It's not because I don't love you, It's just because I don't know how to.
“Kau harus mendengarkan ceritaku, Ten Lee!” Doyoung dengan suaranya yang melengking berteriak sejak ia masuk dari pintu kafetaria sembari berlari ke arah Ten. Lelaki itu segera meletakkan piringnya dan menatap Ten dengan antusias. Sementara Ten hanya bisa meringis ketika Doyoung mencengkeram lengannya cukup keras.
“Baiklah Doyoung, tapi lepaskan cengkaramanmu pada lenganku. Ini sakit.” Doyoung meringis malu kemudian segera melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Ten.
“Ah, maaf . Aku benar-benar sangat bahagia, Tennie. ” Kedua mata Doyoung berbinar-binar bahagia. Ten tersenyum kecil saat melihat kedua mata Doyoung. Tentu saja ia sudah tahu perkara apa yang bisa membuat sahabatnya ini begitu ceria.
“Jaehyun kemarin mengajakku berlibur ke Pulau Jeju.” Tepat seperti dugaannya. Jaehyun tentu saja menjadi sumber kebahagiaan bagi Kim Doyoung. Ten kembali tersenyum dan mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Doyoung utarakan. Bagaimana Jaehyun menggenggam jemarinya kemanapun mereka pergi. Bagaimana Jaehyun memberinya bunga. Bagaimana Jaehyun menuruti setiap maunya.
“Bukankah Jaehyun sangat manis?” Doyoung tersenyum sembari menatap Ten. Dan Ten kembali memamerkan senyumnya yang cantik dan menganggukkan kepalanya menyetujui pertanyaan Doyoung.
“Ngomong-ngomong, bagaimana akhir pekanmu kemarin dengan Taeyong hyung ?” Sesaat setelah mendengar pertanyaan Doyoung perlahan-lahan senyum Ten memudar.
🌀🌀🌀🌀
Ten berjalan dengan lesu menuju halte bus seorang diri. Doyoung sudah pergi lebih dulu dijemput oleh Jaehyun. Lelaki itu kembali teringat saran Doyoung tadi pagi mengenai Taeyong.
“Tennie! Bagaimana mungkin Taeyong hyung lebih memilih bermain game dengan adikmu daripada mengajakmu berkencan? Yang benar saja! lebih baik kau tinggalkan saja laki-laki bodoh itu. Di luar sana banyak yang mau mendekatimu, Ten. Kau menyenangkan dan memiliki karier yang cemerlang. Bagaimana bisa kau menghabiskan waktumu bersama laki-laki bodoh itu. Ah, aku tak habis pikir denganmu, Tennie.”
Ten menghela napasnya pelan. Ia mulai memikirkan hubungan yang sudah ia jalani dengan Taeyong sejak delapan tahun lalu. Mereka mulai berpacaran bahkan sejak duduk di bangku 2 SMA hingga kini mereka sama-sama sudah memiliki pekerjaan masing-masing. Dan selama itu pulalah Taeyong tidak bisa memperlakukannya selayaknya sepasang kekasih pada umumnya. Taeyong bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintai Ten. Menyadari kenyataan itu, sebuah pertanyaan melintas di kepala Ten.
apakah Taeyong benar-benar mencintainya?
Ten duduk di bangku halte yang sepi itu. Ia mulai menimbang-nimbang apakah hubungannya dengan Taeyong berjalan dengan baik selama ini. Sepertinya ia harus kembali meninjau hubungannya dengan Taeyong selama ini. Di usianya saat ini, sudah saatnya Ten memikirkan sebuah hubungan yang serius. Dan jika mengingat bagaimana sikap Taeyong selama ini, ia tak yakin bahwa laki-laki itu benar-benar serius padanya.
Lamunan Ten terhenti saat ia mendengar ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. Lee Taeyong. Ten sempat menimbang apakah ia akan mengangkat panggilan itu atau tidak. Ia sedang malas berbicara dengan laki-laki itu. Tapi kemudian mengingat perkataan Doyoung tadi siang membuatnya yakin bahwa ia perlu berbicara dengan Taeyong.
“Ten.''
“Ya?”
“Dimana?”
“Halte.”
