1.
Ada kalanya waktu berjalan menjadi begitu lambat dengan kondisi tubuh yang mendadak melemas layaknya jeli. Senyuman yang terlalu sulit untuk disembunyikan. Dan betapa kerasnya usaha menahan air bah yang kini terancam keluar dari pelupuk mata.
Mungkin di kemudian hari ia akan mentertawai kegugupannya. Berkelakar bodoh, seolah-olah yang dulu itu bukan dirinya sama sekali, dan mengejek betapa menggelikannya ia dengan tingkahnya yang lebih menyerupai seorang remaja tanggung yang masih sering merasa kurang percaya diri akan sesuatu.
Namun faktanya, di usia yang kini telah mencapai angka duapuluh enam tahun sekalipun,Ten masih sering menemukan dirinya terlalu mudah gugup untuk banyak hal. Barangkali tentang pekerjaannya; tetangga baru apartemen; atau bisa jadi tentang bagaimana rekan-rekan sekantor Ten sendiri yang terlalu sering menggoda pemuda itu dengan candaan murah tentang sahabat nya yang selalu memasang wajah jemu.
Lee Taeyong─sebagaimana teman-temannya mengenal pemuda itu, selalu mendapat sambutan heboh ketika dirinya kedapatan menjemput Ten ketika jam kerja kantor telah usai. ('Kekasihmu datang menjemput, Ten!', seru mereka kompak). Dan sebanyak apapun Ten mencoba mengkonfirmasi hubungannya dengan Taeyong, itu semua hanya akan berubah menjadi angin lalu. Sama sekali tidak digubris; berakhir dengan Ten sendiri yang buru-buru meminta maaf atas kelakuan seluruh rekan kerjanya.
Kendati demikian, tidak sekalipun Ten mendengar pemuda itu mengeluh atau barang sedikit saja berkomentar tentang kelakar jahil dari rekan-rekan kerjanya. Balasannya hanya berupa sebuah deheman singkat, bersikap begitu apatis dan memilih membahas hal lain. (Tapi kemudian, segala tanda tanya di kepala Ten terjawab dengan ini).
Mungkin sebabnya ada pada bagaimana pemuda itu memilih kata-kata penuh maksud untuk kalimat yang dilontarkan. Bagaimana cara dirinya memilih satu opsi dari sekian banyak ide yang tercetus spontan dari dalam kepala. Atau betapa manisnya tingkah nya ketika menyodorkan sekotak cincin perak dengan segala ke-(sok)-tidak peduliannya terhadap ocehan orang-orang di sekitar.
Yang manapun barangkali Ten tidak berminat untuk peduli. Matanya yang berkaca-kaca sudah menjadi jawaban mutlak dari segala kalimat 'iya, aku bersedia,' yang kemungkinan besar akan dilontarkan ketika seseorang dilamar oleh seorang yang ia sukai.
Bahkan untuk kalimat yang teranti-mainstream sekalipun;
"─mungkin ini terdengar bodoh atau tidak masuk akal. Tetapi," Jeda sejenak. "Aku harap kau mau menyumbangkan cahayamu pada bulan yang bodoh ini, Ten."
Ya, Ten tertawa pelan. Pada kalimat ajaib seperti itu; ia terjatuh dengan mudahnya.
2.
Pernah sekali, bagi Ten. melihat secara langsung (untuk pertama kalinya) di mana seorang Lee Taeyong mengaku jatuh cinta.
Azalea merah merupakan bukti konkritnya. Tentang seberapa dalam makna bunga tersebut. Dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh si pengirim walau mungkin akan diingkari sebanyak seribu kali.
Hanya bermodalkan tampang ketus dan keluhan masam ketika menjenguk Ten di rumah sakit ("Sudah kubilang untuk berhati-hati saat menyebrang jalan. Kau dan sendirian memang bukan kombinasi yang baik untuk kesehatan jantungku."), juga tentang kewarasan pemuda itu, yang barangkali sedang kerasukan entah setan apa, sampai mau-maunya memberikan satu pot bunga Azalea merah lalu pergi begitu saja dengan alasan pekerjaan yang menumpuk.
Rasanya Ten tidak berminat menyesal walau tangannya harus dililiti gips selama tujuh hari ke depan. Tidak menyesal harus mengambil cuti panjang selama dua minggu dalam masa penyembuhan lukanya. Atau betapa bosannya dia hanya duduk di atas tempat tidur tanpa diperbolehkan menggunakan tangan kirinya dalam kurun waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar.
