121. "Seulamat Tinggai" **

255 52 20
                                    

Flashback

Setyo Yuwono

Ia benar-benar tak memiliki waktu yang cukup. Esok pagi sudah harus pergi ke Langsa. Begitu pula dengan pimpinan dan rekan lainnya di tim khusus. Harus segera berangkat menuju ke tempat tugas masing-masing yang baru.

"Bukankah kau sudah berjanji?" geram Hamzah ketika pagi hari ini ia menyempatkan diri untuk berpamitan. Dimana mereka berdua duduk di teras meseujid yang dingin dan sunyi.

Ia hanya diam tak menjawab. Lebih memilih untuk meletakkan buku berisi salinan BAP diantara mereka berdua.

"Aku minta maaf," ujarnya seraya beranjak pergi. Karena labi-labi yang akan membawanya menuju Peureulak sebentar lagi akan lewat. Sebelum nantinya harus berganti menaiki labi-labi lain sebanyak dua kali turun naik. Untuk bisa sampai di kota Langsa. Tempat tugasnya yang baru.

Lagipula ia tentu tak boleh ketinggalan. Karena labi-labi menuju Peureulak hanya lewat sebanyak dua kali sehari. Yaitu setiap jam 7 pagi dan jam 12 siang.

Jika sekarang ia sampai tertinggal. Maka harus menunggu labi-labi yang kedua lewat siang nanti.

Ini jelas akan membuatnya terlambat sampai di Langsa. Dan tak bisa melapor pada Kapolres hari ini juga.

Padahal pimpinannya yang lama telah mewanti-wanti kepada seluruh anggota tim khusus yang dipindahtugaskan.

"Jangan terlambat sampai di tempat baru!"

"Kecuali kalau kalian mau diberi hukuman tambahan karena dianggap lalai!"

Ia telah berjalan sebanyak lima langkah, ketika Hamzah mengeluarkan suara gemetaran yang diselimuti amarah.

"Apa kalian harus merasakan hal yang sama agar bisa mengungkap kasus ini?!?"

"Apa kalian harus mengalami hal yang sama sepertiku?!?"

Ia terpaksa menghentikan langkah meski dengan dada yang penuh sesak juga akibat amarah sekaligus rasa sesal yang tak berkesudahan.

"Apa yang akan kalian lakukan jika adik perempuan kalian... istri kalian... anak-anak perempuan kalian yang sangat kalian sayangi, mengalami hal tragis yang sama seperti yang dialami oleh Cut Sarah?!?!"

Ia menelan ludah yang rasanya benar-benar pahit. Tak mampu menjawab pertanyaan penuh kegeraman yang dilontarkan oleh Hamzah.

"Dimana letak harga dirimu, Setyo?!?"

"Kau biarkan para pelaku biadab itu bebas berkeliaran?!?"

Ia lagi-lagi harus menelan ludah pahit.

"Kau sebut dirimu sebagai pengayom masyarakat?!?"

"Kau sebut dirimu mengabdi pada kebenaran dan keadilan?!?"

Ia menengadahkan kepala memandangi hamparan biru langit cerah nun jauh di angkasa. Berbanding terbalik dengan suasana kelam yang sejak awal menyelimuti percakapan penuh emosi dan rasa sakit mereka berdua.

Ia sangat menentang keputusan yang dibuat oleh institusinya.

Ia bahkan begitu marah terhadap keadaan yang tak memihak pada kebenaran dan keadilan.

Tapi ia tak mampu berbuat apa-apa.

Tidak satupun.

Dalam benaknya muncul wajah kedua orangtuanya yang menaruh harapan besar diatas pundaknya.

Juga tahun-tahun berat sarat akan perjuangan tatkala dirinya menempuh pendidikan di AKABRI bagian Kepolisian.

Ia jelas tak mampu untuk melepaskan semua. Yang telah diraihnya dengan susah payah. Bersimbah air mata pengorbanan.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang