Ten enggan peduli, kalau boleh.
Ia tidak bisa diam saja (tidak dalam keadaan terdesak semacam ini). Tapi, apa mau dikata, ia tidak memiliki pilihan lain—hanya beginilah satu-satunya opsi, daripada harus menanggung akibat dari kecerobohannya (dan kecerobohan lelaki yang seenaknya menciumnya di gimnasium tempo hari). Ia menelan ludah dipandangi sedemikian intens. Taeyong duduk di sana, di salah satu kursi ruang kelas tiga (ruangan kelas yang sudah sepi ditinggalkan siswa-siswinya pulang), dengan tangan menopang dagu dan ekspresi bosan yang dibuat-buat.
Setitik keringat jatuh menuruni pelipis. Ten membuka satu demi satu pakaian yang menempel di tubuhnya. Bibir bawah digigit. Ia tidak tahu Taeyong merupakan lelaki tipikal semacam ini; mengancam atas sesuatu yang tak sengaja dilihatnya, dan memaksanya untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ten mengepalkan tangan. Gigi-geliginya bergemelutuk menahan amarah dan rasa malu. Napasnya agak memburu. Ia ingin sekali menghilang dari muka bumi—atau menghilangkan ingatan Taeyong mengenai apa yang lelaki itu lihat di gimnasium.
Tidakkah Tuhan senang bermain-main?
"Jangan menunduk seperti itu, Ten. Perlihatkan wajahmu padaku."
Menelan ludah (lagi), Ten menengadahkan wajah, memandang sayu ke arah seniornya. Bintil-bintil keringat semakin banyak memenuhi kening.
"Taeyong hyung, tidak seharusnya kita melakukan ini—"
"Katakan itu pada dirimu sendiri."
Ten kembali menggigit bibirnya.
"Dan pada Jaehyun."
Ten terkesiap. Taeyong senang melihat ekspresi semacam itu, terlebih dari seorang lelaki yang selalu datar dan seakan tak peduli pada apa pun. Kegelisahan terlihat begitu jelas. Taeyong tak mampu menahan senyuman di bibirnya.
"Jangan katakan apa-apa pada Jaehyun!"
"Kalau begitu turuti kata-kataku."
Ten menelanjangi diri. Di depannya, Taeyong bermasturbasi. Ten memejamkan mata erat-erat, berharap ini semua hanya mimpi. Namun, ketika ia membuka mata, yang ia lihat tetap sama.
"Aku tidak suka ide murahan seperti ini, tapi, walau bagaimanapun, wajahmu adalah kesukaanku, Ten. Aku selalu berharap dapat melihatmu dalam keadaan begini."
Ten terdiam. Hatinya mengutuk.
"Sekarang aku tidak lagi mempertanyakan kedekatanmu dengan Jaehyun"
Ten gelisah. Ia sudah kehabisan daya untuk mengutuk Taeyong, tidak bahkan jika itu hanya di dalam hatinya.
"Ah, bibirmu bagus sekali. Boleh kucium?"
Ten menggeleng kuat-kuat.
(Tapi pipinya ditahan, ditekan, dan bibir mereka akhirnya bertubrukan.)
Kalau boleh jujur, Taeyong tidak tahu kenapa ia melakukan semua ini pada Ten—tidak pula pernah terlintas di benaknya bahwa suatu hari ia akan memaksa lelaki itu menelanjangi dirinya sendiri.
Taeyong selalu berpikir bahwa ia menyukai garis wajah Ten (bagaimana lelaki itu bicara, bahkan diam—serta sepasang mata sayu yang terlihat malas, seolah tak peduli pada betapa sialan kehidupan ini). Ia menyukainya. Hanya sebatas itu. Tapi, setelah melihat Ten yang tak berdaya di dinding gimnasium, dipojokkan oleh Jaehyun, dengan bibir saling memagut, ia tahu ia menyukai lelaki itu lebih dari sekadar garis wajah. Ia juga ingin Ten berekspresi seperti itu di depannya.
"Aku menghapus jejak Jaehyun di bibirmu. Kau marah?"
Ten terisak. Tapi matanya menatap nyalang.
"Jangan menangis. Kau membuatku terkesan seperti bajingan."
Aah. Taeyong bisa melihat api itu; api yang menyala-nyala membakar diri.
Gigi Ten saling bergesekan—
"Kau memang bajingan."
—dan mengatakan kalimat tersebut dengan intonasi yang dalam.
Taeyong tersenyum puas.
"Bukankah kau sama saja, Ten? Tidakkah kau melihat dirimu sendiri."
Ten menghajar Taeyong.
Ia terus menghajarnya hingga lelaki itu ambruk dengan kepala terantuk lantai. Ia mendudukinya dan terus-menerus menghajar mukanya hingga salah satu gigi Taeyong patah. Ten tidak mampu berhenti, tidak bisa. Taeyong mencoba melawan dan membalik keadaan. Ten berada di bawah. Taeyong mendudukinya. Balik menghajarnya. Ia tak memiliki kesempatan untuk membalas.
Namun tidak dengan kakinya. Kakinya menendang selangkangan Taeyong, membuat lelaki itu terhuyung. Dalam kesempatan itu, Ten mencolok kedua mata Taeyong hingga lelaki itu meringis kesakitan dengan darah menetes-netes dari kedua bola matanya yang hancur.
Seharusnya begitu.
Tapi Ten diam saja ketika Taeyong mencium bibirnya. Ia tetap diam bahkan ketika Taeyong menggerayangi bagian bawah tubuhnya.
"Apakah sekarang kau membenciku, Ten?"
Dan mata lelaki itu masih ada di sana, menatap tajam seakan menghunus dirinya telak. Ten tak mampu melakukan apa-apa. Ia hanya bisa mengutuk, mengutuk dan mengutuk—hingga sumpah-serapah habis dikatakan hati, dan ia akhirnya menikmati kegilaan ini.
A/N : long time no see~