Lee Taeyong bekerja di udara, mengejar cita-citanya untuk menerbangkan sebuah pesawat dan berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia suka pekerjaannya, lebih dari apapun. Berada di darat terlalu lama, sering membuatnya sedikit mual?
Bukan jenis mual yang timbul karena dia sakit atau lupa menghabiskan sandwich dingin dari Subway yang dibelinya. Tapi lebih ke mual, karena dia harus bersosialisasi lebih banyak, dan membuang sebagian waktunya untuk menunjukkan persona dirinya. Taeyong bukan orang yang seperti itu. Ia lebih suka menyebut dirinya sebagai seseorang yang tahu bagaimana cara menghargai waktu.
Disela-sela waktu terbangnya, Lee Taeyong biasanya akan menghabiskan waktu di salah satu gerai kopi berlambang hijau—atau duduk di ruang tunggu, menatap barisan pesawat yang berada di landasan pacu. Seperti yang dia lakukan saat ini, menunggu waktu penerbangannya menuju New Delhi dari Seoul.
Ia duduk di salah satu ruang tunggu kedatangan. Di dalam pikirannya, ia masih memiliki banyak waktu untuk berjalan menunju terminal keberangkatan dan masuk ke dalam ruang kerjanya tepat waktu.
Lagi pula, ia lebih suka berada di ruangan kedatangan, di mana orang-orang menunggu kerabat hingga orang terkasih mereka datang. Selalu ada senyuman bahagia—dan pelukan hangat yang menghiasi ruangan itu. Orang-orang yang berada di sana tahu bagaimana cara menghargai waktu, dengan menyambut orang terkasih mereka.
Suasananya juga tidak seramai di ruang keberangkatan, di mana orang-orang jauh lebih semangat untuk meninggalkan apapun yang mereka punya di ujung landasan. Dia akhirnya mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela, semburat awan senja memenuhi cakrawala.
Tak jauh darinya ada seorang wanita paruh baya, tengah sibuk membaca majalah terbaru dari toko buku yang ada di sana. Kemudian empat kursi dari tempat duduknya, seorang lelaki baru saja datang, membawa seikat bunga dan satu troli kosong.
Tidak ada tas atau koper di atasnya, dan itu membuatnya sedikit tertarik. Karena biasanya orang-orang di terminal kedatangan tidak membawa troli dari luar, kecuali mereka berprofesi sebagai porter, di mana itu adalah hal yang berbeda.
Lelaki itu datang sendiri, dari tampilannya, Taeyong sudah tahu lelaki seperti apa dia. Taeyong memiliki banyak pengalaman dengan berbagai lelaki atau wanita, dan lelaki ini masuk ke dalam jenis lelaki yang tahu caranya bersikap—dan lebih pantas berada di VIP Lounge dibandingkan menunggu di kursi besi yang kotor seperti sekarang.
Rambutnya berwarna hitam, mengingatkan Taeyong pada malam. Ia mengenakan kemeja putih, dengan mantel berwarna biru gelap yang bersandar di bahunya. Sepanjang Taeyong melihatnya, lelaki itu terus menatap panjang ke arah jendela. Kemudian tatapannya teralih ke layar televisi yang menggantung di samping jadwal kedatangan pesawat.
“Dozens killed as rebels launch counterattack in Syria last night. About 200.000 civilians caught in the crossfire, in the country’s northwest have now fled intesified fighting. The fighting marks the biggest upsurge in violence since last summer, and a belt of territory around it,”
Suara pembawa berita dari salah satu saluran televisi menggema di ruangan itu. Lelaki itu tak henti-hentinya menatap layar televisi.
“Only the dead have seen the end of war, right?”
Taeyong bukan lah orang yang suka memulai sebuah pembicaraan dengan orang lain, tapi lelaki ini membuatnya tertarik. Membunuh waktunya dengan berbasa-basi dengan lelaki manis ini mungkin tidak ada salahnya.
Selama beberapa saat lelaki itu terdiam, dia menatap Taeyong untuk beberapa detik sebelum mengangguk dan tersenyum, “Just like Malcolm X said, you have to pick the gun up to put the gun down,” suaranya mengingatkan Taeyong pada salah satu film hitam putih karya Hollywood yang datang dari tahun 1960. Klasik dan menenangkan.
