57. Love Has No Reason (2)

241 49 2
                                    

Katherina

Dini hari ia mendadak terjaga dari tidur karena tenggorokannya terasa kering dan haus. Namun ketika hendak bangun untuk mengambil gelas di atas nakas,

"Aaaaa?"

Ia hampir menjerit saking kagetnya karena telah menyentuh kepala seseorang.

Namun sedetik kemudian hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan begitu mendapati kepala yang kini terkulai di sisi tempat tidurnya adalah milik Jefan.

"Kok bisa?" gumamnya heran sembari memperhatikan Jefan yang sedang terlelap meski dengan posisi setengah terduduk dan terlihat sangat tak nyaman itu.

Membuat ingatannya kembali melayang pada kejadian malam itu. Dimana ia merasa kesal setengah mati karena Jefan tak kunjung pulang ke rumah. Sedangkan ia selalu tak bisa tidur jika belum mendengar suara Jefan.

Ah, ya, sialan memang!

Hey, dengar dulu!

Bukan begitu ceritanya! Sumpah, ini bukan dirinya! Entah perbuatan siapa hingga ia bisa senaif ini. Seperti seseorang yang lain sedang berada dalam dirinya. Dengan begitu berkuasa mengambil alih pikiran dan keseluruhan kinerja tubuhnya. Nyata namun tak kasat mata.

Membingungkan? Memang, ia sendiri juga bingung. Tak habis mengerti penjelasan ilmiah paling masuk akal seperti apa yang bisa menjawab masalah susah tidur yang dideritanya jika belum mendengar suara Jefan.

Ya ampun, yang benar saja. Ia bahkan tak peduli Jefan pulang ke rumah atau tidak. Errr, sebentar, sungguh tak peduli, Karina?

Ah ya, tentu saja ia peduli! Puas? Batinnya merasa kesal dengan suara-suara yang berputar tiada henti di dalam kepalanya. Seolah seluruh fungsi tubuh sedang berkolaborasi menyudutkan dirinya.

Sembari memutar bola mata ia pun beringsut secara perlahan untuk meraih gelas di atas nakas. Benar-benar perlahan karena khawatir Jefan akan terbangun akibat gerakan yang dilakukannya.

Setelah menghabiskan setengah gelas, ia kembali merebahkan diri di atas tempat tidur. Seraya tak lepas memperhatikan Jefan yang terlelap begitu pulas. Pemandangan indah yang berhasil menerbangkan rasa kantuk entah kemana.

Lamat-lamat diperhatikannya Jefan dengan kesungguhan hati. Wajah bersih berhiaskan alis tebal dan hidung runcing sempurna itu terlihat lelah. Sontak membuat hatinya mencelos demi menyadari selama ini sering memperlakukan Jefan dengan buruk. Padahal Jefan hampir selalu bersikap baik dengan menuruti seluruh keinginannya.

Termasuk keinginan absurdnya untuk dibacakan cerita menjelang tidur. Menyebalkan bukan?

Tapi tentu saja, Jefan memang harus bersikap baik padanya. Mutlak absolut tanpa bisa ditawar. Alasan utama pastinya karena ketidaksengajaan bodoh—namun menyenangkan—yang mereka lakukan malam itu, hingga tanpa sadar Jefan telah menitipkan seorang makhluk hidup di dalam perutnya. Sesuatu yang terus bertumbuh dan hampir merenggut kegemilangan masa depan, batinnya seraya mengelus perut yang terasa kian membesar.

Matanya masih memperhatikan Jefan yang terlelap dengan napas teratur, ketika sebuah benda berhasil menarik perhatiannya. Kotak berbentuk persegi panjang warna hitam yang tersimpan tak jauh dari punggung tangan lebar, besar, dengan jemari panjang-panjang milik Jefan. Yaitu ponsel.

Dengan penuh kehati-hatian diraihnya ponsel berwarna hitam tersebut. Sejenis ponsel sejuta umat keluaran beberapa tahun lalu. Sangat out of date pastinya dibanding ponsel bermata tiga generasi terbaru yang dimilikinya.

Sejurus kemudian hatinya kembali mencelos demi melihat kondisi ponsel Jefan. LCD yang sudah retak sana-sini. Casing yang pastinya imitasi bukan original, itu juga sudah gompal di beberapa ujungnya. Bisa dipastikan jika ponsel ini terjatuh menghantam lantai, akan langsung wassalam alias tak berfungsi lagi alias rusak berat mungkin saja mati total untuk selamanya. Sungguh mengenaskan, batinnya iba.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang