Those Eyes

221 33 5
                                    

"Then show me those eyes. Not the eyes of those villagers who looked as if they'd seen a pile of vomit. Not the old man's greedy, inflamed eyes. That day, those eyes. Those eyes that longed only for me."

—Ten


Mata itu berubah.

Warna emasnya masih yang sama, emas yang terang dan menyilaukan—jenis mata yang dapat menjerat siapa pun yang melihat. Kejernihannya sekaligus sorot tajamnya masih sama, masih memiliki kemampuan untuk membuai, membelenggu, memabukkan pasang mata lain yang coba-coba mengerling ke arahnya.

Tapi kini, mata itu tak sama. Tak lagi merefleksikan hal yang sama.

Dahulu, ketika Ten terbangun di tengah malam yang gelap bersama mimpi masa lalu yang menyelubunginya, atau ketika dia membutuhkan bantuan untuk hal-hal trivial, mata itu yang kemudian akan menyambutnya—memberikan rasa aman sekaligus perlindungan. Sebab yang Ten tahu (dan yang selalu ingin ia tahu) mata itu hanya merefleksikan dirinya seorang. Tak peduli pada objek mana mata itu memandang, hanya pantulannya lah yang terbayang. Selalu.

Tapi itu dulu.

Dulu sekali, bahkan Ten pun nyaris lupa kapan.

Yang dia ingat, ketika sepercik darah terkecap oleh lidah Taeyong, ketika itulah mata emas itu berpaling darinya.

Ten menatap Taeyong saat aroma harum bersalut citrus tertangkap oleh saraf olfaktorinya. Kepulan asap teh earl grey menciptakan lapisan embun pada kacamata demon butler-nya itu. Namun, dia tetap mampu menemukan mata emas itu. Mata yang selalu menembus hatinya, mata yang dapat mendefinisikan jiwanya, mata yang tak bisa lepas dari raganya. Memandang mata itu, membuat Ten tak pernah lupa ocehan Taeyong di suatu malam berbintang tentang seberapa berharga jiwa miliknya bagi dirinya.

(—Jiwa yang membara, bukan seperti api yang menghanguskan, tetapi bagai kilapan merah dari batu mirah. Jiwa yang berkobar namun tak terbakar.)

Apakah jiwa Ten telah meredup hingga ikut pula meredupkan nyala di mata emas itu?

Ten tak tahu, dan selagi berbagai probabilitas menari-nari di dalam alam pikirannya, teguk demi teguk isi cangkir telah habis dikurasnya. Sepiring scone sebagai pendamping teh pun tak luput untuk ia habiskan. Lalu, alih-alih memerintahkan Taeyong untuk membenahi kekacauan, pemilik helaian sewarna malam tersebut justru menyuruhnya untuk tetap tinggal.

"Taeyong hyung.''

"Ya, Ten ?" suaranya yang lembut bergaung di telinga Ten sebelum keping mata yang ia suka menatap ke arahnya.

Selama beberapa saat, tak ada bebunyian yang terdengar di ruangan itu. Tak ada suara Ten, tak ada suara Taeyong, bahkan tak ada kicauan burung gereja atau tik-tok jarum jam di dinding ruangan. Selama sesaat itu, hanya ada kesunyian di antara mereka.

"Aku di sini, di hadapanmu—," tapi kenapa matamu tak mampu 'menyadari' keberadaanku seperti dulu?

Taeyong tidak menanggapi pernyataan barusan, karena tentu saja ia tahu akan hal itu. Ten tak perlu repot-repot memberitahunya tentang fakta itu.

"Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku."

Iris keemasan itu membulat karena keterkejutan, sebelum kemudian pemiliknya menjawab.

"Yes, your highness."

Selengkung senyum terbit di bibir Ten ketika mendengar kebohongan yang manis itu.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang