Taeyong bisa membedakan warna yang muncul ketika musiknya mengalun. Dia menyukai sensasi mendebarkan tampil di panggung, seperti saat ini. Ketika dirinya menjadi pusat perhatian seluruh mata.
Dengan perantara musik, kau bisa menggenggam hati manusia, menyihir telinga mereka, dan melemparkan mereka ke dunia dongeng di mana cahaya selalu bersinar. Sesuatu yang justru tidak dapat dilakukan saat menatap mereka dari mata ke mata, sebab memahami manusia itu sama sulitnya dengan mengendalikan mereka.
Taeyong tertegun. Tanpa sadar permainannya mencapai batas outro terakhir. Seharusnya masih bisa bermain lebih lama━tapi apa boleh buat? Acara ini digelar untuk menghormati tamu negara, entah yang keberapa ratus kali, dia tak pernah menghitung. Seperti air yang mengalir di sela-sela jemari, segar dan menyapu bersih, begitulah peran musik di tengah-tengah manusia.
Taeyong mencari apa yang membuatnya berat hati mengakhiri permainan ini, ternyata itu adalah warna lain; warna terang seperti guguran kelopak sakura yang menembus langit biru. Dia terpana sesaat. Di bawah pohon berkelopak jingga, Ten berdiri dengan senyuman cerah di wajahnya. Ah, begitu rupanya ...
Outro ditutup dengan satu vokal panjang lalu ketukan nada pendek. Taeyong berdiri, membungkuk hormat kepada penonton. Tepuk tangan membahana memecah aula konser. Semua kursi penuh. Lalu, entah bagaimana, ketika mengangkat kepala, Taeyong langsung bertemu pandang dengan lelaki itu, seperti sengaja muncul di antara kerumunan, dan hanya satu-satunya warna- Ten yang terlihat. Yang lain serasa mengecil lalu lenyap, seolah sekat antara panggung dan kursi penonton hanya ada mereka berdua.
Dalam kesempatan singkat itu, Taeyong terlempar pada suatu waktu di masa lampau, ketika tidak ada jarak yang memisahkan, dan mereka masih bisa menyebut entitasnya dengan kita.
Lelaki itu melempar senyum, bertepuk tangan. Dunia tidak perlu tahu kalau tepuk tangan Ten adalah satu-satunya, yang tersimpan dalam kenangan Taeyong.
🌀🌀🌀🌀🌀
Ten menyukai bagaimana lelaki itu bersinar di atas panggung. Bukan berarti dia tenggelam dalam dunianya sendiri. Seperti rumah permen━dalam dongeng Hansel dan Gretel, tetapi Taeyong juga bukan Nenek Jahat yang setelah berhasil mengelabui penonton, lalu merampas milik mereka. Barangkali Taeyong adalah peri baik hati. Musik piano serupa tongkat mantra yang mengalihkan dunia mereka sejenak, secara sukarela diajak mengunjungi negeri dongeng.
Ten juga bisa melihat, satu-satunya warna musik yang mereka miliki bersama━Nocturne OP. 9 gubahan Chopin, melemparkannya pada suatu waktu di hutan belantara, kala tabir malam tersingkap pendar cahaya bulan yang menggantung seperti perahu emas kecil di angkasa. Mereka berdua tersesat dengan tubuh penuh luka dan kain kasa membebat kepala, berlari dari kejaran pleton musuh. Dan kemalangan hari itu sirna ketika piano lama ditemukan terbengkalai dalam gubuk kayu. Taeyong tahu cara menghapus kesedihan Ten. Musik mengalun sepanjang malam. Mereka melupakan beban lapar, letih, dan luka. Ten tertidur di dekat perapian setelah sibuk mengagumi kegigihan lelaki itu dalam diam━warna musik malam itu terasa berbeda. Di kesempatan berikutnya dia beroleh jawaban; itu gubahan khusus yang hanya dimainkan untuk melipur lara.
Ten sungguh penasaran, apakah Taeyong masih senang memainkan gubahan istimewa itu di saat-saat terpuruk?
Ten tak menyadari pikirannya terbawa ke sana ke mari. Seluruh penonton berdiri memberi tepukan. Ketika dia bangkit dan serta merta menemukan pandangan lelaki itu lurus mengarah padanya━bukan dengan tatapan menusuk, tetapi kelembutan yang terlalu rapuh ... Seperti yang lain, Ten bertepuk tangan, tanpa yakin ... apakah tepuk tangannya kali ini sanggup menjadi satu-satunya yang mencapai Taeyong ?
🌀🌀🌀🌀🌀
"Aku tidak tahu kau akan hadir, Ten.''
Taeyong berkata setelah mereka keluar dari gedung hotel. Menyembunyikan kegembiraannya. Jadi ini alasan mengapa sejak di atas panggung tadi, tiba-tiba terpikir olehnya sosok Ten?
"Yah ... kejutan mungkin"
Lelaki itu tertawa, menyejajarkan langkah setelah menggandeng lengan Taeyong. Mereka menyusuri jalan bersama.
Cahaya dari lampu-lampu kota, seperti kalah oleh pendar kebahagiaan yang memancar dari wajah mereka berdua.
"Lagi pula aku sedang bosan," lanjut Ten, "lelah mengurus orang banyak. Yang satu maunya dikasih bentuk kotak, yang lain nggak puas mintanya bentuk bundar."
"Kan memang begitu ... dari dulu. Orang-orang itu tampaknya berubah tapi sebetulnya tidak."
"Seperti itulah. Ada sisi yang berubah; akal mereka berevolusi. Kemajuan teknologi ini misalnya. Tapi dari segi sikap dan kelakuan; manusia tidak jauh beda dengan nenek moyangnya."
"Selalu ada kebaikan dalam banyak sisi, Ten. Tanpa mereka kita tidak akan berada di sini."
"Umm, yeah ... tanpa mereka, kita tidak akan bisa melihat keindahan seperti ini."
Mereka berjalan menyusur sepanjang kanal Sungai. Ketika mencapai titik agak menjauh dari perkumpulan orang, Ten mengajak Taeyong berhenti.
"Sepertinya kembang apinya bagus jika dilihat dari sini."
"Bagaimana kalau kita duduk di dermaga itu sambil memesan kopi?"
Ten mengangguk, menarik tangan Taeyong. Lelaki itu membuat gerakan memutar, kepala menyelinap di bawah lengan Taeyong yang terangkat seirama tariannya.
Taeyong terpana. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berdansa.
"Ayo, Tae ... Ini sungguh malam yang indah bukan?"
Bersama Ten, Taeyong mendengar irama yang sempat terhenti itu mengalun kembali, kali ini abadi.