“Tunggu disana. Aku akan menjemputmu.” Setelah mengatakan akan menjemput Ten, Taeyong memutuskan sambungan telepon begitu saja. Ten tersenyum miris. Tentu saja, Lee Taeyong tak akan membutuhkan persetujuannya. Laki-laki itu hanya melakukan apa yang ingin ia lakukan dan mengatakan apa yang ingin ia katakan.
🌀🌀🌀🌀
Duapuluh menit kemudian Ten sudah duduk dengan tenang di dalam mobil Taeyong. Keduanya tak bersuara sama sekali. Hanya ada suara radio yang memenuhi mobil Taeyong. Ten kembali larut dengan pikirannya. Ia kembali menimbang mengenai hubungannya dengan laki-laki yang kini duduk di sampingnya.
“Taeyong hyung.” Dengan suara pelan, Ten memanggil Taeyong. Laki-laki itu hanya menggumam sebagai pengganti kata,
“Untukmu, apa arti delapan tahun ini?” Ten bertanya dengan ragu-ragu. Ia menatap Taeyong seksama. Meneliti setiap gesture yang ditunjukkan oleh laki-laki itu.
“Kenapa kau tiba-tiba menanyakannya?” Ten sedikit kecewa saat menyadari Taeyong tidak mau menjawab pertanyaannya. Kemudian ia berujar,
“tidak ada. Hanya saja, kurasa aku maupun hubungan kita selama ini tak ada artinya bagimu, hyung.” Ada jeda sebentar. Ten diam menunggu reaksi Taeyong. Tapi laki-laki itu tetap diam dan fokus menyetir. Ten menghela nafas lelah, lalu melanjutkan,
“aku terus bertanya-tanya apa selama ini aku memiliki arti penting untukmu? Apa selama ini kau bahagia bersamaku? Apa selama ini pernahkah sekali saja, aku terlintas di pikiranmu? Atau, apakah kau mencintaiku, hyung?”
Tiba-tiba saja kedua mata Ten berkaca-kaca. Ia bahkan sudah tidak berani menatap Taeyong lagi. Ia takut bahwa Taeyong akan kembali mengecewakannya.
Ia memalingkan wajahnya dan menyeka airmatanya yang dengan sangat tidak tahu diri merembes dari kedua matanya.
Secara mendadak Taeyong menepikan mobilnya. Laki-laki itu tidak bodoh. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Ia paham mengapa Ten tiba-tiba menanyakan hal itu. Ia sangat mengerti apa yang ada di pikiran Ten. Ia sadar bahwa sikapnya selama ini menyakiti lelakinya.
Bukan Taeyong tidak mencintai Ten. Oh yang benar saja, Taeyong bahkan menghabiskan delapan tahunnya hanya dengan satu orang lelaki. Taeyong hanya tidak bisa bersikap manis ataupun mengekspresikan perasaannya. Dia hanya merasa bahwa dirinya berbeda dengan laki-laki lain. Mungkin juga, ia bukanlah tipe laki-laki yang Ten inginkan. Tapi setidaknya, dengan segala kekurangannya, ia sangatlah mencintai Ten. Dan ia tak mungkin membiarkan Ten terus bersedih seperti sekarang.
“Tennie, lihat aku.” Ten mengangkat kepalanya perlahan dan menatap Taeyong.
Taeyong memberanikan diri menggenggam jemari Ten. Jujur saja ia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Ia benar-benar pecundang. Tapi kemungkinan akan kehilangan Ten membuatnya memiliki sedikit keberanian untuk melakukan ini. Taeyong menatap Ten tepat di manik matanya, kemudian secara tiba-tiba mengecup bibir Ten. Pelan dan ringan. Ten terkejut dengan kecupan itu tapi kemudian memilih untuk memejamkan matanya. Taeyong tidak melakukan apa-apa, ia hanya menempelkan bibirnya dengan bibir Ten. Ia hanya ingin membuat lelakinya itu tahu betapa ia sangat mencintainya.
Ciuman itu tidak berlangsung lama, Taeyong segera mengakhirinya saat menyadari bahwa mereka kini ada di tepi jalan raya. Ia kembali menatap Ten sebelum berujar,
“aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, atau menunjukkan apa yang aku rasakan. Tapi, kurasa hanya ada satu hal yang bisa membuatmu percaya. Menikahlah denganku, Ten Lee.''
