Taeten Jakarta!AU.
Cerita lokal spesial memperingati hari kemerdekaan Indonesia.Hidup di kota metropolitan tidak begitu menyenangkan.
Itulah pendapat Ten setelah berkali-kali terjebak macet di kota seeksotis Jakarta. Ia tidak suka kemacetan—barangkali juga semua orang. Menunggu dengan cemas, mengetuk-ngetuk kemudi, menghitung jumlah kendaraan. Ia mencoba segala cara untuk menepis kekesalan. Apa pun sudah dilakukannya. Menyetel musik tidak banyak membantu, justru semakin membuatnya kalut karena rupanya waktu sudah banyak terbuang sementara ia masih terjebak macet.
Pulang nyaris tengah malam. Kemudian, dengan kejam, alarm membangunkannya di jam empat pagi dari tidur yang kurang berkualitas. Kembali pergi bekerja dan segala kegiatan yang dilakukannya seperti lingkaran setan. Ten lelah, tentu. Ia rindu libur panjang. Berleha-leha di rumah, menonton televisi, atau melukis. Ia rindu.
Tapi apa daya. Ten tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Ia membutuhkan uang untuk menunjang kehidupannya di masa depan nanti. Walau bagaimanapun, ia harus bekerja. Tidak mengapa meski harus menelan sekian pil tidur atau apa pun yang mampu menjaga staminanya.
Kau mungkin tidak akan menyukai saranku, tapi, cobalah naik busway.
Maka, mengikuti saran sahabat karibnya, Ten memutuskan untuk mencoba naik Transjakarta. Ia barangkali tidak menyukai keramaian, tapi setidaknya hal itu tidak lebih buruk daripada terjebak macet dalam keadaan lelah pasca bekerja.
Ten membeli kartu flazz agar lebih memudahkannya. Ia menunggu bus dengan gelisah. Bintik-bintik keringat mulai muncul di pelipis serta hidungnya, terlebih ketika orang-orang mulai berdatangan dan ikut menunggu. Ini pengalaman kali pertama. Ia tidak tahu harus bagaimana.
Bus datang. Pintu terbuka secara otomatis. Orang-orang berbondong-bondong keluar, lantas mereka yang menunggu baru kemudian dipersilakan masuk. Ten nyaris kehilangan keseimbangan. Ia merasa sesak. Dadanya sesak. Kakinya terinjak. Dengan gemetar, ia menahan beban tubuhnya pada seorang pria kekar sebelum tangannya mencapai pegangan.
Seorang pria—ia tidak tahu bagaimana menyebutkannya—mungkin seorang petugas Transjakarta (sebab pria itu menggunakan seragam dan topi yang terlihat aneh), berdiri di dekat pintu, memandang ke arahnya. Barangkali khawatir. Ten mengatur napas.
Ini terlalu ramai. Terlalu sesak.
Matanya berkunang-kunang. Ten mencoba fokus. Ia melihat ke gerbong depan, khusus untuk perempuan. Tampaknya di sana lebih nyaman. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Garuda, Taman Mini." Petugas Transjakarta berbicara. Lantas melanjutkan, "yang hendak berhenti di Garuda, Taman Mini, silakan mempersiapkan diri. Jangan lupa barang bawaannya."
Seorang pria tidak sengaja menabrak bahu Ten. Ia mengaduh namun tampaknya pria tersebut tidak acuh. Bus berhenti di halte depan, orang-orang mulai keluar. Keadaan jadi tidak begitu sesak, tapi hal itu tak bertahan lama. Sebab, orang-orang yang lain mulai masuk. Lebih banyak dari mereka yang tadi keluar.
Semakin penuh. Berdesak-desakkan.
Ten terdorong. Punggungnya bersandar pada seorang pria lain. Pria itu lantas memandangnya tajam, tidak terima tubuhnya dijadikan sandaran. Ten tidak mengatakan apa pun tapi ia lantas menarik diri.
"Cawang UKI." Petugas Transjakarta bersuara lagi. "Yang berhenti di Cawang UKI silakan mempersiapkan diri. Jangan lupa barang bawaannya."
Petugas Transjakarta itu terus mengulang kalimatnya di setiap halte pemberhentian. Ten memandang prihatin. Ia jadi teringat seseorang, ia tidak mengenalnya, seorang perempuan yang rambutnya selalu diikat satu, poninya dijepit ke atas agar tidak menghalangi mata. Dia bekerja sebagai kasir di Alfamidi, dekat sekali dengan tempat Ten bekerja. Perempuan itu banyak bicara, menawarkan ini-itu, melakukan hal yang sama pada setiap pembeli.
Ia jadi bertanya-tanya apakah rahang perempuan itu pernah terasa sakit atau pegal. Berbicara terus. Tersenyum terus. Melakukan hal demikian karena keharusan. Ten bersyukur ia tidak perlu banyak bicara di tempatnya bekerja.
Aku tidak perlu barang-barang semacam itu—maksudku apa ini? Mangkuk?Aku sudah sering kemari dan kau tidak usah menawarkan barang ini padaku berkali-kali.
Ten tiba-tiba ingat, percakapan sederhana nyaris tanpa arti.
Perempuan itu—yang selalu tersenyum lebar pada setiap pelanggan, menjawab dengan sopan. Terlalu sopan.
Katanya, Ah, maaf. Saya yakin Anda bosan mendengarnya. Tapi saya tidak hilang harapan kalau-kalau Anda berubah pikiran, siapa tahu Anda melihat kegigihan saya menawarkan mangkuk cantik ini lantas membuat Anda tersentuh hingga Anda memutuskan untuk membelinya. Anda tentu memiliki seorang Ibu, dia pasti bahagia apabila menerima hadiah mangkuk ini dari Anda. Atau barangkali kekasih Anda—atau istri?—tentu saja, siapapun perempuan dalam hidup Anda.
Saat itu, Ten ingin sekali menjawab.
Ibuku sudah lama meninggal. Aku tidak punya saudara perempuan dan kekasihku adalah seorang pria.
Tapi tentu, tentu saja, jawaban semacam itu tertelan kembali ke kerongkongan. Ten sudah melihatnya, berkali-kali, bagaimana perempuan tersebut begitu gigih menawarkan mangkuk cantik itu. Maka, tanpa berpikir panjang, ia pun setuju untuk membelinya.
Terima kasih. Anda benar-benar menyelamatkan saya!
Ten tidak mengerti ucapan kasir itu. Ia tergelitik untuk bertanya.
Dalam satu hari, saya setidaknya harus menjual satu mangkuk ini. Sudah seminggu ini saya tidak berhasil. Banyak yang tidak tertarik. Saya mengerti karena harganya tidak masuk akal. Orang-orang tak terlalu memikirkan mangkuk samacam apa yang kira-kira pantas untuk menampung sayuran. Mereka hanya berpikir mengenai jenis sayuran itu sendiri, bukan wadahnya. Dan saya semakin tertekan karena hanya saya yang dinilai paling buruk dalam penawaran oleh atasan saya. Anda tentu tahu, kasir yang lain lebih cakap daripada saya dan mereka bagus sekali saat menawarkan produk-produk yang sedang promosi.
Ten tidak tahu harus menjawab apa. Dia lantas tersenyum, senyum yang selalu menjadi andalannya. Ia memberi kata-kata semangat untuk kasir muda itu. Sebab, ia tahu benar, pekerjaan apa pun, pasti ada tekanannya. Tidak ada pekerjaan yang mudah dan menyenangkan—kecuali bagi mereka yang berhasil menikmatinya.
Ten mulai terbiasa berdesak-desakan. Ia membiarkan pikirannya melayang-layang. Ke mana saja. Termasuk mengingat kembali ketika ia pulang dengan mangkuk di tangan. Taeyong—kekasihnya yang waktu itu kebetulan masih berada di Jakarta—memandangnya aneh. Ada apakah gerangan, Ten yang tidak bisa memasak tiba-tiba membawa mangkuk baru ke rumah. Barangkali begitulah yang ada dalam pikiran Taeyong.
Kau dan mangkuk barumu. Apakah ini semacam kode agar aku membuat sup untuk makan malam?
Ten tertawa lalu mengangguk setelahnya.
Ten tersenyum masam. Tiba-tiba ia rindu pada pria tampan itu.
"Pluit. Silakan mempersiapkan diri Anda, jangan lupakan barang bawaan."
Pintu bus terbuka, orang-orang berdesakan hendak keluar. Ten terhimpit. Ia mencoba berjalan mengikuti arus. Akhirnya ia mampu bernapas dengan lega. Diliriknya jam di tangan. Pukul delapan pagi. Ia akan terlambat. Dengan gelisah, Ten berjalan cepat, mengabaikan para pedagang yang berderet di jembatan, menawarkan earphone, power bank sampai masker.
Di hari Rabu yang terik itu, Ten untuk pertama kalinya, bekerja dengan tenang. Segala berkas-berkas dan laporan dikerjakannya sepenuh hati. Tidak ada yang tertinggal. Bahkan ketika atasan memberi pekerjaan tambahan, ia sama sekali tidak mengeluh.
Pukul sebelas malam, Transjakarta kembali membawanya pulang. Kali ini ia bisa duduk karena keadaan bus yang lengang. Lampu-lampu di kota Jakarta berkerlap-kerlip, entah kapan padam. Tampaknya Jakarta tak pernah mengenal lelah. Dia terus hidup, menyala terang-benderang.
Ten memejamkan mata. Senyum tipis terlukis di bibirnya. Tiba-tiba ia ingin mengajak Taeyong naik Transjakarta bersama. Sudah tentu pria itu takkan keberatan kalau Ten menyandarkan tubuhnya. Taeyong pasti melindunginya saat ia terhimpit di antara desakan orang-orang.
Taeyong, selesaikan pekerjaanmu dan cepatlah pulang …
