Fajar menyingsing, mengeringkan embun yang menyelimuti dedaunan yang mulanya menunduk, kemudian kembali pada keadaan seperti sedia kala untuk menyambut sinar sang surya yang mengasihi mereka dengan kehangatan di pagi hari.
Suara burung yang bersahutan dengan gemericik air yang mengalir menuruni gunung. Pagi itu, Kim bersaudara yang baru saja di pertemukan kembali tengah menjelajah jalanan setapak di dekat Kuil. Hanya berdua, tanpa ada Hwajung di sekitar mereka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Hwaseung sebagai yang lebih tua memulai pembicaraan dengan pertanyaan ringan, mengingat bahwa semalam mereka tak di beri kesempatan untuk berbicara.
"Hyeongnim sudah melihatnya, aku tidak perlu menjawab apapun."
Jawaban tak memihak yang membuat sudut bibir Hwaseung terangkat, membentuk seulas senyum tipis.
"Kita berhenti di sini saja." ujar Hwaseung kembali, dan keduanya pun duduk berdampingan di atas rumput dan melihat pemandangan yang di suguhkan di hadapan mereka karna mereka berada di lereng yang cukup tinggi.
"Kau tidak terlihat begitu baik di bandingkan dengan saat terakhir aku melihatmu. Kau... Terlihat sedikit pendiam." kalimat terakhir yang terdengar begitu ragu-ragu.
"Manusia sangat lemah terhadap waktu. Mereka bisa berubah kapan saja di saat waktu itu terus berjalan."
Senyum Hwaseung melebar dan diapun menjatuhkan pandangannya pada Changkyun yang juga melakukan hal yang sama, meski tak ada segaris senyumpun yang terlihat di wajah dinginnya.
"Dan kau juga menjadi orang yang bijaksana."
Changkyun justru memalingkan wajahnya ketika kalimat pujian itu keluar dari mulut sang kakak yang turut mengalihkan pandangannya.
"Aku masih jauh dari kata itu."
"Tapi kau bisa merangkai kata dengan baik. Tentunya bukan orang sembarangan yang telah mengajarimu."
Tak ingin merespon kalimat yang baru saja di ucapkan oleh Hwaseung, Changkyun pun menjatuhkan pandangannya pada sang kakak karna ada begitu banyak pertanyaan yang harus ia ucapkan. Meski dia sendiri tak yakin bahwa ia akan mengatakan separuhnya.
"Kemana Hyeongnim pergi selama ini?"
Hwaseung turut menjatuhkan pandangannya pada Changkyun. "Aku tinggal di Hanyang, namun aku sering pergi ke tempat jauh dan berpindah-pindah tempat. Kau tahu? Kakak mu ini, sudah menjadi seorang Saudagar." ujar Hwaseung dengan senyum yang di tujukan untuk membanggakan diri justru terlihat begitu menyedihkan.
"Hyeongnim memiliki kehidupan yang baik sekarang."
Seulas senyum tipis itu terlihat untuk pertama kalinya di hadapan Hwaseung, dan tentunya hal itu membuat batin sang kakak terusik. Di mana dia bisa melihat bayangan ibu mereka ketika si bungsu tersenyum dan membuatnya berpikir bahwa Dewa benar-benar adil dalam meciptakan manusia. Dia yang mirip dengan ayahnya, sedangkan si bungsu mirip dengan ibu mereka. Namun meski di perhatikan secara sekilaspun, kedua kakak beradik itupun memiliki wajah yang sangat mirip.
"Kau terlihat lebih tampan jika sedang tersenyum." gumam Hwaseung dan perlahan senyum di wajah Changkyun memudar seiring dengan ia yang kembali mengalihkan pandangannya dari sang kakak.
"Nu'i, bagaimana Hyeongnim bertemu dengannya?"
Nu'i = Noona.
"Tidak sulit, aku bertemu dengannya ketika orang tua angkatku melakukan kunjungan ke rumahnya. Dan kami bertemu, hanya seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LITTLE PRINCE [어린 왕자]
Fiksi Sejarah🌾KDRAMA WATTPAD🌿 menceritakan tentang perjalanan Lee Taehyung, seorang Putra Mahkota Joseon untuk menuju tahtanya. Di mana terdapat sebuah klan yang menentang takdirnya sebagai Raja Joseon selanjutnya. Sebuah klan yang menjadi basis kekuatan dari...