Bayang - Bayang

286 31 24
                                    

"Apa yang sedang kau bayangkan, Taeyong hyung?"

Taeyong membuka matanya perlahan. Silau. Mengerjap tiga kali, ia mencoba memfokuskan pandangan. Oh, Ten. Lelaki itu sama berbaring, saling pandang, menelisik jauh—barangkali hanya Taeyong saja. Ia melihat Ten seperti manekin, terdiam dengan sepasang mata memandangnya tanpa kedip cukup lama, dan ketika berkedip, bulu mata Ten seakan mengibas. Lentik, bagus. Taeyong rasa-rasanya tidak pernah ingin melewatkan sesi saling pandang pada pagi ketika matahari bangkit; ia hanya mau mengawalinya dengan memandangi mata Ten, sebagaimana Ten yang juga memandangi matanya.

"Aku tidak membayangkan apa-apa."

Ten bergumam. Hmmm. Begitu. Kalau dipikir-pikir justru Taeyong yang seperti tengah membayangkan sesuatu. Barangkali persanggamaan mereka semalam—yang terasa panjang, bergelora, dipenuhi kepedihan.

Kepedihan itu … dari mana datangnya?

Taeyong memejamkan mata, menyamankan diri. Ia masih belum ingin bangun.

"Demam?"

Taeyong menggeleng, meski ia tidak yakin. Setelah ditanya begitu, ia jadi sadar badannya memang sedikit panas. Mungkin akibat hujan semalam. Tetapi tidak apa-apa, Taeyong akan merasa sehat setelah sepuluh menit waktu tidur tambahan. Ten mengusap lembut rambut Taeyong, lalu mengecup sebentar keningnya—hal yang amat jarang dilakukan. Kenapa, ya. Taeyong berpikir; kenapa tiba-tiba begini, rasanya aneh dan sangat tidak Ten.

"Kau tidak seharusnya hujan-hujanan."

Dalam keadaan tetap terpejam, kedua alis tebal Taeyong mengernyit. Ia sudah berkali-kali menjelaskan. Tidak, bukan begitu, Ten, aku bukan hujan-hujanan—aku hanya berpikir kalau menerobos hujan lebih cepat sampai rumah daripada menunggu reda. Tapi pada akhirnya Taeyong tidak mengatakan apa pun. Ia membiarkan Ten berbicara sesuka hati.

Aku cuma ingin sampai rumah secepatnya.

"Kau mengusik sepuluh menit tidurku, Ten."

Ten tertawa renyah. "Sudah waktunya bangun."

Taeyong kembali membuka matanya yang masih terasa berat. Ia melihat Ten telah bangkit, menyibakkan tirai jendela, kemudian menggeliat.

"Apa bokongmu sakit?"

Ten melirik lewat ujung mata. Tampak sinis. "Hah, tolol. Bukan hanya bokong, tapi perutku juga melilit."

Taeyong tak dapat menyembunyikan senyum, merasa puas. Lantas senyuman itu pudar tatkala merasakan ranjang di sebelahnya mulai dingin.

"Mau ke mana? Ini hari Minggu."

"Aku mau ke apotek."

"Oh."

"Kau demam dan aku butuh obat sakit perut. Mau sarapan apa?"

Taeyong berpikir. Ia tidak bernafsu makan. "Apa saja, selain sup tomat."

Pintu kamar ditutup perlahan, meninggalkan Taeyong bersama kesunyiannya. Ia tidak ingin bangun. Ia mau meringkuk seharian, merasakan sakit di sekujur badan. Panas. Sesak.

🌀🌀🌀🌀🌀

Malam itu hujan lebat, Taeyong terjebak di halte bus. Ia tidak membawa payung, tidak pula jas hujan. Padahal Ten sudah mewanti-wanti dari pagi setelah mengecek ramalan cuaca. Ramalan cuaca tidak selalu benar, pikir Taeyong pendek. Meski sama sekali tak ada salahnya berjaga-jaga. Barangkali karena ia memang sedang ingin cari ribut dengan Ten. Taeyong merindukan keributan, walau topiknya sepele. Kadang ia hanya ingin membuat Ten marah, karena ketika marah, sepasang mata coklat lelaki itu akan menajam dan hal tersebut membuat Taeyong cukup terangsang.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang