56. Love Has No Reason

345 51 14
                                    

Najefan

"Sal?" panggilnya heran karena Salma masih tetap merebahkan kepala di bahunya. Padahal sejak beberapa menit yang lalu ia telah menepikan motor di depan pintu pagar rumah Salma.

"Kita udah sampai."

Namun Salma hanya merespon dengan gumaman pelan. Bukannya beranjak turun tapi justru makin mengeratkan pelukan di pinggangnya.

"Salma," ujarnya dengan rahang mengeras. "Ini udah malam, kamu harus cepat masuk ke dalam."

Salma kembali bergumam pelan. Seraya menautkan jari-jemari membuat tubuhnya terkunci dengan sempurna hingga tak bisa bergerak sedikitpun.

"Sal," ia berusaha melepaskan tautan jemari Salma yang menempel di pinggangnya. Tapi Salma tak bergeming. Justru semakin mengeratkan pelukan.

"Aku masih belum puas, Na," gumam Salma lirih.

"Karena begitu pelukan ini kulepas, kamu bakalan pergi jauh," sahut Salma dengan kepala masih bersandar di bahunya.

"Lalu kita akan berubah menjadi dua orang yang berbeda."

"Nggak bisa seperti dulu lagi."

Ia harus menghembuskan napas panjang sebelum berkata, "Kita tetap sahabat, Sal."

"Aku nggak mau kita cuma tetap sahabat," sahut Salma cepat.

Mendorongnya untuk menarik napas panjang, kemudian menghembuskan napas secara perlahan, "Kita lebih dari sabahat, Sal. Kita saudara."

"Saudara?" desis Salma dengan nada sinis.

"Saudara seiman," jawabnya mencoba tersenyum.

"Kamu masih sempat bercanda di situasi serius begini!" suara Salma terdengar menggerutu.

Ia hanya bisa menelan saliva karena Salma tetap bersikukuh dengan posisi mereka berdua saat ini.

"Sal," ia kembali berusaha melepaskan tautan jemari Salma dengan perlahan, khawatir akan menyakiti perasaan sahabatnya itu karena tersinggung merasa tertolak.

"Kalau ada orang yang lihat kita begini, nanti bisa salah paham," lanjutnya sungguh-sungguh dengan rasa khawatir yang tak bisa ditutupi.

Rumah Salma berada persis di tepi jalan raya. Dimana siapapun tanpa kecuali bisa lewat di jalan ini. Ia tentu tak ingin mengambil resiko seseorang melihat Salma memeluknya sedemikian rupa. Terlebih jika orang tersebut mengetahui status pernikahannya dengan Karina.

"Kita kan nggak ngapa-ngapain," gumam Salma tetap tak bergeming.

"Aku cuma ingin di saat terakhir ini bisa dekat secara fisik sama kamu."

"Biar aku bisa menyimpan semua kenangan indah tentang kamu tanpa kecuali."

"Tentang kebersamaan kita selama ini."

"Tentang hal-hal yang pernah kita lakukan bersama."

"Tentang rasa yang baru kusa..."

"Maaf, Sal," gumamnya dengan terpaksa karena tak ada cara lain lagi.

"Karina udah nunggu di rumah. Aku nggak mau dia jadi kelamaan nunggu gara-gara aku nggak pulang-pulang."

Serta-merta membuat Salma melepaskan pelukan ke tubuhnya dengan sentakan yang cukup kasar. Memberinya kesempatan untuk menyetandar motor kemudian turun meski Salma masih duduk di boncengan.

"Ayo kuantar ke dalam," ujarnya sambil tersenyum. Bagaimanapun mereka berdua bukanlah orang lain. Telah saling mengenal sejak lama.

Bahkan sejak duduk di bangku TK karena mereka bersekolah di tempat yang sama. Meski memang baru akrab ketika SD. Hingga saat ini ia hampir lulus dari SMA, sementara Salma sudah duduk di semester 2 jurusan Farmasi Kampus Jakun.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang