Chapter 117 - Mendekat

2.9K 190 80
                                    

Surga dunia yang diciptakan oleh Utopia.

Empat buah sosok terlihat bergerak dengan cepat di dalam air. Setelah hampir setengah jam berenang dari kapal yang berhenti di tengah laut sana, mereka kini bisa melihat pulau yang dicurigai sebagai Utopia itu.

Ali memberi tanda kepada ketiga rekannya untuk berhenti berenang. Mereka berempat terapung di tengah laut sejauh kurang lebih 50 meter dari garis pantai yang berupa tumbuhan bakau dan tebing batu yang lumayan curam.

“Terlihat seperti pulau tak berpenghuni,” kata Munding ke arah Ali.

“Iya,” imbuh Shakur menyetujui kata-kata Munding.

Ali masih saja diam dan terus memperhatikan Pulau di depannya yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang menyembul di sana sini mengelilingi pulau, menjadi benteng alami bagi kapal-kapal untuk merapat ke Pulau.

“Kita coba kelilingi Pulau ini sekali, kalau memang tak ada tanda-tanda berpenghuni, berarti selama ini dugaanku salah,” jawab Ali setelah berpikir lama.

Shakur menjelaskan maksud kata-kata Ali kepada Jian dan Jian pun juga menyetujui usulan Ali. Mereka berempat lalu berenang mendekat ke arah pulau dan pelan-pelan mengelilingi pulau dengan waspada.

Setelah selama beberapa menit mereka berenang perlahan-lahan dan hanya kepala mereka saja yang menyembul di atas air, mereka akhirnya menemukan sungai kecil yang diapit tumbuhan bakau di kedua tepinya.

Ali berenang mendekat ke arah sungai itu tanpa memberitahu ketiga rekannya dan berhenti tepat di mulut sungai. Ali melihat dengan teliti selama beberapa menit, kemudian dia melambaikan tangan ke arah ketiga rekannya.

Munding dan kawan-kawan berenang mendekati Ali dengan penuh tanda tanya.

“Aku rasa, kita sampai ke pulau yang benar. Ini memang Utopia,” kata Ali.

Munding dan ketiga rekannya melihat ke arah Ali dengan tatapan meminta penjelasan.

“Awalnya aku juga tak menyadarinya, tapi coba kalian tengok sungai ini,” kata Ali sambil menunjuk ke arah sungai yang terbentuk oleh tumbuhan bakau itu.

Munding dan kawan-kawan mengikuti kata-kata Ali dan mencoba untuk memperhatikan celah sempit berukuran 3m diantara dedaunan pohon bakau yang terendam air laut di bagian bawah pohonnya. Setelah mencoba selama beberapa menit, mereka sama sekali tak menemukan sesuatu yang istimewa, ini hanya celah sungai yang mungkin tercipta oleh alam.

“Tak ada yang istimewa,” kata Shakur.

Ali tersenyum lalu dia menunjuk ke arah laut, lalu menggunakan tangannya untuk membuat sebuah garis lurus dari arah laut ke arah sungai dan menunjukknya ke arah pulau.

Munding dan kawan-kawannya mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ali lalu mereka tersadar.

Di depan sungai kecil itu, sama sekali tak ada batu karang yang menonjol di atas permukaan laut. Berbeda dengan di sebelah kiri dan kanannya dimana batu berukuran besar atau kecil menyembul tak beraturan dan menyebar kemana-mana. Seolah-olah ada sebuah garis lurus yang dapat ditarik dari arah laut menuju ke pulau, melalui celah diantara batu karang di tengah laut dan celah di antara pohon bakau di tepi pulau.

Seperti sebuah jalan, jalan yang lurus sempurna dari laut menuju ke pulau.

Dan kalau sampai detik ini, mereka masih belum bisa mengambil kesimpulan kalau ‘jalan’ yang sekarang mereka lihat adalah buatan manusia, mereka mungkin perlu memeriksakan kemampuan analisanya ke psikiater.

“Sekarang, apa rencana kita?” tanya Shakur ke arah ketiga rekannya.

Ini adalah saat terpenting, mereka sudah menemukan Pulau Utopia, markas besar yang menjadi sarang dari organisasi yang memang ingin mereka hancurkan.

“Jangan satukan telur dalam satu keranjang,” kata Jian menggunakan bahasa Inggris yang patah-patah.

“Aku setuju,” jawab Munding setelah mendengarkan maksud dari kata-kata Jian melalui Shakur.

“Sebaiknya kita memang berpencar. Kalau terjadi sesuatu, setidaknya salah satu di antara kita bisa menyelamatkan diri dari tempat ini,” kata Munding.

Mereka semua terdiam. Mereka sadar bahwa mungkin beberapa saat lagi, di tengah lautan yang mungkin bahkan tak tertera dalam peta ini, nyawa mereka akan hilang tanpa bekas.

“Ali yang terlemah, aku akan bersamanya, Munding bersama Shakur. Setidaknya dengan begitu, kita bisa memiliki peluang lebih,” kata Jian.

Mereka berempat setuju dengan pembagian itu, lalu mereka mulai berenang perlahan-lahan ke arah pulau Utopia. Kali ini, mereka berenang perlahan di bawah rimbunnya pohon bakau yang daunnya terkadang menyentuh permukaan air.

Munding dan Shakur di deretan bakau sebelah kanan, sedangkan Jian dan Ali berada di sebelah kiri. Mereka berempat tak berhenti menatap ke arah Pulau untuk berjaga-jaga jika saja ada musuh yang mendekat.

Tak seperti perkiraan mereka, sungai ini tak terlalu jauh menjorok ke arah Pulau dan membentuk teluk. Dan di luar dugaan, ujung akhir sungai yang sempit dan makin lama makin membesar itu, terdapat sebuah pantai yang indah tanpa pohon bakau dengan pasir putihnya.

Tak ada ombak di pantai ini karena lokasinya yang terlindung dan tersembunyi.

Munding memberikan aba-aba dan mereka berempat berhenti berenang lalu bersembunyi di rimbunnya akar bakau yang ada di dekat mereka. Mereka berempat terpisah oleh sungai yang kini melebar menjadi 10 m sebelum akhirnya membentuk teluk yang luas.

Setelah sungai kecil berukuran 10 meter yang sekarang menjadi tempat bersembunyi Munding, tak ada lagi pohon bakau di sebelah dalam teluk ataupun di pantai berpasir itu. Jarak antara Munding dan pantai itu sekitar 200 m, lumayan jauh untuk berusaha berenang tanpa ada seorang pun yang berada di sana menyadari keberadaan mereka berempat.

Ditambah lagi kemungkinan adanya serigala petarung di antara para penghuni pulau ini. Dengan persepsi mereka, penyusup seperti Munding dan rekan-rekannya tak akan bisa lolos tanpa terdeteksi.

Munding mengawasi sekelilinginya. Teluk yang tersembunyi dan memiliki pantai putih ini berbentuk unik dan menyerupai huruf C, tidak, lebih tepatnya justru menyerupai hurug O dengan hanya satu bukaan kecil di bagian bawahnya yang menjadi pintu keluar masuk dari laut, sungai yang tadi dilalui oleh Munding dan kawan-kawannya.

Meskipun tidak bulat sempurna, tapi pantai itu melengkung dari ujung satu ke ujung yang lain dan hampir bertemu kembali membentuk sebuah lingkaran. Tapi lingkaran itu tak jadi bertemu karena terpisah oleh sungai kecil tempat sekarang Munding berada.

Pasir putih diselingi oleh pohon kelapa di sana-sini terlihat di pantai ini. Tapi, satu-satunya yang mencuri perhatian Munding adalah sebuah dermaga panjang yang terbuat dari bahan kayu seadanya, terlihat berdiri tegak di tengah-tengah pantai, lurus dari sungai kecil yang menjadi akses keluar masuk kapal.

“Kenapa hanya menggunakan kayu?” gumam Munding kepada dirinya sendiri.

Tapi pertanyaan itu segera terjawab setelah Munding mengangkat kepalanya dan melihat ke arah rumah-rumah yang didirikan tak jauh dari pantai. Rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu dan dikerjakan secara kasar terlihat berdiri di sana sini.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang