Malam berkabut di antara padang ilalang, ia sendiri berdiri dalam kesunyian megah, menengadah ke arah bulan, meminta belas kasihan—setidaknya, setidaknya biarkan ia mencicipi sedikit dari cahaya remang-remang itu. Hendak ia nikmati bersamaan dengan luka dari mangkuk yang kini sudah begitu penuh isinya. Lantas tak acuhkanlah nyanyian siren yang bersenandung sendu di kejauhan, meminta jiwa-jiwa yang dihinggapi kekosongan untuk dimakan dengan ganas lagi liar.
Begitulah Ten mendefinisikan mimpi itu—mimpi yang perlahan-lahan datang melalui kecemasannya, menerobos masuk tanpa tahu permisi, menuntutnya untuk diam tak menggugat, diam, diam dan begitu seterusnya hingga ia mendapati bulan sudah tidak lagi pucat dan ia sendiri sudah tidak lagi merasa hidup.
Dalam sesaknya rutinitas yang tak memberinya waktu luang, kadangkala Ten berpikir apa yang sekiranya ingin ia gugat atas dasar mimpi itu? Mengapa di setiap bangun tidur, ia merasa kehilangan sesuatu—sesuatu, apakah yang demikian itu, ia sendiri tidak tahu-menahu. Seakan ditarik paksa dari kehidupan lantas ia menemukan tubuhnya sendiri dalam keadaan hampa. Ia kehilangan sesuatu yang begitu berarti.
Tapi—sekali lagi—apa?
Ia mencoba mencari dari tiap-tiap celah hidupnya yang terombang-ambing tak menentu, adakah yang lenyap secara misterius. Bagaimana bisa lenyap kalau ia tidak pernah merasa memiliki secara utuh—bahkan hidupnya sendiri. Ia adalah satu dari sekian juta jiwa yang menyewa nyawa dengan harapan mampu menemukan setitik kebahagiaan daripada berdiam diri di dunia ruh. Tapi rupanya kehidupan pun sama menjemukan, setumpuk rutinitas, perjalanan panjang yang tak ada habis serta percintaan yang tidak jelas bagaimana akhirnya.
Atau ia memang tipikal manusia yang sulit bersyukur.
Ah, setitik kebahagiaan itu kini terasa jauh, j, a, u, h, sekali. Barangkali ada di batas dunia yang mana satu manusia pun tidak mampu menjangkaunya. Masa lalu, masa kini, masa depan. Dan yang membuat Ten menjelma bulan kesepian ialah kecemasan terhadap masa lalu, apatis dalam menjalani masa kini dan masa bodoh dengan masa depan. Begitulah ia. Mencemaskan apa yang sudah tertinggal jauh di belakang. Siapa mampu kembali ke masa lalu, tidak ada. Tidak akan ada.
Ten mungkin cuma rindu, kerinduan yang tak berbalaskan itu lantas membuatnya menjadi pribadi seperti sekarang ini. Tapi sudah merupakan hal biasa apabila seseorang merindukan masa lalu, rindu ingin kembali namun tidak direngkuh juga oleh waktu. Sebaliknya, waktu justru melesat cepat ke depan, meninggalkan apa yang memang seharusnya tertinggal, menaruh rasa manis sekaligus pahit di lidah. Namun, kerinduannya terlalu menggebu-gebu sampai pada tahap ingin melenyapkan diri dari dunia. Padahal ia hanya ingin pulang. Pulang ke masa-masa penuh kebahagiaan.
Teriakan menggema di seluruh penjuru gimnasium, lompatan kuat sekaligus indah, sepasang tangan besar seumpama sayap terbelah. Dan senyuman riang. Rengkuhan hangat atas keberhasilan—serta tangis haru yang mengesankan tapi juga menyesakkan. Selalu, selalu ada seseorang yang meneriakan namanya begitu lantang dan nyaring, teriakan yang menyadarkan ia pada kehidupan yang membosankan ini bahwa ternyata masih ada kebahagiaan kecil yang disisakan pencipta.
Tapi memang ia adalah tipikal manusia yang sulit bersyukur. Ia justru merasa terbebani karena rupanya waktu melesat terlalu jauh meninggalkan bingkisan manis itu di belakang. Kini ia merasa sendiri dan diasingkan dunia. Seseorang yang selalu meneriakan namanya itu tak lagi ada di depan mata—atau justru ia sendiri yang memilih untuk melenyapkan diri. Padahal ia rindu. Rindu yang teramat sangat sampai-sampai membekukan tulang-belulangnya, meniadakan akal sehatnya lantas membunuh keinginannya untuk terus melangkah maju.
Ke mana harus melangkah? Ia bahkan tidak tahu apakah di depan sana akan ia dapati sosok itu, tersenyum lebar dengan sepasang mata nyaris tertutup, sambil menggumamkan namanya, sambil melambaikan tangan padanya—meminta mendekat, membisikan kalimat-kalimat menjengkelkan yang membuat kedua telinganya memerah, saling merengkuh, tertawa. Berciuman. Bercinta.
