58. Love Has No Reason (3)

303 59 6
                                    

Katherina

Mungkin keputusan impulsifnya untuk berangkat sekolah bersama Dipa adalah pilihan yang keliru. Karena entah mengapa perasaannya menjadi kurang nyaman setelahnya. Padahal di waktu normal, ia akan sangat senang jika bisa berdua saja bersama Dipa. Tapi sekarang?

"Begitu, Rin?" Dipa mengerling ke arahnya sembari tersenyum.

Sementara ia hanya mengangguk-angguk dengan wajah bingung karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Dipa.

"Lo ngelamun ya?" tegur Dipa demi melihat wajah tak meyakinkannya.

"Enggak kok," elaknya sembari buru-buru memasang wajah oh, gue paham apa yang lo omongin barusan.

Membuat Dipa tersenyum dan mulai melanjutkan kembali cerita seru yang baru saja terinterupsi. Tapi, lagi-lagi pikirannya seolah enggan untuk diajak berkonsentrasi mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkan Dipa dengan antusiasme tinggi. Kepala dan hatinya justru dipenuhi oleh wajah bersih beralis tebal yang semalam terlelap di sampingnya. Oh, My God! Another part membingungan lainnya. What happen with me? bantinnya gundah.

Ia pun memutuskan untuk berusaha keras memasang telinga baik-baik guna mendengarkan Dipa yang sedang bercerita dengan gaya atraktif. Sembari membuang jauh-jauh bayangan wajah Jefan yang sepagi ini telah berhasil mendistrak pikirannya sedemikian rupa.

Lambat laun tekadnya mulai berhasil. Kini ia telah larut dalam kisah lucu yang sedang diceritakan oleh Dipa. Membuatnya harus menutup mulut dengan kedua tangan agar tak terlalu keras tertawa.

Namun sama sekali tak pernah menyangka, jika tawanya bersama Dipa hanyalah jeda waktu menghitung mundur untuk menuju hal tak terduga lain. Karena ketika mobil Dipa tengah melaju melewati deretan ruko berisi pertokoan, kantor, dan bank, matanya justru menangkap pemandangan yang sangat mengejutkan.

Awalnya ia tak yakin, namun ransel hitam yang sedikit familiar menjadi penanda, jika sesosok jangkung berseragam SMA yang kini tengah mendorong motor di sisi sebelah kiri jalan adalah Jefan.

"My God?" ia melotot tak percaya.

Kepalanya bahkan sampai berputar 180 derajat sekedar ingin memastikan jika penglihatannya tak keliru.

Iya, benar. Cowok berjaket jeans dengan ransel hitam di bahu sebelah kiri itu benar-benar Jefan.

Refleks matanya melihat pergelangan tangan kiri, 06.20 WIB. 10 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sementara jarak yang masih harus ditempuh menuju ke sekolah mereka sekitar 1,5 km lagi. Tak mungkin Jefan bisa sampai tepat waktu di gerbang utama. Pasti terlambat. Oh, tidak!

"Makasih, Dip," ujarnya cepat begitu Dipa menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk sekolah. Memberinya kesempatan untuk turun terlebih dahulu agar tak terlalu jauh berjalan kaki dari tempat parkir kendaraan roda 4 menuju ke kelasnya yang memang berjarak lumayan. Bisa bikin ngos-ngosan jika melewatinya.

"Anytime, Rin. Anytime...," Dipa tersenyum penuh arti.

Dengan tergesa ia buru-buru memasuki halaman sekolah. Melangkah panjang-panjang melewati beberapa siswa yang berjalan lambat karena sedang bercakap-cakap.

"Ecieee yang berangkat sekolah bareng crush," menjadi kalimat sambutan pertama yang diterimanya begitu memasuki ruang kelas XII IPA2.

"Gimana... gimana... one step closer dooong," seloroh Hanum sembari menaik-turunkan alis.

Sementara Bening yang pertama kali menyambutnya langsung tersenyum sumringah, "Kayaknya weekend nanti bakalan ada yang ngedate nih."

"Hasyeeek," Hanum makin berbinar.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang