23. Melampaui Semua Batasan

401 59 15
                                    

Karina

Ternyata menjadi orang hamil itu merepotkan sekali ya? Ia yang awalnya merasa sehat dan baik-baik saja, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba merasa sangat lemas, pusing, mual, yang membuatnya seperti sedang melayang di udara dan berputar-putar tak karuan, sampai akhirnya harus pingsan di pelukan Mas Sada.

Sial, sial, sial.

Kenapa harus pingsan di saat seperti ini sih? Kenapa tubuhnya sendiri bahkan tak bisa diajak bekerja sama untuk menyembunyikan keadaan?

"Aku nggak papa Mas, cuma kurang tidur mungkin," ia jelas mati-matian menolak untuk diperiksa oleh dokter juga di IGD, karena pasti akan ketahuan kalau ia sedang...

"Kamu dari dulu punya darah rendah," Mas Sada mengernyit tak setuju. "Aku nggak mau kamu ikutan sakit kayak Papa. Harus diperiksa. Tunggu sebentar, dokternya masih nanganin pasien di sebelah."

Dan selama dokter jaga melakukan sederet pemeriksaan terhadap dirinya, ia hanya bisa berdoa dalam hati semoga rahasia masih aman terlindungi. Namun sepertinya mustahil, karena dokter jaga bahkan bertanya dengan sangat lugas, "Masih morning sickness?"

Juga, "Pernah flek atau pendarahan?"

Yang ia jawab dengan suara paling pelan karena khawatir terdengar oleh orang lain selain dokter jaga terutama Mas Sada.

"Perubahan kadar hormon membuat pembuluh darah melebar. Jadi ketika mengubah posisi secara tiba-tiba, tekanan darah akan menurun dengan cepat," begitu ia sempat mendengar dokter jaga bicara pada Mas Sada.

Namun ketika dokter jaga tiba-tiba mengajak Mas Sada untuk menjauh dari tirai, kemudian mereka berdua berbicara di sudut ruangan dengan mimik serius. Saat itulah ia tahu, kiamat sebentar lagi akan datang menghampiri.

Meski ia masih bisa sedikit bernafas lega karena sikap Mas Sada setelah berbincang dengan dokter jaga tak berubah sedikitpun. Masih tersenyum saat menanyakan keadaannya.

"Masih pusing nggak? Kata dokter tekanan darah kamu terlalu rendah. Habis ini langsung pulang, biar bisa istirahat di rumah. Papa sama Mama biar aku yang urus."

Lengkap dengan mengusap lembut puncak kepalanya. Persis seperti yang sering Mas Sada lakukan tiap kali mereka bertemu walau ia sudah sebesar ini.

Namun suasana kaku dan canggung yang begitu kuat menguar di dalam mobil selama perjalanan pulang menuju ke rumah, membuatnya kembali diselimuti kekhawatiran. Kepalanya dijubeli oleh begitu banyak pertanyaan yang ia sendiri tak mengetahui jawabannya.

Seperti, apakah Mas Sada sudah mengetahui tentang keadaan dirinya? Apa yang dokter jaga tadi sampaikan hingga kening Mas Sada berkerut-kerut? Apa anggapan Mas Sada terhadap dirinya setelah mengetahui hal tersebut? Apakah ia akan dimarahi habis-habisan karena telah mencoreng nama baik keluarga?

Tapi kenapa Mas Sada tak marah padanya dan masih bersikap biasa saja seolah tak ada hal buruk yang terjadi? Ataukah Mas Sada memang benar-benar belum tahu keadaannya?

"Kamu istirahat di rumah, nggak usah mikirin apa-apa," ucap Mas Sada sambil menyelimuti dirinya yang meringkuk di atas tempat tidur, sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkannya dalam kebingungan.

Namun insting alami yang dipenuhi kekhawatiran berhasil menuntun langkah kakinya keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dan pemandangan yang tersaji di hadapannya benar-benar tak pernah ia bayangkan.

"Mas Sadaaaa! Jangaaan!" jeritnya panik demi mengetahui Mas Sada tengah memukuli Jefan dengan membabi buta di teras depan.

Jefan, walau berpostur lebih tinggi, namun jelas kalah kekar dibanding Mas Sada yang merupakan pemegang sabuk hitam. Ia bahkan harus menutupi wajah dengan kedua tangan karena tak tega melihat tubuh kurus Jefan terkapar di atas lantai teras dengan wajah berlumuran darah.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang