Ten Lee tidak pandai melakukan pekerjaan rumah. Selimut tercerai-berai, tiga-empat gelas plastik berserakan, aroma mie basi, susu tumpah, dan televisi yang masih menyala menayangkan berita pagi. Malam tadi ia menunggu Taeyong pulang hingga gila. Pukul empat subuh dan bel depan masih belum terdengar gaungnya.
Ia berkacak pinggang menyisir kapal pecah versi mini dengan tatap baru lepas dari mimpi. Seperti ada pesta hebat tadi malam—Ten memang habis berpesta dengan angin malam dan jajanan berbumbu micin. Selain layar tipis televisi, ia juga menjadikan jarum-jarum jam dinding sebagai tontonan malam. Taeyong masih belum pula. Hingga kini.
🌀🌀🌀🌀🌀
Apa yang akan ia ucapkan pertama kali ketika melihat apartemen ini berubah layaknya tempat pembuangan sampah akhir?
Ten menggunakan akalnya, seribu satu cara ingin direalisasikan agar hunian kembali berubah syahdu. Selimut selebar kasur ukuran besar dengan warna ungu pucat bermotif geometris terlipat segi empat, itu diletakkan di dalam kamar di atas kasur. Gelas-gelas plastik beraroma kola ditumpuk seperti lego, itu ditaruh di atas wastafel. Semangkuk mie basi—Ten memasukkannya bersamaan ke dalam kantung plastik hitam besar, tidak peduli jika nanti Taeyong bertanya kenapa mangkuk mereka hilang satu. Bekas susu tumpah dibersihkan menggunakan kain lap yang sudah dibasahi.
Ten menyeka peluh. Masih berantakan, setidaknya ketika Taeyong pulang tidak ada aroma mematikan dan pria itu bisa langsung beristirahat.
Bel berbunyi. Ten cepat berlari membuka pintu, dari baliknya ada sosok yang dirindukan. Tampak kokoh berdiri mengenakan setelan pekerja kantoran lengkap dengan topi. Tanpa diduga membawakan sebuket bunga. Ia kecupi dengan ciuman mesra dan Taeyong harus bersedia masuk dengan langkah terseok-seok.
"Selamat datang, Taeyong hyung."
Wajahnya jelas menuliskan kerut lelah, matanya sayu berteriak istirahat. Koper kerja ditaruh dekat pintu, mantel coklat dan topi fedora digantung di belakangnya. Ia menghadap Ten.
"Aku pulang."
"Aku menunggumu dari semalam."
Taeyong melewati dengan tangan kanan mengurut tengkuk, "Kukira aku sudah menduganya."
Tungkai Ten melangkah mengekori, satu, dua, "Apa itu bunga untuk ku?"
Seakan baru ingat, pria itu berbalik dengan buket bunga di depan dada; menyerahkan ke depan Ten yang tersenyum lebar sampai garis bawah matanya melengkung. "Untukmu, sebagai permintaan maaf telah membuatmu menunggu."
"Aku akan selalu menunggumu."
Taeyong itu kaku. Dia sulit mengungkapkan ekspresi dan segala emosinya. Ia terkesan menjadi tokoh antagonis yang bekerja menjadi pembunuh bayaran berdarah dingin. Oh, orang-orang zaman sekarang memang suka memandang sesuatu dari luarnya saja (terkadang berfantasi sampai hal-hal yang tidak waras).
Tapi, detik ini Taeyong tersenyum.
"Jangan lakukan gerakan itu di depan orang lain, mengerti? Ya, ya—tersenyum seperti itu, betul, di depanku saja. Eits, janji?"