Gradasi Nyengat Hingga Laung

49 8 0
                                    

Irisnya terpejam, menikmati semilir angin sore sementara ruang dengarnya dipenuhi pelantang telinga tanpa musik. Aroma hujan begitu menggugah hati. Memberi kesan nyaman dan aman tersendiri. Tidak jadi masalah meski sering kali hinggap di atas surai.

Taeyong menjadi pemuda (ia yakin ia masih pemuda) berusia dua puluh lima tahun yang sekali lagi dirundung patah hati. Semalam sore dirinya diputuskan sepihak atas alasan sudah tidak cocok lagi. Taeyong cukup menyayangkan, padahal ia memang bersungguh-sungguh menyayangi gadis itu dan berencana ingin melamar.

Ketika kelopaknya membuka, jingga menarik perhatiannya. Para pejalan kaki di depannya terus meracau di atas keindahan. Taeyong mendengus kesal. Pikirnya terus dibasuh negatif.

"Permisi."

Desir halus dari belakang meraih kesadaran Taeyong.

"Apa anda ingin saya potret?"

Lehernya mengalung kamera polaroid. Taeyong meliriknya sekilas. "Tidak, terima kasih."

"Berfotolah, saya mohon. Di sana ada kursi, mari."

Isi kepala Taeyong dipenuhi kata heran. Lelaki ini begitu tak sopan. Mimiknya pun terkesan datar dan jengah.

"Anda akan saya beri diskon."

Diskon atau apapun itu, sama sekali tidak membuat Taeyong tertarik.

"Terima kasih banyak, tapi sungguh saya sedang tidak ingin berfoto."

Sang lelaki terdiam. Rambut hitamnya mengombak halus. Pancarannya tidak wajar, seumpama tombak siap lempar.

"Anu—"

"Nama anda Taeyong—dan anda tengah patah hati."

Terjengit.

"Anda seperti bintang jatuh. Terlihat mengagumkan dari jauh, namun kau tengah kesakitan dan tidak tahu kemana harus melandai. Anda berharap bermonolog, padahal anda bersenandika. Meski anda kuat, tapi anda tidak tegap. Anda—"

"Oke, cukup."

Seperti ditampar. Seluruh gambaran yang diungkapkan lelaki di hadapnya benar tanpa cela. Taeyong jadi malu sendiri. Apakah pakaian yang ia kenakan dan gesturnya benar-benar memperlihatkan dirinya sebagai seorang pelacur cinta?

"Tenang saja, saya bukan paranormal atau indigo. Saya hanya mahasiswa psikologi."

"Dan aku yakin indeks prestasimu menyentuh nilai empat."

"Saya tidak ingin sombong."

Taeyong menghela napasnya dan terkekeh geli. Ia menoleh pada kursi panjang yang sebelumnya ditunjuk oleh si lelaki. "Mari kita duduk di sana. Kita mengobrol sebentar, baru kau bisa memotretku."

Bibirnya menyungging senyum sedikit; hanya sekilas. Aroma wangi menguar dari sang pria ketika dirinya duduk saling bersisi. Kemungkinan besar parfum brand ternama. Selesai menaruh bokong, jeda kembali meringsak.

"Mungkin aku hanya paranoid. Usiaku sudah menginjak dua lima dan aku berencana menikah dua sampai tiga tahun lagi. Namun, kekasihku meminta putus dan aku mendadak lupa bagaimana caranya merayu perempuan."

Sang lelaki bergumam, "Kalau begitu, coba rayu seorang lelaki."

Gelak tawa mengucur hebat. Taeyong sama sekali tidak merasakan ada unsur humor dalam kalimatnya. Hanya saja, bagaimana lelaki ini mengatakan dengan raut datar benar-benar menggelitik hati.

"Saran yang bagus—ya, ampun—lain kali akan kupertimbangkan."

"Maaf, saya hanya bercanda."

Kembali Taeyong bergelak tawa.

"Bagaimana denganmu, hm? Oh, siapa namamu?"

"Nama saya Ten. Saya sedang mencari uang tambahan untuk membeli pakan piaraan."

"Hanya untuk piaraan?"

"Anda tidak tahu betapa saya sangat menyayangi kucing-kucing saya."

Semasa kecil, kerap kali Taeyong mengajak kucing-kucing liar tinggal di huniannya. Sayang, ayahnya tidak menyukai kucing dan ibunya alergi. Alhasil, kucing-kucing tadi dibuang sementara Taeyong merajuk selama seminggu.

"Jadi, anda ingin saya potret?"

Taeyong mengerdikkan bahunya, "Baiklah."

Ten kemudian berdiri. Menaruh lensa di depan wajah ketika mata kanannya berpejam. Fokusnya jatuh pada pria yang ia potret.

Dadanya bergemuruh.

Ten menurunkan kameranya.

"Ada apa?"

Sang lelaki terdiam. Justru memeriksa kameranya seakan ada yang salah.

"Apa kameramu rusak?"

"T-tidak ada masalah."

Ia pun kembali bersiap memotret. Lagi-lagi
sesuatu menggedor hebat. Alis Ten bertaut bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengannya merupakan tanda tanya besar.

Jarinya menekan tombol penangkap gambar. Terdiam sejenak kemudian melepas kamera. Foto perlahan muncul. Dari hitam hingga berubah tampak jelas.

"Silahkan."

Taeyong meraih hasil kerja Ten, "Hm, lumayan."

Ten kembali duduk. Taeyong berpindah mendekat, "Potret aku lagi besok pukul delapan malam di kafe dekat persimpangan."

Mata Ten melebar, "Eh?"

"—baru aku akan membayarmu."

Lelaki itu berdiri. Membungkuk sebentar pada Ten yang sedang duduk.

"Aku harap, kita merasakan sesuatu yang sama."

Tidak berdusta.

Taeyong tidak berdusta jika ia bilang ia tertarik dengan Ten. Silakan memanggilnya remaja labil penikmat cinta monyet. Usianya sudah kepala dua dan ia yakin sekali perasaan aneh yang barusan menghinggapi bukan sekadar tertarik.

Apalagi surai kelam yang acap kali menari kala angin bersua, menghipnotisnya pada kenyataan bahwa Aphrodite bisa saja berlutut kalah dengan insan ini. Secara diam-diam, ia mengepal tangannya kuat-kuat ketika Ten mencoba memotretnya.

Isi dalam dada terus mengaum. Taeyong tetap membiarkan. Hari ini cukup.

Langkahnya menjauh. Tahu jelas kedua mata emas itu menghinggapi punggungnya. Ten. Akan Taeyong temui lagi esok hari.

Gradasi nyenyat hingga laung.

Jantung berdetak mulai diam hingga kalut seumpama berteriak dari dasar palung.








Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang