Tengah malam ketika mereka baru saja sampai di hotel dekat pantai, check-in, hendak merangkak tidur, mendadak saja, Taeyong memamerkan kaset lama—lama, lama sekali, katanya diberikan secara turun-temurun. Entah apa maksudnya. Kaset itu berupa piringan hitam, cukup besar. Ten tidak sadar ada benda semacam itu di dalam tas mereka, tapi ia tak ambil pusing dan memutuskan untuk mendengarkan dongeng lama sambil terpejam, menyahut 'hmm, ya, oh' seadanya saja walau sebetulnya ia tak begitu menyimak.
"Sulit menemukan gramofon sekarang ini. Kalau ada, harganya pasti selangit."
Lalu buat apa kaset lama itu disimpan kalau tidak ada pemutar musiknya?
"Tapi walau bagaimanapun, kaset ini merupakan kaset bersejarah yang mempertemukan nenek dan kakekku, Ibu dan ayahku. Ayah menunjukkannya pada Ibu sesaat sebelum mengajak menikah dan aku ingin menunjukkannya padamu karena aku merasa aku akan hidup bersamamu."
"Hmm."
"My Hearts Belongs to Daddy. Tahukah kau lagu itu, Ten? Mudah menemukannya di berbagai situs ilegal."
"Oh."
Matanya sudah sangat berat untuk mendengarkan lebih banyak lagi. Ten tak sanggup menyimak lebih lama, setengah dari dirinya telah nyaman, setengahnya lagi hanya tinggal tunggu waktu. Dan ia sepenuhnya akan terlelap. Barangkali memimpikan pengalaman menyenangkan bermain air di tepi pantai, berkejar-kejaran seperti di film-film telenovela, saling berbagi tawa, berbagi pelukan lantas diakhiri ciuman manis.
"Marilyn Monroe. Sungguh maha karya. Sesekali aku ingin bermimpi bertemu dengannya, siapa tahu di dalam mimpi itu dia menyanyikan lagu untukku—dan sering kali, mimpi tidak masuk akal, dia bakal bicara padaku menggunakan bahasa korea."
Sehabis Taeyong mengatakan kalimat tersebut, Ten gagal bermimpi—ia justru tidak bisa tidur. Menjengkelkan sekali. Tiba-tiba saja berkata begitu, tiba-tiba saja dadanya bergemuruh. Tenggorokan terasa begitu kering dan tak enak, seakan hendak memuntahkan sesuatu. Ten mendudukkan diri. Ia melangkah berat menuju kamar mandi, memandang wajahnya sendiri di wastafel sebelum membasuhnya.
Apakah aku sepucat itu?
Lagi, ia membasuhnya. Lagi, lagi. Tapi bayangan perempuan itu tidak juga lenyap. Kenapa semua perempuan sungguh menyebalkan, bercokol terus di kepalanya, minta dibacok. Bergoyang-goyang, pinggul diputar-putar, bokong sengaja dipertontonkan. Belum lagi buah dada yang—
Ten akhirnya tak mampu menahan-nahan lebih lama. Ia muntah.
Majalah khusus pria dewasa yang hanya berisi perempuan berbikini itu masih bisa diingat Ten dengan jelas, tersembunyi rapi di kolong ranjang apartemen Taeyong. Perempuan berbeda-beda dengan beragam pose (serta beragam bikini, warna-warni, ada juga yang transparan) memenuhi setiap halaman majalah. Semua perempuan itu tidak ada yang jelek. Setengah di antaranya ialah perempuan bule. Rambut pirang, mata biru, bentuk tubuh bak gitar Spanyol. Seperti Marilyn Monroe.
Teringat olehnya, pose fenomenal itu: kedua tangan mencoba menutupi paha sementara di bawah terdapat lubang angin yang menerbangkan rok sang diva.
Taeyong datang sebelum muntahan kedua meluncur mulus melewati tenggorokan. Tubuh Ten lemas, ia akhirnya bersandar tak berdaya di dada bidang Taeyong.
"Seharusnya kau bilang padaku kalau kau mabuk pesawat."
Ten ingin membantah, tapi kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya. Ia hanya bisa menggumamkan suara-suara tidak jelas, tak ada makna. Taeyq memapahnya kembali ke ranjang, membaringkannya dengan hati-hati. Jam sudah menunjuk ke angka dua, tidak perlu banyak waktu bagi matahari untuk muncul dan menjemur orang-orang. Ten, dengan berat hati, menggenggam tangan Taeyong, memberi isyarat: