang bisa melihat semua aktifitas yang terjadi di Pulau kecil ini. April dan Angga yang sedang berusaha menyelamatkan para sandera dan membawa mereka ke dermaga. Dian yang mulai terdesak dan berkali-kali terkena serangan dari target mereka. Beberapa kapal patroli cepat yang diparkir beberapa ratus meter dari Pulau ini dan terlihat seolah diam saja.

Munding juga melihat sebuah kapal kecil yang berwarna putih dan diikatkan ke salah satu kapal patroli yang terparkir rapi di tengah laut itu. Dia dapat melihat semuanya dengan jelas. Dan dia masih saja menikmati kacang metenya seolah-olah sedang menyaksikan sebuah acara tontonan di televisi.

Booommm. Booommmmm.

Dua ledakan terdengar dan Munding merasakan dua buah intent yang terkonsentrasi. Dia tahu kalau Dian dan target sudah menggunakan mode tarung mereka dalam duel yang baru beberapa menit terjadi itu.

Munding meletakkan kacang mete yang ada di tangannya dan memperhatikan dengan seksama pertarungan super cepat yang terjadi dalam mode tarung antara Dian dan target mereka. Mata Munding berubah menjadi hitam tanpa dia sadari karena konsentrasi yang dia lakukan.

Hanya dalam hitungan beberapa detik, Munding menarik napas panjang dan berdiri, dia tahu kalau Dian tak akan bertahan lebih lama lagi. Sekalipun pertarungan antara Dian dan target dilakukan dalam mode tarung, bagi Mundig, semuanya dapat terlihat dengan jelas sekali. Meskipun Munding tahu kalau Dian kalah dalam duelnya, tapi Munding sama sekali tak kecewa.

Semua ini hanya batu asahan untuk menajamkan pengalaman dan kemampuan anak didiknya. Menang atau kalah, berhasil atau tidak, itu nomor kesekian bagi Munding.

=====

Buaakkkkkkkkk.

Suara keras terdengar dan sebuah tubuh terlihat melayang dengan cepat setelahnya. Tubuh itu lalu terpelanting dan terbanting ke tanah sejauh beberapa meter sebelum akhirnya berhenti karena kehilangan momentumnya.

“Arrgghhhhhhh,” suara erangan kesakitan terdengar pelan dari mulut sosok yang masih terkapar di atas tanah yang tidak ditumbuhi rerumputan itu.

Sedetik kemudian, bayangan Huat muncul tak jauh dari tempat Dian terkapar di tanah dan mengerang kesakitan.

“Humph! Bocah ingusan. Kita memang sama-sama petarung inisiasi, tapi pengalamanmu hanya seujung kuku. Belajar dulu lebih giat lalu kembali kesini untuk berduel denganku!” cibir si Huat ke arah Dian.

Huat hanya melirik sekilas ke arah bangunan yang berada tak jauh di dekat mereka berdua. Bangunan yang kini pintunya terbuka lebar dan tak lagi berpenghuni. Semua sandera yang dia simpan di sana untuk mengancam pemerintah telah pergi, termasuk si wanita yang dia minta untuk melayaninya.

“Rupanya, kau bawa beberapa kawan ke sini ya?” gumam Huat sambil melirik ke arah Dermaga, dia menggunakan intent-nya untuk mencoba merasakan keberadaan serigala petarung selain dirinya dan Dian.

“Humph. Dua orang, serigala petarung awakening…” gumam Huat pelan setelah beberapa saat.

“Rencana yang matang. Kau berduel denganku untuk memancingku. Lalu kedua temanmu akan melepaskan sanderaku.”

“Bagus!! Bagus!! Bagus!!” puji Huat bahkan sampai mengucapkan kata ‘bagus’ tiga kali kepada Dian.

“Uhukkkk,” Dian sama sekali tak menjawab dan dengan tubuh bergetar berusaha bangkit dari tempatnya terkapar.

“Tapi tahukah kau? Terkadang, sesuatu tak selalu berjalan sesuai yang kita rencanakan. Kalian bertiga sudah membuat rencana yang matang. Tapi bisa saja hasilnya akan jauh berbeda. Bagaimana jika, endingnya seperti ini, aku membunuhmu, lalu aku ke dermaga dan membantai kedua rekanmu, kemudian aku akan membawa kembali para sanderaku ke tempat aku menyekap mereka tadi. Terlihat menyenangkan bukan?” tanya Huat sambil menyeringai.

“Bedebah!!” teriak Dian ketika dia mendengarkan ancaman Huat.

“Hahahahahahahaha,” Huat tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang di depan Dian.

“Kukasih tahu sesuatu bocah, di depan kekuatan mutlak, kekuatan yang sesungguhnya, semua rencana dan siasat tak ada artinya. Kita bisa menghancurkan semuanya dengan kepalan tangan kita!! Camkan itu!!” kata Huat dengan nada serius.

Dian hanya bisa menatap Huat dengan sorot mata penuh kemarahan sambil mengatupkan rahangnya.

“Apa yang dia bilang benar Dian. Di depan kekuatan yang sesungguhnya, siasat apapun tak ada gunanya.”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara di sebelah mereka berdua. Suara yang tenang dan santai. Sama sekali tak terdengar bergetar atau ketakutan. Suara yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada Dian yang beberapa saat tadi merasa sangat marah dan frustasi.

Suara milik Munding.

Huat yang tiba-tiba mendengar sebuah suara di dekat mereka, terperanjat seketika. Dia adalah serigala petarung tahap inisiasi. Intent yang dia miliki terpancar sejak tadi dan selalu memonitor keadaan di sekelilingnya. Karena itulah dia bisa mengetahui keberadaan April dan Angga yang masih ada di dermaga panjang untuk menyelamatkan para sandera.

Tapi…

Suara barusan dan pemiliknya, Huat sama sekali tak menyadari keberadaannya. Sama sekali tak merasakan apa pun. Seolah-olah sang pemilik suara, berteleportasi ke tempat ini begitu saja.

Ini kali pertama dalam hidupnya Huat mengalami hal seperti ini.

Dan sesuatu yang tidak pernah dia alami sejak dia menjadi seorang serigala petarung kini terjadi pada Huat. Sebuah rasa yang hampir dia lupakan selama bertahun-tahun.

Ketakutan.

Huat merasakan bulu kuduknya merinding berdiri dan keringat dingin mengalir tanpa sadar di punggungnya. Sensasi rasa yang dulu sering dia alami saat masa kecil dan remajanya kini kembali menyeruak keluar tak terbendung.

Dengan panik Huat melompat kesamping dan memasang kuda-kudanya sambil melirik ke arah tempatnya berdiri tadi.

Saat itulah dia melihatnya, sesosok laki-laki yang jauh lebih muda darinya sedang memakan kacang mete dengan tangan kanannya dan tangan kiri terlipat di belakang badannya. Dia melihat dengan tatapan sedikit iba ke arah Dian yang masih terkapar dan berusaha bangkit berdiri.

“Kalau Nurul tahu, aku makan sambil berdiri, pasti kena omel nanti,” gumam Munding pelan sambil tersenyum kecut.

“Bangun. Cidera kek gitu aja mau nangis. Cemen,” tegur Munding ke arah Dian.

Dian hanya bisa meratapi nasib dan berusaha bangkit sekuat tenaga. Sedangkan Munding sendiri melirik ke arah Huat yang menatapnya penuh ketakutan dan masih memasang kuda-kuda siaga.

Munding lalu melirik ke arah Huat yang sekarang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. Bagi Munding, mungkin Huat bukanlah lawan yang berat, tapi dia merasa sejak awal ada sesuatu yang mengganjal dengan kasus ini. Dan Munding ingin mengetahui kebenaran tentang itu.

“Jadi… Kamu yang bikin ulah kali ini? Uang sepuluh milyar… Hmmm,” gumam Munding sambil memutar badannya dan berjalan pelan ke arah Huat.

“Tunggu!! Siapa kamu? Aku tak ada masalah denganmu!” kata Huat dengan suara bergetar dan raut muka panik.

Naluri Huat menjerit-jerit sekuat tenaga dan meminta Huat untuk menyingkir dari hadapan laki-laki muda yang terlihat santai dan sekarang berjalan pelan ke arahnya.

Pergi sejauh mungkin.

Menyingkir secepatnya.

Karena Huat tahu, bagi lelaki yang sekarang ini ada di depannya, sepuluh orang seperti dirinya mungkin tak akan cukup untuk mengisi sela-sela taring milik si laki-laki misterius itu.

=====

Author note:

Maljum, saatnya gaje. Daripada kalian meratapi nasib. Silakan komen ngawur. 300 komen, dapat tambahan bonus chapter. Lumayan kan buat nemeni saya jaga ntar malem.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang